PERTANYAAN
Menurut Abdul Munir Mulkhan, dalam bukunya “Masalah-masalah Teologi dan Fiqih dalam Tarjih Muhammadiyah” pada halaman 22; tentang cara shalat wajib, dijelaskan, bahwa dalam melaksanakan shalat Muhammadiyah berbeda dengan kebiasaan yang dilakukan ummat Islam umumnya. Inti tulisannya adalah, menurut A. Munir Mulkhan, bahwa Muhammadiyah sesuai Ketetapan Majelis Tarjih dalam melaksanakan shalat, dengan urutan: 1. membaca takbir, 2. niat, 3. mengangkat tangan dalam takbir, … dan seterusnya. Kesimpulan Abdul Munir Mulkhan itu mengacu pada HPT Bab Cara Shalat Wajib. Sementara, urutan yang umum dilakukan ummat Islam adalah: 1. niat, 2. membaca takbir, 3. mengangkat tangan dalam takbir, dan seterusnya. Oleh karena itu, urutan pelaksanaan shalat yang mana yang benar, menurut kesimpulan Abdul Munir Mulkhan atau menurut urutan yang umum dilaksanakan ummat Islam? Jika urutan yang umum dilaksanakan ummat Islam yang benar, saya menyarankan: (1) Agar dilakukan bantahan atas tulisan/buku Abdul Munir Mulkhan, karena tulisan tersebut dapat menyesatkan ummat. (2) Agar dipertimbangkan kembali cara penulisan urutan pelaksanaan shalat dalam buku HPT, karena dapat mengelirukan ummat.
Bapak Ir. B.E. Tanjung, Jalan Bilal No. 86, P. Brayan Darat I, Medan
JAWABAN
Tata cara shalat wajib yang ada di HPT, tertulis sebagai berikut: “Bila kamu hendak menjalankan shalat, maka mengucaplah “Allahu Akbar” (1) dengan ikhlas niatmu karena Allah (2)”, dan seterusnya. Kata “dengan” di sini, bukan berarti urutan bahwa setelah takbir baru diikuti niat. Tetapi maksudnya adalah ketika seseorang membaca takbir itu, sekaligus disertai niat, yakni menyengaja melaksanakan shalat.
Mengapa takbir lebih ditonjolkan di dalam mengawali shalat? Di samping memang hadits mengatakan seperti itu, juga harus dipahami, bahwa di dalam praktik shalat, niat itu tidak bisa dibahasakan dan dilihat. Ia itu abstrak, karena merupakan gerakan hati. Tidak demikian halnya dengan takbir. Sehingga harus dibedakan dengan bahasa tulisan, terutama kalau mengacu kepada fiqh Syafi’i dan Maliki, ketika membicarakan rukun shalat adalah: niat-berdiri-takbiratul ihram, dan seterusnya.
Semua ulama sepakat, bahwa niat dalam shalat lima waktu itu wajib. Hanya, mereka berbeda pendapat tentang niat itu, syarat atau rukun. Golongan Hanafiyah dan Hambaliyah mengatakan, bahwa niat itu merupakan syarat pada shalat lima waktu. Konsekuensi pendapat ini adalah, bahwa niat itu wajib. Tetapi ia berada di luar perbuatan shalat. Perbedaan ini bisa dipahami, karena hadits-hadits yang membicarakan tata cara shalat tidak nenyinggung masalah niat. Hal ini karena hadits mengajarkan tata cana shalat yang bisa dilihat dan dibahasakan. Seperti hadits berikut ini, yang juga dijadikan dalil tara cara shalat wajib di dalam HPT:
مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الوُضُوءُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ [رواه أبو داود والترمذي]
Artinya: “Kunci pembuka shalat itu wudhu, permulaannya takbir, dan penghabisannya salam.” [Hadits Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi]
Arti hakiki dari “wa tahrimuha at-takbir” adalah, bahwa dengan takbiratul ihram, semua perbuatan halal di luar shalat nenjadi haram di dalam shalat, seperti makan, minum, tertawa, dan sebagainya. Dan kalimat “wa tahliluha at-taslim” berarti setelah salam, maka perbuatan yang semula haram menjadi halal kembali, seperti makan, minum, dan sebagainya.
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَكَبِّرْ … [متفق عليه]
Artinya: “Bila kamu menjalankan shalat, takbirlah…” [Hadits Riwayat Muttafaq Alaih]
Sementara, niat itu wajib. Karena merujuk kepada hadits yang diriwayatkan dari Umar ibn al-Khattab, yang berbunyi:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ … [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat …” [Hadits Riwayat al-Bukhari dan Muslim]
Berdasarkan hadits ini, maka shalat juga harus dengan niat. Karena, shalat itu termasuk perbuatan. Hanya para ulama berbeda menempatkan posisi niat, seperti telah dikemukakan di atas.
Oleh karena itu, tulisan Abdul Munir Mulkhan yang mengatakan bahwa tata cara shalat yang ditetapkan Tarjih berbeda dengan kebiasaan umumnya, itu merupakan persepsi pribadi dia sendiri. Bukan pendapatnya Majelis Tarjih. Dan dalam menulis persoalan di atas, Abdul Munir Mulkhan tidak meminta informasi kepada Majelis Tarjih. Maka, dalam kesempatan ini, Tim Farwa akan mempenhatikan saran yang Bapak ajukan.
Fatwa Tarjih No. 28 Tahun 1998