PERTANYAAN
Saya mempunyai suatu kasus yang berkaitan dengan saudara saya, sebut saja A. Saudara saya tersebut (A) kawin dengan B yang masing-masing sudah mempunyai satu anak. Dari perkawinan A dengan B dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, 5 (lima) laki-laki dan 2 (dua) perempuan. B meninggal dunia, sewaktu hidupnya dia berwasiat kepada A agar kesembilan anak tersebut diberi bagian hak waris dari harta peninggalan guna kayanya, yaitu berupa sebidang tanah pekarangan seluas 1230 meter persegi yang di atasnya ada sebuah rumah. Apabila tanah tersebut dibagi-bagikan kurang menguntungkan karena masing-masing berkeinginan menjual dengan nilai penjualan yang berbeda-beda, lebih-lebih yang mendapat muka jalan raya akan sangat jauh selisih nilai jualnya, walhasil tidak adil. Dua di antara enam anak yang sudah berkeluanga telah memiliki rumah tempat tinggal dan telah mendapatkan bagian waris secara gabungan, maksud saya warisan tersebut didapat dari harta guna kaya A dan B dan harta warisan A dan orang tua A sendiri. Tanah pekarangan yang merupakan harta warisan tersebut sudah pernah ditawar Rp. 70.000.000 karena A beserta anak-anaknya sepakat untuk dijual, tetapi belum ada kecocokan. Namun sekarang A bermaksud menempatinya sampai batas yang tidak ditentukan. Padahal anak-anak yang sudah berumah tangga tetapi belum memiliki rumah tempat tinggal sangat mengharapkan dari hasil penjualan tanah waris tersebut. Pertanyaan saya adalah: (1) Apakah dibenarkan membagi harta waris secara gabungan berdasarkan hukum Islam? Jika dibenarkan, bagaimana pelaksanaannya yang adil? (2) Menurut etika Islam apakah dibenarkan menunda-nunda pembagian warisan? (3) Harta yang akan dibagi-bagikan apakah harus dikeluarkan zakatnya dahulu atau tidak? Kalau harus dikeluarkan berapa prosenkah zakatnya?
Seseorang yang tidak ingin disebut namanya di Pekalongan
JAWABAN
Kami menangkap bahwa yang saudara tanyakan dengan pembagian secara gabungan itu adalah membagi harta waris yang berujud harta guna kaya A dan B beserta harta A yang merupakan warisan dari orang tuanya A.
Saudara penanya, ada dua hal yang perlu dipahami dalam memecahkan persoalan yang saudara ajukan, yaitu pertama mengenai tirkah atau harta peninggalan dan kedua mengenai ahli waris dan bagiannya.
Persoalan yang pertama, menurut hukum Islam yang dimaksud dengan harta peninggalan atau harta warisan seseorang dalam hal ini B yaitu segala yang dimiliki B ketika hidupnya baik itu berujud harta bawaan, harta yang diperoleh secara warisan, hibah, harta yang diperoleh atas usaha B sendiri maupun harta hasil usaha dengan isterinya (A) yang saudara sebut sebagai harta guna kaya. Akan tetapi karena harta guna kaya ini bukan kepunyaan B seluruhnya, melainkan ada haknya A, maka sebelum dibagi waris harus dipisahkan dahulu atau diambil dahulu yang merupakan haknya A. Dengan demikian harta guna kaya yang merupakan haknya A dan hartanya A yang berasal dari warisan orang tuanya A, tidak termasuk harta warisan B dan tidak bisa diwarisi karena A masih hidup, kecuali apabila A mau menghibahkannya. Konkritnya harus dipisahkan dahulu mana harta miliknya B dan mana harta miliknya A. Yang bisa dibagi waris hanyalah harta miliknya B saja setelah terlebih dahulu dikeluarkan untuk membayar hutang-hutangnya B (kalau ada) baik hutang kepada sesama maupun hutang kepada Allah.
Selanjutnya yang merupakan ahli waris dari B ialah: Pertama, anak-anaknya B baik itu anak bawaannya maupun dari hasil perkawinannya dengan A yang tujuh orang. Kedua, isterinya B yaitu A. Adapun anak bawaannya A bukan ahli waris dari B karena statusnya bukan anak kandung, tetapi anak tiri. Anak bawaannya A hanya berhak mendapat warisan dari harta peninggalannya A. Sekalipun B mengatakan bahwa kesembilan anak-anaknya supaya diberi bagian dari harta guna kayanya, maka untuk anak bawaannya A tidak dikatakan sebagai bagian warisan melainkan sebagai hak dari wasiat yang bisa dilaksanakan maksimal 1/3 harta peninggalannya B. Mengenai besar bagian masing-masing ahli waris, bagi isteri 1/8 bagian, karena B mempunyai keturunan. Hal ini berdasarkan ketentuan surat an-Nisa’ ayat 12:
وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّكُمْ وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِّنْۢ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوْصُوْنَ بِهَآ اَوْ دَيْنٍ ۗ
Artinya: “Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu.”
Setelah diambil bagian isteri sebesar 1/8 bagian, sisanya adalah untuk anak-anaknya. Karena anak-anaknya ini terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian satu orang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan (dua berbanding satu). Hal ini sebagaimana ditentukan firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 11:
يُوْصِيْكُمُ اللّٰهُ فِيْٓ اَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِ
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.”
Dalam kasus ini karena harta warisannya berupa tanah dan rumah, maka untuk tanah bisa dibagi-bagi sesuai bagiannya masing-masing, sudah barang tentu untuk adilnya pembagian tersebut harus melihat dari segi harga, artinya apabila yang di pinggir jalan mendapat 100 meter, untuk yang tidak dipinggir jalan imbangannya mungkin 125 meter atau 150 meter. Sedangkan harta peninggalan yang berujud rumah sebaiknya tidak dibagi langsung dengan cana memecah-mecah rumah menjadi beberapa bagian, karena nilai ekonomisnya menjadi berkurang, tetapi sebaiknya dijual saja dan hasil penjualannya yang kemudian dibagi-bagi. Siapa yang membelinya? Sbaiknya dari ahli waris itu sendiri dengan harga yang disepakati bersama. Bisa juga tanah maupun rumah seluruhnya dijual dengan harga yang disepakati bersama, kemudian hasil penjualannya dibagi di antara para ahli waris sesuai dengan besar bagiannya masing-masing.
Mengenai penundaan pembagian harta warisan, apabila segala sesuatu yang berkaitan dengan harta warisan sudah dapat diselesaikan, sebaiknya harta warisan segera dibagi, sebab apabila tidak segera dibagi akan muncul persoalan-persoalan yang merupakan sumber sengketa. Umpamanya saja, selama harta warisan belum dibagi apakah semua ahli waris bisa memperoleh haknya? Jangan sampai yang memanfaatkan harta waisan itu hanya sebagian ahli waris saja, sedang yang lain tidak. Oleh karena pembagian harta warisan menurut hukum waris Islam bersifat individual, maka apabila ada ahli waris yang menuntut harta warisan itu dibagi, hendaknya harus segera dibagi. Namun demikian apabila ahli waris menghendaki untuk tidak dibagi, melainkan tetap dimiliki secara bersama-sama hal inipun diperbolehkan, yang penting tidak boleh terjadi adanya perampasan atau penyerobotan hak ahli waris oleh ahli waris lainnya. Termasuk penyerobotan atau perampasan hak ahli waris ialah rumah yang merupakan harta peninggalannya pewaris hanya dimanfaatkan oleh satu orang atau beberapa orang ahli waris saja, sedang yang lain tidak bisa memanfaatkannya yang sebenarnya dia sangat membutuhkan sekali.
Mengenai apakah harta warisan itu harus dizakati lebih dahulu sebelum dibagi-bagi, karena dalam kasus ini harta warisannya berupa tanah dan rumah, sedangkan dalam hukum Islam tidak ada ketentuan mengenai zakat tanah, maka harta warisan tersebut sebelum dibagi-bagi tidak perlu dizakati lebih dahulu. Namun demikian kepada para ahli waris dianjurkan untuk bersadaqah tatkala membagi waris kepada karib kerabat yang tidak memperoleh bagian warisan, kepada anak yatim atau kepada fakir miskin pada umumnya. Yaitu untuk supaya mereka ikut merasakan kebahagian yang sedang dirasakan para ahli waris yaitu kenikmatan yang berupa harta warisan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah surat an-Nisa’ ayat 8:
وَاِذَا حَضَرَ الْقِسْمَةَ اُولُوا الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنُ فَارْزُقُوْهُمْ مِّنْهُ وَقُوْلُوْا لَهُمْ قَوْلًا مَّعْرُوْفًا
Artinya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekedarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.”
Fatwa Tarjih No. 25 Tahun 1998