Oleh Akhmad Arif Rif’an, S.H.I., M.Si.
Imam al-Ghazali, pada masanya, melihat tanda-tanda kerusakan umat sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadis. Beliau kemudian berusaha keras mencari solusi untuk memperbaiki keadaan tersebut. Salah satu hadis yang menjadi rujukan Imam al-Ghazali diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, yang berbunyi:
“Jika kalian melihat bahwa pikiran egois telah ditaati, hawa nafsu diperturutkan, dan setiap orang merasa bangga dengan pendapatnya sendiri tanpa peduli benar atau salah, maka perbaikilah diri kalian sendiri dan tinggalkan perkara-perkara yang menjadi perebutan orang-orang pada masa itu.”
Imam al-Ghazali memahami bahwa keadaan umat yang seperti ini memerlukan perbaikan yang mendalam. Dari situlah beliau merumuskan konsep al-insihab wal-uzlah, yaitu menarik diri bukan untuk menyepi dan mengasingkan diri, melainkan untuk belajar, membersihkan hati, dan menambah ilmu sebagai upaya memperbaiki keadaan.
Hasil dari perjuangan Imam al-Ghazali ini terbukti efektif. Lima puluh tahun setelah gerakannya dimulai, lahirlah generasi Muslim yang kuat secara fisik dan intelektual, yang dikenal dengan Generasi Muaskar Aqidi. Generasi ini berhasil membalikkan keadaan umat Islam, terutama saat kepemimpinan Salahuddin al-Ayyubi, yang berhasil membebaskan Palestina dari cengkeraman musuh setelah umat Islam sempat mengalami kehinaan selama hampir 58 tahun.
Dalam tradisi belajar Islam, ilmu harus berdimensi iman. Rasulullah ﷺ telah berhasil merubah umat dari masyarakat jahiliah menjadi masyarakat yang sangat haus akan ilmu. Para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para ulama salaf mengikuti jejak tersebut dengan tradisi belajar yang tidak hanya menguatkan ilmu pengetahuan, tetapi juga memperkuat iman.
Saat ini, kita menghadapi tantangan yang serupa. Ada fenomena di mana orang-orang, bahkan yang berada di puncak akademik, memiliki pandangan yang meremehkan agama dan ilmu-ilmu keimanan. Sebagai contoh, saya pernah mendengar kisah dari Prof. Dr. Wan Muhammad Nur W., seorang murid dari Prof. Dr. Syekh Muhammad Naqib al-Attas, yang menceritakan peristiwa ketika seorang profesor dari Indonesia, yang mengagumi peradaban Barat, menantang Syekh Naqib dengan berkata, “Jika Tuhan itu ada, cabut nyawaku dalam 20 detik.”
Jawaban Syekh Naqib sangat sederhana, namun mendalam. Beliau berkata, “Jika Tuhan tunduk pada kehendakmu, maka Dia bukan Tuhan, melainkan budakmu. Tuhan memiliki kehendak-Nya sendiri.” Jawaban ini membuat profesor tersebut terbungkam.
Kisah ini menunjukkan bagaimana ketidakseimbangan pemahaman agama dapat terjadi, bahkan di kalangan akademisi. Imam al-Ghazali juga telah mengingatkan bahwa kerusakan ini bisa terjadi karena tiga hal: pertama, zalim, yaitu tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya; kedua, bodoh (hamaq), yaitu tidak tahu tujuan dan cara mencapainya; dan ketiga, gila (junun), yaitu meyakini sesuatu yang salah sebagai kebenaran. Ketiga hal ini, jika dibiarkan, akan menyebabkan hilangnya adab, yang dalam istilah Imam al-Ghazali disebut the loss of adab.
Suatu ketika, saya diberi sebuah buku sederhana, tidak tebal, tetapi buku ini begitu istimewa. Judulnya adalah Atta’allum wa at-Ta’lim fil Islam (Belajar dan Mengajar dalam Islam). Buku tersebut mengulas banyak ayat-ayat Al-Qur’an, hadis-hadis Nabi ﷺ, serta atsar-atsar para sahabat tentang pentingnya belajar dan mengajarkan ilmu. Salah satu hal yang sangat menarik dalam buku tersebut adalah bagaimana Rasulullah ﷺ begitu menggiatkan tradisi belajar. Ini mengingatkan kita pada kajian akar pendidikan yang pernah disampaikan oleh salah seorang tokoh. Menurutnya, setelah membaca sejarah Islam, terutama pada masa kehidupan Rasulullah ﷺ, terlihat jelas bahwa peradaban Islam yang kuat itu dimulai dari kebangkitan tradisi ilmu.
Seperti apa praktiknya? Mari kita lihat contoh dari kehidupan Rasulullah ﷺ. Beliau memulai dengan menanamkan akidah sebagai pondasi. Akidah ini kemudian mengubah cara pandang hidup setiap orang yang beriman kepada beliau. Semua yang mengikuti Rasulullah ﷺ telah teruji mampu menghadapi ujian-ujian terberat dalam hal ilmu dan kehidupan.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah ﷺ segera memerintahkan Abdullah bin Sa’id bin Ash untuk mengajarkan kemampuan membaca dan menulis kepada siapa saja yang mau belajar. Bahkan, Rasulullah ﷺ mengeluarkan mandat resmi kepada Ubadah bin Samit untuk mengajarkan baca-tulis kepada para sahabat, terutama para sahabat Ahlus Suffah, yang jumlahnya kadang mencapai 40 hingga 200 orang. Mereka inilah yang merekam hadis-hadis Rasulullah ﷺ, menghafal ayat-ayat Al-Qur’an, dan mencatat peristiwa-peristiwa penting. Ahlus Suffah inilah yang bisa disebut sebagai embrio lembaga pendidikan pertama dalam Islam.
Pada masa Umar bin Khattab, sistem pendidikan ini semakin berkembang. Umar mengumpulkan anak-anak Madinah dalam satu maktab (sejenis ruang belajar) dan menunjuk seorang sahabat untuk mengajarkan mereka menulis, membaca Al-Qur’an, hadis, serta sejarah. Para pengajar ini diberikan tunjangan, sehingga mereka dapat fokus dalam mendidik anak-anak tanpa perlu bekerja di bidang lain.
Awal mula institusi pendidikan Islam, yang dikenal dengan istilah jami’ah (universitas), juga bermula dari masjid. Di setiap pojok masjid, selalu ada ulama yang mengajar ilmu sesuai keahliannya: ada yang ahli faraid, ahli tafsir, ahli hadis, dan lain-lain. Ketika tempat di masjid tidak cukup lagi, mereka mulai membangun ruang-ruang belajar yang lebih besar, dan inilah cikal bakal lembaga pendidikan formal di dunia Islam.
Tradisi menuntut ilmu ini sangat kental dalam sejarah Islam. Sahabat seperti Abdullah bin Abbas dan murid-muridnya menggambarkan bagaimana mereka begitu haus akan ilmu. Abdullah bin Abbas sering kali mencatat penjelasan Rasulullah ﷺ hingga lembarannya penuh, dan ketika lembarannya habis, dia menulis di telapak tangannya. Ini menunjukkan betapa seriusnya mereka dalam menuntut ilmu.
Selain itu, dalam Islam, ilmu tidak hanya tentang ibadah, tetapi juga tentang kehidupan secara keseluruhan. Rasulullah ﷺ menanamkan nilai-nilai keikhlasan dalam setiap perbuatan. Ada seorang sahabat yang oleh Rasulullah ﷺ disebut sebagai ahli surga sebanyak tiga kali berturut-turut. Setiap kali Rasulullah ﷺ mengatakan, “Sebentar lagi seorang ahli surga akan masuk dari pintu masjid,” yang muncul adalah seorang sahabat yang dalam pandangan para sahabat lain tampak seperti orang biasa saja. Ia tidak dikenal sebagai sosok yang menonjol dari segi ibadah yang luar biasa atau prestasi keilmuan.
Salah seorang sahabat yang penasaran, Abdullah bin Amr bin Ash, ingin mengetahui apa yang membuat sahabat tersebut layak mendapat pujian sebesar itu dari Rasulullah ﷺ. Maka, ia meminta izin untuk tinggal bersama sahabat tersebut selama beberapa hari untuk mengamati amal-amalnya secara langsung.
Selama tinggal bersamanya, Abdullah bin Amr tidak menemukan hal yang luar biasa. Sahabat tersebut menjalankan ibadah harian yang lazim dilakukan oleh umat Islam: shalat, puasa, dan zikir, namun tidak ada ibadah tambahan yang menonjol atau amalan-amalan istimewa yang tampak di mata Abdullah bin Amr.
Akhirnya, Abdullah bin Amr menanyakan secara langsung kepada sahabat itu apa yang membuatnya begitu istimewa. Sahabat tersebut menjawab dengan rendah hati bahwa apa yang dilakukannya tidak lebih dari apa yang sudah dilihat oleh Abdullah bin Amr. Namun, ia menyebutkan dua hal tambahan yang mungkin menjadi sebab dirinya disebut sebagai ahli surga oleh Rasulullah ﷺ:
Sentuhan kelembutan hati dan keikhlasan dalam setiap amal yang dilakukannya, tanpa mengharap pujian atau perhatian dari orang lain.
Tidak pernah merasa dengki atau iri hati terhadap sesama umat, dan selalu berusaha menjaga hubungan baik dengan orang lain.
Inilah dua sifat yang menjadi kunci amalan seorang sahabat yang biasa, tetapi begitu istimewa di mata Rasulullah ﷺ.
Ini yang sebenarnya sering kita lalaikan. Bayangkan, hanya dengan amaliah batin saja, seseorang bisa diantarkan ke surga dan mendapatkan tazkiyah, jaminan dari Rasulullah SAW.” Peristiwa mendidik yang dilakukan oleh Rasulullah dalam satu hadis berantai menunjukkan pentingnya amal dengan keikhlasan yang benar.
Dalam riwayat yang disebutkan oleh Tirmidzi dan Imam Ahmad, Rasulullah ﷺ bersabda tentang penciptaan bumi yang awalnya bergetar hingga Allah menciptakan gunung-gunung untuk menstabilkannya. Hal ini mengundang kekaguman para malaikat, yang kemudian bertanya kepada Allah, “Adakah sesuatu yang lebih dahsyat dari gunung?” Allah menjawab, “Ada, yaitu besi.” Para malaikat melanjutkan pertanyaan mereka mengenai apa yang lebih kuat dari besi, dan Allah menjawab, “Api.” Setiap kali para malaikat bertanya lagi, Allah menyebutkan hal yang lebih kuat dari yang sebelumnya: air lebih kuat dari api, angin lebih kuat dari air. Namun, ketika para malaikat bertanya apakah ada yang lebih kuat dari angin, Allah menjawab, “Ada, yaitu seorang anak Adam yang bersedekah dengan tangan kanannya dan menyembunyikannya dari tangan kirinya.”
Kisah ini memberikan pelajaran mendalam tentang keutamaan amal yang dilakukan dengan keikhlasan. Sedekah yang dilakukan secara tersembunyi, tanpa pamer atau keinginan mendapat pujian, di mata Allah lebih besar daripada kekuatan alam semesta. Ini menggambarkan bahwa amal batin seperti keikhlasan memiliki nilai yang luar biasa di sisi Allah, bahkan melebihi kekuatan fisik alam seperti gunung, besi, api, air, dan angin.
Maknanya jelas bahwa dalam pandangan Allah, amal yang lahir dari ketulusan hati dan dijauhkan dari riya’ (pamer) akan mendapatkan tempat yang sangat mulia. Hal ini mengingatkan kita bahwa ukuran keberhasilan di hadapan Allah bukanlah dari seberapa besar atau spektakuler amal yang tampak, melainkan dari ketulusan hati dan keikhlasan yang tersembunyi dalam setiap perbuatan.
Ada seorang ulama ahli geologi bernama Prof. Dr. Zaghlul al-Najjar yang menulis buku tebal tentang mukjizat hadis-hadis Rasulullah SAW, termasuk mengenai penciptaan bumi dan gunung. Hadis-hadis Rasulullah tidak hanya berkaitan dengan ibadah, tetapi juga mencakup ilmu pengetahuan lainnya.
Sebagai contoh, dalam kitab Al-Bidayah wa al-Nihayah karya Ibnu Katsir, kita dapat menemukan penjelasan mendalam mengenai makhluk pertama yang diciptakan berdasarkan Al-Qur’an dan hadis, serta peristiwa-peristiwa setelah kiamat. Karya-karya ulama seperti ini sangat monumental dan lahir dari tradisi keilmuan dalam Islam yang selalu berdimensi iman. Rasulullah SAW memotivasi para sahabat untuk menuntut ilmu, membaca, dan menulis. Dalam Islam, tidak ada tempat untuk kebodohan. Namun, dalam mencari ilmu, kita diingatkan untuk senantiasa berada dalam kerangka akidah yang benar.
Dalam Sunan Abu Daud, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menuntut ilmu dengan niat untuk mendebat orang bodoh, atau untuk menunjukkan kehebatannya di hadapan ulama lain, atau agar wajah-wajah manusia menengadah kepadanya, tempatnya adalah neraka.” Ilmu yang tidak didasarkan pada akidah yang lurus akan menghasilkan kerusakan dalam amal, dan amal yang rusak akan mengakibatkan kerusakan dalam dimensi kehidupan lainnya.
Sebagai gambaran, Imam Syafi’i adalah sosok luar biasa. Di usia muda, beliau sudah menghafal Al-Qur’an dan kitab-kitab penting, dan ulama-ulama besar pun memintanya untuk berfatwa pada usia 18 tahun. Beliau tidak pernah makan kenyang selama 16 tahun karena takut kenyang akan mengganggu hafalan dan ibadahnya. Begitu pula Imam Ahmad bin Hanbal, yang hingga usia 70 tahun selalu membawa pena dan tinta ke mana pun beliau pergi.
Imam-imam besar seperti mereka menunjukkan betapa kuatnya hubungan antara ilmu dan akidah dalam Islam. Bahkan ketika menghadapi ujian berat, seperti yang dialami Imam Ahmad yang dipenjara karena mempertahankan keyakinannya bahwa Al-Qur’an bukanlah makhluk, beliau tetap teguh dan tidak tergoyahkan.