Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., MA.
Dalam ayat 27-29 surat Fussilat Allah Ta’ala memperingatkan kita tentang apa yang akan dialami oleh orang-orang yang kufur terhadap firman-Nya. Sebaliknya, dalam surah Fushilat ayat 30, Allah menjanjikan kabar gembira bagi orang-orang yang beriman dan istiqamah:
إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُوا۟ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسْتَقَٰمُوا۟ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ ٱلْمَلَـٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَبْشِرُوا۟ بِٱلْجَنَّةِ ٱلَّتِى كُنتُمْ تُوعَدُونَ
(QS. Fussilat: 30)
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka beristiqamah, maka para malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.'”
Ayat ini adalah ayat yang sangat penting dan istimewa, sering kita dengar dan renungkan. Menurut Imam Al-Qurtubi, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Imam Al-Qurtubi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini turun terkait dengan Abu Bakar, di mana pada saat itu kaum musyrikin berkata bahwa Tuhan mereka adalah Allah, tetapi mereka juga mengatakan bahwa malaikat adalah anak-anak Allah. Mereka percaya bahwa malaikat-malaikat yang mereka yakini sebagai anak-anak Allah akan menjadi pemberi syafaat dan penolong di sisi Allah SWT. Namun, keyakinan ini tidak diiringi dengan istiqamah.
Sebagai jawaban atas perkataan kaum kafir Quraisy tersebut, Abu Bakar Ash-Shiddiq menyatakan, “Rabbunallah wahdahu laa syarikalah, wa Muhammadun Shalallahu alaihi wa sallam abduhu wa rasuluhu fastaqama” (Tuhan kami adalah Allah, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya), lalu beliau beristiqamah.
Menurut riwayat Ibnu Abbas, ayat ini berkaitan dengan Abu Bakar yang merespons ucapan kaum kafir Quraisy. Mereka memang mengakui Tuhan mereka adalah Allah, tetapi mereka juga menyatakan hal-hal yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertentangan dengan ajaran yang ditegaskan dalam ayat-ayat-Nya. Kaum kafir Quraisy mengatakan bahwa malaikat adalah anak-anak perempuan Allah, dan mereka menyembah malaikat-malaikat tersebut dengan harapan bahwa malaikat akan menolong mereka di akhirat.
Sebaliknya, Abu Bakar Ash-Shiddiq dengan tegas menyatakan, “Rabbunallah wahdahu laa syarikalah, wa Muhammadun abduhu wa rasuluhu tsumma istaqoomu”.
Inilah penjelasan mengenai asbabun nuzul dari ayat yang istimewa ini. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang mengatakan ‘Rabbunallah’ lalu mereka beristiqamah” adalah orang-orang yang mengikhlaskan amal mereka hanya untuk Allah.
Ada dua poin penting yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir terkait dengan ayat ini:
Ikhlasul ‘amal lillah: Orang-orang yang beristiqamah adalah mereka yang mengikhlaskan semua amal perbuatan mereka hanya untuk Allah. Ini adalah buah dari syahadat pertama, yaitu Laa ilaha illallah. Tauhid uluhiyah berarti hanya menyembah Allah tanpa mempersekutukan-Nya. Mereka tidak seperti kaum musyrikin yang meskipun mengakui keberadaan Allah, mereka juga meyakini bahwa malaikat adalah anak-anak Allah, bahkan membuat patung-patung malaikat seperti Lata dan Uzza yang mereka sembah di dalam Ka’bah. Orang-orang kafir Quraisy tidak memurnikan ketaatan hanya kepada Allah, karena selain menyembah Allah, mereka juga menyembah malaikat sesuai imajinasi mereka.
Amal sesuai syariat Allah: Orang-orang yang beristiqamah tidak hanya ikhlas dalam niat, tetapi juga beramal sesuai dengan syariat Allah yang diajarkan melalui Rasul-Nya, Muhammad SAW. Mereka tidak hanya sekadar ikhlas, tetapi juga menjalankan ibadah sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW. Banyak orang yang ikhlas lillahi ta’ala, namun tidak mengikuti syariat Allah, sehingga ibadah mereka tidak sesuai dengan apa yang Allah perintahkan melalui Rasul-Nya.
Poin kedua ini adalah buah dari syahadat Rasul. Syahadat pertama menghasilkan tauhid uluhiyah, sedangkan syahadat kedua adalah pengakuan bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Konsekuensi dari syahadat ini adalah mengikuti ajaran Rasulullah. Apabila seseorang mengucapkan syahadat Muhammadur Rasulullah tetapi tidak mengikuti ajaran dan sunnah Rasulullah, maka pengakuannya tidak akan bermakna. Maka kita belum konsekuen dengan apa yang kita persaksikan dan ikrarkan dalam syahadat kita. Makna dari firman Allah ini dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu Katsir juga menukil perkataan para Salaf bahwa makna ayat ini adalah banyak manusia yang telah mengucapkan “Rabbunallah” (Tuhan kami adalah Allah), tetapi kemudian banyak dari mereka yang kafir setelah itu.
Kalimat ini juga merujuk pada persaksian yang dilakukan oleh seluruh manusia sebelum lahir, ketika masih di alam ruh. Saat itu, Allah Subhanahu Wa Ta’ala bertanya kepada semua manusia, “Alastu birabbikum” (Bukankah Aku adalah Tuhanmu?). Kita semua menjawab, “Balaa syahidna” (Tentu, kami bersaksi). Namun setelah lahir ke dunia, banyak yang lupa dan melenceng dari jalan Allah, baik karena pendidikan yang mereka terima dari orang tua, atau karena mengikuti hawa nafsu.
Ada juga kasus di mana seseorang lahir dari keluarga muslim, dididik dengan pendidikan Islam, namun akhirnya murtad dari agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Fenomena kemurtadan ini banyak terjadi, terutama belakangan ini. Kemurtadan yang dulu merupakan hal yang serius kini dipertontonkan dengan mudahnya, seakan keluar dan masuk agama Allah adalah hal yang sepele. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga telah mengisyaratkan fenomena ini sebagai salah satu tanda akhir zaman, “Yusbihul Muslim wa yumsi kafir, wa yumsi Muslim wa yusbihu kafir,” yang artinya seseorang di sore hari masih muslim, namun di pagi hari telah kafir, atau di pagi hari masih muslim, tetapi sorenya telah keluar dari agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Inilah contoh orang-orang yang tidak istiqamah hingga akhir hayatnya. Bahkan, pada masa setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, banyak orang yang sudah bertemu dan mendapatkan dakwah langsung dari beliau, serta berislam ketika beliau masih hidup, namun setelah Rasulullah wafat, mereka murtad dari agama Allah. Salah satu tugas penting yang diemban oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah qitalul murtaddin (memerangi orang-orang yang murtad), termasuk berhadapan dengan Musailamah Al-Kadzdzab.
Sebaliknya, orang-orang yang istiqamah, yang memegang teguh agama Allah dan mentauhidkan-Nya tanpa mencampurinya dengan kesyirikan, serta tetap bertahan hingga akhir hayat, akan mendapatkan karunia yang besar. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan bahwa pada saat mereka mendekati kematian, malaikat-malaikat yang sangat banyak akan turun kepada mereka.
Kapan turunnya malaikat-malaikat ini? Ada beberapa pendapat yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir, Al-Imam Al-Baghawi, dan para mufasir lainnya. Para ulama menyebutkan beberapa tafsiran tentang kapan malaikat turun kepada orang-orang yang istiqamah ini. Salah satu pendapat menyebutkan bahwa malaikat turun ‘inda al-maut, yakni ketika mereka sedang sekarat menjelang kematian. Pendapat lain yang lebih detail, seperti yang dijelaskan oleh As-Sa’di dan beberapa mufasir lainnya, menyatakan bahwa malaikat turun saat al-ihtidar (yakni saat sakaratul maut). Pada saat itu, orang-orang yang istiqamah, yang telah mengucapkan “Rabbunallah tsumma astaqamu” (Tuhan kami adalah Allah, kemudian mereka beristiqamah), akan didatangi oleh para malaikat sebelum mereka wafat.
Inilah pendapat pertama, dan pendapat kedua menyebutkan bahwa para malaikat akan turun mengelilingi dan mengerumuni orang-orang yang istiqamah di saat-saat menjelang kematian mereka.
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan malaikat turun kepada orang-orang yang istiqamah. Pendapat pertama menyatakan bahwa malaikat datang di kuburan mereka, yaitu setelah mereka diletakkan di dalam liang lahad dan orang-orang yang mengantarkan jenazah telah pergi. Kedatangan malaikat ini adalah untuk orang-orang yang istiqamah dalam kehidupannya. Pendapat kedua menyebutkan bahwa malaikat turun ketika bangkit dari kubur, yaitu setelah kebangkitan dari alam barzakh pada hari kiamat, sebelum mereka dikumpulkan di padang mahsyar. Bagi orang-orang yang konsisten dalam menyatakan “Rabbunallah” (Tuhan kami adalah Allah) hingga akhir hayat, malaikat akan mendatangi mereka setelah mereka dibangkitkan dari kubur.
Ada tiga pendapat mengenai waktu turunnya malaikat ini, dan Ibnu Katsir menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa malaikat akan turun pada tiga momentum: pertama, ketika menjelang kematian (sebelum wafat), kedua, di dalam kubur (alam barzakh), dan ketiga, ketika mereka dibangkitkan dari kubur. Pendapat ini diriwayatkan oleh Zaid bin Aslam dan didukung oleh Ibnu Katsir.
Kemudian, pertanyaannya adalah, apa yang dilakukan malaikat ketika turun dan mengerumuni orang-orang yang istiqamah? Malaikat akan mengatakan: “Alla takhaafu wa laa tahzanu” (Jangan kalian takut dan jangan bersedih).
Makna “Alla takhaafu” dijelaskan oleh para mufasir, yaitu agar mereka tidak takut terhadap apa yang akan dihadapi dari urusan akhirat. Ketakutan ini muncul ketika seseorang melihat malaikat pencabut nyawa, menyadari bahwa kematian telah tiba, dan teringat tentang azab kubur, huru-hara kiamat, serta neraka. Di saat inilah malaikat datang untuk menenangkan mereka, karena mereka adalah orang-orang yang beriman dan istiqamah.
Sedangkan “wa laa tahzanu” bermakna agar mereka tidak bersedih. Para ulama menjelaskan bahwa kesedihan ini biasanya terkait dengan hal-hal yang mereka tinggalkan di dunia, seperti anak-anak, keluarga, harta benda, atau utang. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjamin bahwa Dia akan mengurus segala hal yang mereka tinggalkan. Inilah hiburan yang diberikan kepada orang-orang yang istiqamah saat menjelang wafat.
Selain itu, malaikat juga mengatakan: “wa absyiru bil jannati allati kuntum tu’aduun” (Bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan kepada kalian). Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa sebelum wafat, orang-orang yang istiqamah akan ditunjukkan gambaran surga sebagai kabar gembira.
Fenomena ini sering kita lihat pada orang-orang saleh, para ulama, dan syuhada. Meskipun mereka merasakan sakaratul maut yang berat, namun di akhir hidup mereka, wajah mereka terlihat tersenyum. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun pernah berkeringat ketika menghadapi sakaratul maut, tetapi pada akhirnya, kematian mereka adalah husnul khatimah (akhir yang baik).
Untuk meraih husnul khatimah, kita harus membiasakan diri dengan kalimat thayyibah (kalimat yang baik), seperti Laa ilaaha illallah. Jika seseorang terbiasa dengan kalimat ini setiap hari, insya Allah dia akan menutup hidupnya dengan kalimat tersebut. Namun, jika dia terbiasa mengucapkan hal-hal buruk, seperti sumpah serapah atau kata-kata yang tidak baik, dikhawatirkan hal itulah yang akan keluar dari mulutnya saat sakaratul maut.
Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati dalam ucapan sehari-hari. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengajarkan kepada kita kalimat thayyibah yang seharusnya menjadi kebiasaan, seperti Masya Allah, Alhamdulillah, Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan Allahu Akbar. Jika kita terbiasa dengan kalimat-kalimat ini, insya Allah, di akhir hayat kita pun akan mengucapkan kalimat yang baik.
Keistiqamahan itu penting, dan kita harus memintanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam setiap doa kita. Salah satu doa yang disunahkan oleh Rasulullah adalah: “Ya muqallibal quluub, tsabbit qalbi ‘ala diinika” (Wahai yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu). Dengan doa ini, kita memohon kepada Allah agar diberikan keteguhan hati hingga akhir hayat.
Maka, penting bagi kita untuk terus berdoa agar Allah memberikan istikamah dan husnul khatimah kepada kita semua. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala memudahkan kita untuk meraih kedua hal ini.