Masalah perubahan iklim masih belum menjadi mainstreaming di umat Islam, Lazismu PP Muhammadiyah mendorong ini menjadi kesadaran bersama untuk menciptakan keseimbangan.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Badan Pengurus Lazismu Pusat, Imam Mujadid Rais pada Sabtu (3/8) Pembukaan Workshop Dampak Perubahan Iklim di Indonesia dan Peran Lazismu yang diselenggarakan di 3 sampai 4 Agustus 2024.
Isu perubahan iklim di Lazismu masuk dalam Pilar keenam yaitu tentang Lingkungan. Imam Mujadid Rais mengungkapkan, isu lingkungan ini menjadi pilar yang memiliki serapan paling rendah dibandingkan dengan pilar-pilar program lain.
“Kita juga ikut serta menjadi problem solver atau paling tidak fasilitator bagi masyarakat untuk melakukan pendampingan – turut serta dalam penyelamatan lingkungan,” ungkapnya.
Merujuk hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah, Rais menyebut, isu perubahan iklim ini menjadi pekerjaan rumah tidak hanya bagi Muhammadiyah.
Menurutnya, Lazismu melalui rumah besar Persyarikatan Muhammadiyah telah bergerak di isu perubahan iklim ini, bahkan Muhammadiyah telah memiliki Climate Center yang didirikan pada 2023 di Universita Ahmad Dahlan (UAD).
“Tinggal bagaimana kita mainstreaming isu ini, saya kira kaya di Wonosobo itu ada program reklamasi, dan di pegunungan Meratus Kalsel yang membantu masyarakat adat,” katanya.
Termasuk di Yogyakarta, Lazismu bekerja sama dengan Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) melakukan pendampingan terhadap kelompok pemulung di TPST Piyungan, untuk melakukan recycling sampah sehingga memiliki nilai lebih.
Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Sopa dalam kesempatan yang sama menyampaikan manusia memiliki dua tugas, yaitu sebagai hamba Allah dan sebagai khalifatullah.
Dalam Islam, alam diciptakan oleh Allah SWT untuk manusia dan ditugasi sebagai pemakmur alam. Namun Allah SWT dalam Al Qur’an juga mengingatkan, kerusakan alam juga bisa disebabkan ulah tangan manusia.
Senada dengan yang disampaikan oleh Rais, Sopa juga menyebut bahwa isu perubahan iklim ini memang hanya sebatas menjadi kesadaran muslim. Akan tetapi yang disayangkan menurutnya, perubahan iklim oleh muslim dianggap sebagai takdir.
“Perubahan iklim ini ulah tangan manusia, jadi bisa dimitigasi,” katanya.
Dia menambahkan, agama bukanlah penghalang dalam kampanye membangun kesadaran ekologis. Sebaliknya, jika dipahami dan dibingkai dengan manhaj yang tepat, agama adalah kekuatan transformatif dan instrumen publik yang cukup efektif.