PERTANYAAN
- Bagaimana hukumnya membaca tahiyyat awal hanya sampai pada “Allahumma salli ‘ala Muhammad”?
- Apabila membaca surat yang panjang dan tidak dimulai dari awal surat (misalnya membaca ayat-ayat dari surat al-Baqarah), apakah bacaan basmalah harus dibaca jahr atau sir ataukah tidak dibaca?
- Ada pendapat bahwa berqurban pada hari raya Idul Adha kurang afdol kalau yang berqurban itu belum melaksanakan aqiqah terlebih dahulu. Mohon dijelaskan dan ditunjukkan dalilnya.
Saudara Moh. Roni, guru agama Islam, di Pekanbaru Riau
JAWABAN
Bacaan tahiyyat atau tasyahud jika mengikuti bacaan Ibnu Mas’ud diakhiri dengan:
… أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
Sedangkan dalam riwayat dari Ibnu Abbas, tasyahud itu diakhiri dengan bacaan:
… أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
Kemudian kalangan Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa tasyahud awal tersebut ditambah dengan bacaan “Allahumma salli ala Muhammad”, tetapi tidak demikian di kalangan ulamajumhur. Selanjutnya mengenai persoalan ini bisa saudara baca dalam buku Tanya Jawab Agama, jilid IV halaman 95-99, oleh Tim PP Muhammadiyah Majlis Tarjih.
Pertanyaan saudara mengenai bacaan ayat ketika salat yang tidak dimulai dari awal surat apakah basmalah dibaca jahr atau sir atau bahkan tidak dibaca, terdapat beberapa hadis yang akan memperjelas pertanyaan saudara:
قَالَ أَنَسٌ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَكَانُوا لَا يَجْهَرُونَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [رواه أحمد والنسائى]
Artinya: “Anas berkata: Saya biasa salat di belakang Nabi saw, di belakang Abu Bakar, di belakang Umar, dan di belakang Usman, mereka itu tidak menyaringkan bacaan bismillahirrahmanirrahim.” [HR. Ahmad dan an-Nasa’i]
قَالَ أَنَسٌ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْهَرُ بِالْقِرَاءَةِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [رواه الدارقطني]
Artinya: “Anas berkata: Rasulullah saw membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyaring.” [HR. ad-Daruqutni]
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَزَلْ يَجْهَرُ فِى السُّورَتَيْنِ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ [رواه الدارقطني]
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Nabi saw tetap membaca bismillahirrahmanirrahim dengan nyaring di (permulaan) dua surat.” [HR. ad-Daruqutni] Yang dimaksudkan ialah diwaktu membaca al-Fatihah dan diwaktu membaca surah lain sesudah al-Fatihah.
Mencermati hadis nomor 1 dan 2 menunjukkan kebolehan membaca basmalah dengan jahr atau sir, sudah barang tentu disesuaikan juga dengan waktu pelaksanaan salat. Sedangkan dalam hadis nomor 3, basmalah dibaca di awal surat, karena basmalah diturunkan untuk memisahkan antara dua surat. Oleh karena itu jika membaca ayat di tengah surat pada waktu salat dan akan menggunakan basmalah, seyogyanya dibaca sir meskipun dalam salat jahr, supaya tidak dianggap sebagai awal surat.
Pertanyaan saudara yang ketiga, kami kemukakan bahwa masalah qurban pada hari raya dan aqiqah adalah dua hal yang berbeda. Qurban disyari’atkan Allah sebagai peringatan dari sebuah fenomena ketaatan hamba Allah, Ibrahim dan Ismail, sedangkan aqiqah disyari’atkan berkenaan dengan kelahiran anak, karena anak dipandang sebagai rungguhan maka harus ditebus dengan penyembelihan binatang. Perbedaan lainnya adalah dari segi waktu, qurban dilaksanakan setiap tahun pada hari raya Haji, sedangkan aqiqah dilaksanakan pada hari ketujuh dari setiap kelahiran anak, sebagaimana disebutkan dalam hadis riwayat al-Bukhari-Muslim dan yang lain dari Samurah bin Jundub. Dari segi hukum, qurban hukumnya sunah muakkadah bagi yang mampu. Aqiqah hukumnya juga sunah muakkadah sekalipun orang tua si anak dalam keadaan kurang mampu. Dalam berqurban boleh secara rombongan khususnya bagi yang berqurban dengan onta atau lembu yaitu satu lembu untuk tujuh orang, tidak demikian halnya dalam aqiqah.
Mengenai afdol tidaknya bagi yang berqurban sebelum melaksanakan aqiqah, memang tidak ada dalil yang secara khusus membicarakan masalah ini. Namun boleh jadi orang yang mengatakan kurang afdol karena memandang aqiqah adalah tebusan bagi anak yang dianggap sebagai rungguhan, jika belum ditebus si anak tidak bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya di akhirat nanti. Namun yang perlu dipertanyakan adalah adakah aqiqah itu tidak punya batas waktu, sebab jika mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari-Muslim dari Samurah bin Jundub, waktu pelaksanaan aqiqah itu pada hari ketujuh dari saat kelahiran anak. Ada hadis yang lain yang menyebutkan mengenai waktu pelaksanaan aqiqah selain hari ketujuh, tetapi hadis tersebut dinilai daif (baca SM sebelum ini). Apabila ini yang dipegangi maka penyembelihan binatang, karena kelahiran anak di luar masa itutidak disebut aqiqah tetapi tasyakuran biasa. Jika demikian, apabila dilihat dari cakupan manfaatnya, udhiyah (qurban) jangkauannya lebih luas, karena disyari’atkan untuk dibagikan kepada fakir miskin (bisa di luar daerah domisili orang yang qurban) di samping tetangga dekat dan sahibul qurban sendhi. Sementara tasyakuran yang berkaitan dengan kelahiran anak (di luar waktu aqiqah) jangkauannya hanya kerabat dan tetangga dekat.
Dari sudut pandang ini udhiyah lebih afdol, meskipun sahibul qurban belum melaksanakan tasyakuran karena kelahiran anaknya atau kelahirannya sendiri. Lebih-lebih apabila memahami waktu pelaksanaan aqiqah ituterbatas pada hari ketujuh dari kelahiran anak, sehingga hukum aqiqah yang sunah muakkadah itu jika dilaksanakan di luar waktu yang ditentukan hukumnya menjadi sunah biasa karena tidak lagi disebut aqiqah, tetapi tasyakuran. Dengan demikian dari segi hukum, udhiyah yang sunnah muakkadah kedudukannya lebih kuat dari sunah biasa.
Fatwa Tarjih, No 52 Tahun 1998