Tidak ada amalan yang paling berat sebagaimana ikhlas.
Apapun amalan itu, usahakan hanya kita dan Allah SWT yang mengetahui, apakah itu sedekah, sholat malam, khatam Al-Qur’an, puasa ataupun Haji (Umroh).
Usahakan untuk selalu merahasiakan segala amalan kita.
“Wa maaa umiruuu illaa liya’budulloha mukhlisiina lahuddiina” potongan Q.S. Al-Bayyinah Ayat 5: Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas menaati-Nya semata-mata karena menjalankan agama.
Dalam hal ini, Allah mendidik kita pada jenjang ibadah yang paling tinggi dalam hal ikhlas. Coba kita perhatikan, bagaimana kita mengajarkan keikhlasannya. Hanyalah Allah dan kita sendiri yang mengetahui ibadah kita. Maka, Allah ingin, keikhlasannya dapat ada juga pada ibadah kita yang lainnya. Pepatah ulama mengatakan bahwa, “Sembunyikanlah amal ibadahmu sebagaimana engkau menyembunyikan aibmu.”
Ibadah yang kita tunaikan melahirkan keihklasan, ibadah tanpa sugesti. Diharapkan melahirkan pula gaya hidup ikhlas. Mau dilihat orang atau tidak, ibadah tetap kita laksanakan. Bukan hanya sholat, puasa, shodaqoh, atau haji saja, namun kehidupan ini kita hadapi dengan penuh keihklasan. Kita tahu bahwa apa saja kalau sudah digantungkan selain Allah, bersiapkan untuk kecewa. Memang, Ikhlas mudah diucapkan namun bukanlah sesuatu yang mudah dilaksanakan.
Imam Al-Ghozali,
Manusia pada dasarnya mati, kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu itu tidur, kecuali yang mengamalkan ilmunya. Orang yang mengamalkan ilmunya, banyak yang tertipu, kecuali yang ikhlas dalam mengamalkannya.
Begitulah dalam kehidupan ini. Ilmulah yang membuat manusia ini hidup dengan maju dan mudah, seni membuat hidup menjadi indah, dan agama membuat hidup menjadi terarah.
Nah, mari kita perhatikan kisah teladan dari Imam Malik bin Anas:
Sewaktu Imam Malik bin Anas menulis Kitab Muwaththa’, merupakan salah satu dari Kutubut Tis’ah (sembilan kitab hadits utama di kalangan Sunni), pendiri Mazhab Imam Maliki, guru dari Imam Syafi’e. Kedudukan Al-Muwaththa’ di dalam ilmu hadits, tingkatnya di atas Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Bahkan Imam asy-Syafi’i berkata : “Kitab yang paling shahih setelah al-Qur’an adalah Muwaththa’ Imam Malik.” [Ulum al-Hadits hal 14, dari Ibnu Ash-Shalah rahimahullah]. Ulama Hadist menstigma bahwa sanad hadist yang emas (Sanad Emas) adalah sanadnya Imam Malik, Imam Malik dari Gurunya, Nafi bin Sarjis Abu Abdullah ad-Dailami, Nafi’ adalah tabi’in yang juga mantan hamba sahayanya Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar adalah sahabat dari Rasulullah SAW.
Pada saat itu, para ulama lain juga mengikuti apa yang dilakukan Imam Malik, menulis Kitab Hadist juga dan dinamakan pula Kitab Muwaththa’, sehingga kemudian ada banyak Kitab Muwaththa’ ditulis oleh banyak ulama pada saat itu.
Bagaimana tanggapan Imam Malik saat itu? Kalimat sederhana, bobotnya luar biasa,
“Manapun yang dikerjakan karena Allah SWT, pasti kekal.”
Nah, pada saat Suku Tar-tar menyerang Irak, merebut wilayah Kaum Muslimin, Kitab Muwaththa’ yang lainnya semuanya habis tidak diketahui sejarahnya, lenyap begitu saja. Satu-satunya Kitab Muwaththa’ yang masih tersisa hanyalah Kitab Muwaththa’ karya Imam Malik. Bagaimana Allah SWT menghantarkan keikhlasan seorang Muslim pada targetnya.
Semoga kita bisa menjadi hamba yang Mukhlisin.
Oleh : Ust Arief Bharata Al-Huda, M.M., M.Si.
Anggota Pemberdayaan Korps Muballigh dan Kemasjidan