web stats
Home » Merendah dan Merasa Butuh Kepada Allah

Merendah dan Merasa Butuh Kepada Allah

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.

“Wahai sekalian manusia, kalian lah yang faqir (butuh) kepada Allah; dan Allah lah Dzat Yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji”
(QS. Faathir: 15)

Tengah hari itu, pada medio Ramadhan tahun kedua Hijriah, kaum Muslimin Madinah yang baru seumur jagung terpaksa menghadapi peperangan yang tidak berimbang. Perkiraan awal bahwa mereka hanya akan melawan sekonvoi kafilah dagang Quraisy dengan jumlah tak seberapa, ternyata meleset. Abu Sufyan bin Harb yang memimpin batalyon pelindung waktu itu, rupanya memutar lewat tepi laut dan meminta bala bantuan dari Mekkah.

Di sebuah lembah bernama Badr, yang berjarak 130 KM dari Madinah, Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam bersama 312 Sahabat harus berhadapan dengan 1000 lebih pasukan Quraisy. Ketika itu pasukan Muslimin hanya bersenjata seadanya. Sedangkan kuffar Quraisy bergerak dengan amunisi kuat dan logistik lengkap.

Meski tetap bertahan dan tidak surut ke belakang, namun Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam sempat ketar-ketir melihat tak imbangnya kekuatan. Berbagai rencana dan strategi perang sebenarnya telah disiapkan, namun rasa khawatir tetap tak bisa dihilangkan. Hingga dengan penuh tadhorru’, Rasulullah mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan berdoa, “Ya Allah, penuhilah janji-Mu kepadaku. Ya Allah, berikanlah apa yang telah Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau membinasakan pasukan Islam ini, maka tidak akan ada yang beribadah kepada-Mu di muka bumi ini selamanya ” (HR. Imam Muslim).

Dalam riwayat ini juga disebutkan bahwa Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam terus bermunajat kepada Rabbnya hingga selendang beliau jatuh dari pundak. Hingga Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu datang dan mengambil selendang tersebut kemudian meletakkan kembali di pundak beliau. Lalu Abu Bakar berusaha menghibur, “Wahai Nabi Allah, sudah cukup engkau bermunajat kepada Rabbmu dan Ia pasti akan memenuhi janji-Nya.”

Kemudian Rasulullah ‘alaihis sholatu wassalam segera mengambil baju besi dan terjun ke medan tempur. Allah pun mengabulkan doa penuh kerendahan itu dengan menurunkan 5000 Malaikatnya. “Sungguh Allah telah menolong kalian dalam perang Badar, padahal kalian ketika itu orang-orang yang lemah. Karena itu, bertakwalah kepada Allah, supaya kalian mensyukuri-Nya. Ingatlah ketika kamu mengatakan kepada orang Mukmin: apakah tidak cukup bagi kalian Allah membantu kalian dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan dari langit? Ya cukup, jika kalian bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kalain dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda” (QS. Ali Imron: 123-125).

Allahu Akbar! Betapa dahsyat kekuatan Allah dan betapa lemahnya manusia. Cuplikan perang Badar di atas mengingatkan kita akan pentingnya iftiqaar ilallah, merasa butuh kepada Allah. Rasa ini harus selalu terjaga dalam hati, sehebat apapun daya yang kita miliki. Dalam urusan rumah tangga, masalah ekonomi, hubungan sosial, dan dalam seluruh sisi kehidupan; kita butuh kepada Allah.

Orang-orang sholeh terdahulu paham betul akan hal ini. Banyak sekali kisah tentang iftiqaar mereka kepada Allah, termasuk dalam hal-hal yang kecil. Ada di antara mereka yang saat putus sandalnya, berdoa kepada Allah minta sandal baru. Bahkan ada yang butuh sejumput garam, sebelum mulai berikhtiar, mereka memohon dulu kepada Allah. Dalam kamus hidup mereka tidak ada yang namanya PD (Percaya Diri), yang ada hanya PA (Percaya Allah). Bahkan seorang Rasul pun pernah berdoa, “Janganlah Engkau sandarkan diriku kepada diriku sendiri, meski hanya sekejap mata” (HR. Imam Ahmad).

Itu dalam masalah remeh-temeh hidup keseharian. Lalu bagaimana dalam dakwah dan perjuangan memenangkan Islam? Tentu kita lebih butuh kepada Allah. Kekuatan kita yang sesungguhnya adalah ketika kita merasa lemah di hadapan Dzat yang Maha Kuat. Kemuliaan kita yang hakiki adalah ketika kita mau merendah kepada Rabb yang Maha Tinggi. Semakin kita merasa lemah di hadapan-Nya, kita akan semakin kuat. Semakin kita merendah kepada-Nya, semakin tinggi kita menjulang.

Pertanyaannya, sejauh mana kita merendah dan merasa butuh kepada Allah dalam tiap agenda dakwah kita? Selain rajin beraksi di jalanan, serajin apa “aksi” kita di hadapan Alloh pada keheningan malam? Atau kita malah maghrur (tertipu) dengan SDM yang berkualitas nan militan, kerapihan dan solidnya barisan, atau sumber dana yang berlimpahan, sehingga kita lupa untuk berdoa meminta pertolongan?

Dengan tegas Allah telah mengingatkan kita tentang tragedi Hunain, saat ada sebagian pasukan yang maghrur dengan hebatnya kekuatan Muslimin saat itu: “Dan ingatlah pada Perang Hunain, saat banyaknya jumlah kalian membuat kalian kagum, maka itu tidak memberi kalian manfaat sedikit pun, dan bumi yang begitu luas menjadi sempit, lalu kalian lari ke belakang” (QS. At-Taubah: 25).

Pelajaran berharga tentang iftiqaar dan tawakkal ini juga bisa kita dapatkan dari sejarah makar Abrohah dan tentara gajahnya untuk menghancurkan Ka’bah. Sebenarnya kabilah-kabilah Arab sudah berupaya membendung laju raja yang bergelar Dzu Nafar itu, namun semua terkalahkan. Hingga akhirnya Abrahah memanggil orang paling terhormat dari Quraisy yang mendapatkan amanah turun menurun untuk menjaga Ka’bah, yaitu Abdul Muthalib, kakek Rasulullah ’alaihis sholatu wassalam.

Abrohah terheran saat bertemu dengan Abdul Muthollib. Bukan soal penghancuran Ka’bah yang dipermasalahkan, Abdul Muthalib malah menuntut pengembalian 200 ekor unta yang dirampas tentaranya. Benar-benar hina dianggapnya. Abdul Muthalib pun menjawab keheranan Abrohah tersebut dengan mengatakan, “Aku adalah pemilik unta-unta itu, sedangkan Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya”. 

Sebagaimana dinukil Ibnu Hisyam, setelah itu Abdul Muthalib dan orang-orang Quraisy berdoa di depan pintu Ka’bah, lalu sembunyi di atas gunung. Hingga Allah mengirimkan burung Ababil, “Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Rabbmu bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Ia telah menjadikan tipu daya mereka itu sia-sia? Dan Ia mengirimkan kapada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu dari tanah yang terbakar. Lalu Ia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan ulat” (QS. Al-Fiil: 1-5).

Seperti raja Abrahah, mungkin kita juga terheran dengan sikap “lemah” dan “menyerah” Abdul Muthalib. Seolah lepas tangan dan tidak bertanggungjawab. Namun sungguh, sikap iftiqaar dan tawakkal yang dimiliki Abdul Muthalib tersebut, jauh lebih bernilai dan berharga di sisi Allah dari pada orang-orang yang berjibaku memperjuangkan dakwah, melawan kebatilan hingga berdarah-darah, namun lupa untuk merasa butuh kepada Allah.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00