web stats
Home » Kapan Seorang Anak Disebut “Dewasa”?

Kapan Seorang Anak Disebut “Dewasa”?

by Asykuri ibn Chamim
0 comment

Dalam Islam, kedewasaan seorang anak secara tradisional ditandai oleh perubahan fisik dan usia tertentu. Fikih menetapkan bahwa tanda kedewasaan bagi anak laki-laki adalah iḥtilam (mimpi basah) dan bagi anak perempuan adalah haid. Jika tanda-tanda ini tidak muncul, kedewasaan dianggap tercapai pada usia tertentu.

Dasar dari ketentuan ini dapat ditemukan dalam beberapa hadis. Nabi Muhammad SAW bersabda bahwa tanggung jawab hukum tidak berlaku pada anak sampai ia mengalami iḥtilam (HR Abu Dawud). Hal ini menegaskan bahwa kedewasaan dalam konteks hukum agama dimulai dengan adanya iḥtilam. Selain itu, hadis lain menyebutkan bahwa salat wanita yang sudah haid tidak sah tanpa mengenakan pakaian yang menutup aurat (HR Abu Dawud), yang menandakan haid sebagai tanda kedewasaan bagi anak perempuan.

Dalam kasus di mana tanda-tanda fisik kedewasaan tidak muncul, usia 15 tahun menjadi patokan kedewasaan. Ini didasarkan pada hadis dari Ibn ‘Umar, yang baru diizinkan ikut perang pada usia 15 tahun (al-Baihaqi, no. 11079).

Fikih juga mengenal istilah anak mumayyiz, yaitu anak berusia tujuh tahun hingga mencapai kedewasaan. Anak-anak dalam kategori ini sudah diperintahkan untuk salat, dan jika belum melakukannya pada usia sepuluh tahun, mereka boleh diberi hukuman. Hadis dari Nabi SAW menyatakan, “Suruhlah anak-anakmu salat ketika mereka berusia tujuh tahun, dan hukumlah mereka apabila setelah berusia sepuluh tahun belum juga salat, serta pisahkanlah tempat tidur di antara mereka” (HR Abu Dawud).

Ketentuan kedewasaan ini perlu dievaluasi sesuai perkembangan sosial masyarakat. Di Indonesia, kedewasaan dalam hukum dibedakan berdasarkan jenis tindakan hukumnya. Misalnya, kedewasaan untuk menikah berbeda dengan kedewasaan dalam tindakan hukum lainnya. Dalam hukum Islam, bisa dibedakan kedewasaan untuk ibadah dengan kedewasaan untuk tindakan perdata.

Dalam konteks ibadah, ketentuan fikih yang ada masih relevan. Namun, untuk tindakan keperdataan, pandangan bahwa kedewasaan tercapai pada usia 18 tahun dapat dipertimbangkan. Hal ini didukung oleh QS an-Nisa’ ayat 6, yang mengisyaratkan dua tanda kedewasaan: kemampuan fisik untuk menikah (iḥtilam atau haid) dan kematangan psikologis dan sosial (ar-rusyd), yang secara usia dianggap sebagai 18 tahun.

Menurut al-Mawardi, kedewasaan tidak hanya ditandai oleh balig, tetapi juga harus disertai dengan kematangan (ar-rusyd). Ini menguatkan pandangan bahwa dewasa berarti ketika seseorang berusia 18 tahun. Anak yang belum mencapai usia ini disebut anak mumayyiz. As-Sarakhsi berpendapat bahwa anak usia 12 tahun sudah pasti inzal (mengeluarkan mani), sehingga usia minimal untuk mencapai tamyīz dapat ditetapkan 12 tahun. Sebelum usia ini, dianggap sebagai masa kanak-kanak.

Perbedaan Usia Kedewasaan dalam Ibadah dan Perdata

Kedewasaan dalam Ibadah

Dalam konteks ibadah, kedewasaan ditandai oleh perubahan fisik yang menunjukkan kesiapan biologis seseorang untuk memikul tanggung jawab agama. Untuk laki-laki, kedewasaan ini diindikasikan oleh mimpi basah, sementara bagi perempuan, kedewasaan dimulai saat mereka mengalami haid. Ketika tanda-tanda fisik ini muncul, anak dianggap telah memasuki masa balig dan oleh karenanya bertanggung jawab penuh atas kewajiban ibadah seperti salat dan puasa.

Namun, jika tanda-tanda fisik tersebut tidak muncul pada usia yang diharapkan, fikih menetapkan bahwa kedewasaan dicapai pada usia 15 tahun. Usia ini didasarkan pada hadis dan praktik zaman Nabi Muhammad SAW, di mana seorang anak laki-laki yang mencapai usia 15 tahun telah dianggap cukup dewasa untuk ikut serta dalam kegiatan sosial dan keagamaan tertentu, seperti perang.

Kedewasaan dalam Tindakan Perdata

Berbeda dengan ibadah, kedewasaan dalam konteks tindakan perdata melibatkan kematangan psikologis dan sosial selain dari kematangan fisik. Hukum Islam, serta hukum perundangan modern di banyak negara, termasuk Indonesia, sering kali menetapkan usia kedewasaan untuk urusan perdata pada usia yang lebih tinggi dibandingkan dengan kedewasaan ibadah.

Mazhab Hanafi, misalnya, menetapkan usia 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan sebagai usia kedewasaan dalam konteks perdata. Usia ini mencerminkan kematangan yang lebih komprehensif, melibatkan kemampuan seseorang untuk membuat keputusan yang bertanggung jawab dalam hal-hal seperti pengelolaan harta, pernikahan, dan urusan hukum lainnya.

Di Indonesia, undang-undang juga cenderung mengadopsi pendekatan serupa dengan menetapkan usia 18 tahun sebagai usia dewasa untuk berbagai tindakan hukum perdata. Ini termasuk kemampuan untuk menikah, menandatangani kontrak, dan terlibat dalam aktivitas hukum lainnya yang memerlukan tanggung jawab penuh.

Pemisahan antara kedewasaan dalam ibadah dan perdata penting untuk memahami peran dan tanggung jawab individu dalam konteks yang berbeda. Kedewasaan dalam ibadah berfokus pada kesiapan individu untuk memenuhi kewajiban agama, sementara kedewasaan perdata menekankan kemampuan individu untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial dan ekonomi dengan penuh tanggung jawab.

Referensi:

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fikih Perlindungan Anak”, dalam Berita Resmi Muhammadiyah: Nomor 03/2022–2027/Syakban 1445 H/Februari 2024 M, Yogyakarta: Gramasurya, 2024.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00