Kehidupan ini dipenuhi ragam godaan duniawi. Apabila kurang hati-hati, maka dapat menjebak kita berpaling dari Allah SWT. Walau memang, tidak begitu saja kita dapat melepas dari kesibukan dunia.
Kemudian, apakah kita selalu merasa bahwa Allah SWT mengawasi setiap saat di mana pun kita berada? Sehingga, setiap perbuatan dan tingkah laku kita menjadi lebih berhati-hati. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman pada Q.S. Al-Ahzab [33] ayat ke-52 : …wa kaanallaahu ‘alaa kulli syai’ir raqiibaa yang artinya: “… Dan, Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.” Kemudian pada Q.S. Al-Mu’min [40], ayat ke-19 : ya’lamu khaaa’inatal-a’yuni wa maa tukhfishshuduur yang artinya: “Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.” Serta dalam sebuah hadits ketika Rasulullah Muhammad SAW ditanya tentang ihsan, beliau menjawab: “Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika memang kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihat kamu” (H.R. Muslim).
Firman Allah SWT dan Hadist tersebut menjelaskan bahwa Allah SWT selalu mengawasi (Ar-Raqib), melihat (Al-Bashir), mendengar (As-Sami’) perkataan, mengetahui (Al-Alim) amal perbuatan di setiap waktu dan di mana pun, mengetahui setiap hembusan napas, dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya (Al-Hafizh = Maha Menjaga). Hal tersebut, oleh Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah dalam Kitab Madarijus Salikin disebut sebagai Muraqabah. Maka, betapa pentingnya muraqabah ini, karena Allah Maha Tahu atas dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar. Dan Allah Maha Tahu atas apa saja yang tersembunyi di dalam hati manusia, apalagi yang tampak secara kasat mata. Sehingga, sebelum memulai suatu aktivitas pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya. Apakah sudah benar-benar karena semata-mata dorongan ridho Allah dan menghendaki pahala-Nya.
Penyusun Kitab Manazilus-Sa’irin, Al-Harawi mengatakan, “Muraqabah artinya terus-menerus menghadirkan hati bersama Allah.” Demikian pula ditegaskan pada Kitab Al-Hikam karya Ibnu Atha’illah as-Sakandari, Mutiara Hikmah ke-23: “(lakukan amal) jangan menunggu kosongnya penghalang, sebab demikian itu memutus muraqabah, padahal Allah menempatkanmu di dalamnya.”
Maka kita memahami muraqabah adalah pengetahuan seorang hamba yang secara terus-menerus dengan keimanannya, bahwa Allah mengetahui zhahir dan batinnya. Muraqabah ini merupakan hasil pengetahuan dan kesadarannya bahwa Allah mengawasinya, melihatnya, mendengar perkataannya, mengetahui amalnya di setiap waktu dan di mana pun berada, mengetahui setiap hembusan napas dan tak sedetik pun lolos dari perhatian-Nya (Muraqabatullah). Sebagaimana firman Allah SWT : …wa huwa ma’akum aina maa kuntum, wallaahu bimaa ta’maluuna bashiir “… Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al-Hadid [57] ayat ke-4), dan wa laqad khalaqnal-insaana wa na’lamu maa tuwaswisu bihii nafsuhuu wa nahnu aqrabu ilaihi min hablil-wariid “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya” (Q.S. Qaf [50] ayat ke-16).
Dr. Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam karyanya Kitab Ruhaniyatud Da’iah, mengurai menjadi empat macam muraqabah, yaitu:
1. Muraqabah kepada Allah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
2. Muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan, dan meninggalkannya secara total.
3. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.
4. Muraqabah dalam musibah adalah dengan ridho kepada ketentuan Allah lmam Al-Ghozali meriwayatkan dalam Kitab lhya’ Ulumuddin:
Di toko milik Yunus bin Ubaid ada beberapa jenis perhiasan yang harganya bermacam-macam. Ada yang berharga 400 dirham. Ada juga yang 200 dirham.
Ketika pergi hendak melaksanakan sholat ia menyuruh keponakannya untuk berjaga di toko. Kemudian datanglah seorang Arab Badui, meminta perhiasan seharga 400 dirham. Si penjual (keponakan Yunus) pun menyodorkan perhiasan tersebut. Setelah meneliti perhiasan yang disodorkan kepadanya orang Badui itu merasa puas dan dibelinya dengan harga 400 dirham.
Kemudian ia pergi meniggalkan toko sambil menimang-nimang perhiasan yang baru dibelinya itu. Di tengah perjalanan Yunus bin Ubaid berjumpa dengannya dan tahu betul akan perhiasannya. Maka Yunus bin Ubai pun bertanya, “Berapa engkau beli perhiasan itu?”
“400 dirham”, jawab Badui itu.
“Ah.. perhiasan itu harganya tak lebih dari 200 dirham. Kembalilah ke toko dan ambil uang lebihnya!”, kata Yunus.
“Perhiasan ini di kampung saya harganya 500 dirham, dan saya rela membelinya dengan 400 dirham”, kata orang Badui itu.
“Kalau begitu ikuti saya! Sesungguhnya nasehat dalam agama lebih baik dari dunia dan segala isinya”, ajak Yunus.
Maka diajaknya orang Badui tersebut untuk kembali ke tokonya kemudian dikembalikan kelebihannya tersebut. Dan beliau menegur keponakannya dengan keras, “Apakah kamu tidak malu? Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Kamu ambil untung tidak sebanding dengan harga barang dan kamu tanggalkan kejujuranmu terhadap orang muslim!”
“Demi Allah, dia mengambilnya dengan rela sepenuhnya”, bantah keponakannya.
“Bukankah seharusnya kamu rela untuknya sebagaimana kamu merasa rela untuk dirimu sendiri?”, jawab Yunus.
Maka nasehat penting dari Imam Nawawi pada Kitab Riyadhus Shalihin untuk menjaga Muraqabah kita kepada Allah adalah “Meninggalkan sesuatu yang tidak berfaedah misalnya sesuatu yang memang bukan urusan kita atau sesuatu yang terang salah dan batil, maka tidak berguna kita membela atau menolongnya. Demikian pula sesuatu yang bila kita campuri, maka bukan makin baik dan mungkin mencelakakan diri kita sendiri. Semua itu baiklah kita tinggalkan, kalau kita ingin jadi orang Islam yang baik.”