PERTANYAAN
Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah dalam Rubrik Fatwa Agama (SM Edisi 21/82/1997) menjawab pertanyaan Sdr. Juwadi, SMUN Boja Kendal, tentang hukumnya makan di rumah duka, memberikan penjelasan yang intinya “membolehkan” makan di rumah duka bila tidak memberatkan ahli mayit (misalnya bahan yang dimasak berasal dari pemberian tetangga) dan tidak berlebih-lebihan (wajar-wajar saja). Pada kesempatan ini ijinkan saya memberikan tanggapan sebagai berikut:
Dalam masyarakat kita masalah ini termasuk “khilafiyah’ yang agak sensitif untuk dibahas secara umum. Namun untuk menghilangkan rasa was-was serta untuk menegakkan kebenaran kita tidak perlu ragu untuk membahasnya secara terbuka. Dalam hal ini memang ada dua kelompok pendapat, pertama kelompok yang dengan tegas mengatakan “haram” makan di rumah duka sepanjang itu dikaitkan dengan kematian si mayit. Alasannya hadis (seperti yang dikutip dalam SM 21/82/1997) dengan tegas mengatakan demikian. Khulafaur Rasyidin bahkan berpendapat bahwa menyelamati (mempestai) orang mati hukumnya sama dengan meratap, termasuk dalam pengertian ini niga hari, nujuh hari, nyeratus, nyeribu dst. Sedangkan kelompok kedua menyatakan “boleh” makan di tempat orang meninggal dengan beberapa pembatasan: tidak memberatkan ahlul bait, tidak ada anak yatim yang ditinggalkan dan tidak berlebih-lebihan. Pendapat kedua ini yang paling banyak dianut oleh masyarakat kita bahkan sangat umum. Saya pikir pendapat kedua ini hanya berdasarkan penafsiran belaka tanpa didukung dengan dalil yang kuat. Bila kita simak pendapat Majlis Tarjih pada SM No. 21/82/1997, cenderung “membolehkan dengan syarat” seperti pendapat kelompok kedua. Tentunya ini membuat saya agak terkejut dan bertanya-tanya. Majlis Tarjih juga tidak menunjukkan dalil mana yang membolehkan karena yang ada justru dalil yang melarang. Bahkan hadis mengajarkan kepada kita supaya membawa makanan untuk ahlil mayit, bukan untuk pentakziyah atau pelayat. Untuk tidak menimbulkan kesalahpahaman di kalangan ummat (khususnya di lingkungan Muhammadiyah) saya berharap kiranya pengasuh Rubrik Fatwa dapat menjernihkan (memberikan penjelasan sekali lagi atas masalah ini. Demikian mohon dimaklumi dan atas perhatian pengasuh Rubrik Fatwa Agama diucapkan terima kasih.
Muhammad Basuki, NKTAM: 0603-6292-723679, Jalan Bukit Ringgit II Blok N-11 Kenten Permai I Palembang,
JAWABAN
Saudara Muhammad Basuki, terima kasih atas tanggapannya. Penjelasan tambahan kami atas masalah tersebut adalah sebagai berikut:
- Problem-problem sosial yang termasuk masalah khilafiyah sulit ditentukan mana yang benar dan mana yang tidak. Paling-paling yang terkuat di antara beberapa pendapat.
- Dalam menghadapi problem-problem sosial pada umumnya kami berpegang di samping nas, juga Ruhut Tasyri’ (jiwa syari’at) yaitu:
a. rahmatan lil-‘alamin,
b. mendatangkan maslahat, menjauhi madlarat,
c. mudah, tidak memberatkan.
- Dalil yang melarang berkumpul membuat makanan, makan-¬makan di rumah duka adalah perkataan sahabat, bukan dari Nabi saw, yaitu:
كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنْ النِّيَاحَةِ [رواه أحمد]
Artinya: “Kami anggap bahwa berkumpul dan makan-makan di rumah duka sesudah mayit dikubur termasuk meratapinya.”
Perkataan sahabat ini diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir bin Abdullah.
- Dalil yang membolehkan membuat makanan di rumah duka adalah hadis riwayat asy-Syafi’i dan Ahmad dari Abdullah bin Ja’far bahwa ketika Ja’far terbunuh dalam suatu peperangan, Nabi saw bersabda:
اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ [رواه أحمد والشافعي]
Artinya: “Buatlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka tertimpa kesusahan.”
Penjelasan:
1) Nabi saw memerintah untuk membuat makanan bagi keluarga yang tertimpa musibah dimaksudkan untuk meringankan beban keluarga itu.
2) Di Indonesia yang datang ta’ziyah ke rumah duka, umum¬nya membawa makanan tahan lama, bahan-bahan mentah (beras, gula, teh) atau uang.
3) Apabila keluarga yang terkena musibah itu termasuk cukup, kemudian menghidangkan kepada para ta’ziyah, setelah dimasak, seperti kue dan segelas teh kami anggap wajar-wajar saja, karena tidak memberatkan dan tidak berlebihan. Apabila berlebih-lebihan jelas tidak diperbolehkan, karena berlebih-lebihan itu sendiri dilarang (Q.S. al-Araf ayat 31).
Tetapi bila membuat makanan dikaitkan dengan hari-hari kematian (tiga, tujuh, empat puluh, seratus hari) baik dimakan di rumah duka atau diantar ke rumah tetangga hukumnya dilarang karena tidak ada tuntunan dari nas. Dalam hal ini kita perlu memperhatikan hadis:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ [رواه ابن ماجه]
Artinya: “Tidak boleh memelaratkan dan tidak boleh dimelaratkan.”
4) Bila keluarga yang terkena musibah dalam keadaan serba kekurangan maka membuat makanan seperti di atas dilarang (ada yang mengharamkan ada yang memakruhkan).
Demikian tambahan penjelasan kami.