نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِ ۚوَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ ۗ نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍ ࣖ وَمَنْ اَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّنْ دَعَآ اِلَى اللّٰهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَّقَالَ اِنَّنِيْ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat. Di dalamnya (surga) kamu akan memperoleh apa yang kamu sukai dan apa yang kamu minta.. (Semua itu) sebagai karunia (penghormatan bagimu) dari (Allah) Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”. Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan kebajikan, dan berkata, “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang berserah diri)?”
Al-Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa yang mengatakan نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ (“Kami adalah pelindung-pelindungmu”) bisa jadi adalah para malaikat yang turun sebelumnya (penjelasan ayat 30), yang mengelilingi orang-orang yang mengatakan “Rabbunallahu tsumma istaqoomu.” Namun, bisa juga yang mengatakan ini adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Jadi, Al-Qurtubi menjelaskan dua pendapat ini: bisa jadi yang mengatakan nahnu auliyaukum adalah Allah sendiri, atau karena kelanjutan dari ayat 30, yang menyebutkan bahwa malaikat berkata, “Alla takhoofu wa laa tahzanu waabsyiru bil jannati lati kuntum tuu’aduun.”

Sedangkan Ibn Katsir menjelaskan makna ayat ini, yaitu para malaikat berkata kepada orang-orang yang beriman pada saat ihtidor (menjelang kematian), yang berarti, “Kami dulu adalah pelindung-pelindungmu,” yaitu yang selalu mendampingimu di dunia, meluruskanmu, memberikan petunjuk, serta menjagamu atas perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu juga, kami akan bersamamu di akhirat, melindungimu dari segala keburukan atau azab di kubur, serta pada saat ditiupnya terompet (hari kiamat). Kami akan menjagamu pada hari kebangkitan, membuatmu selamat melintas di atas shirath al-mustaqim, dan mengantarkanmu masuk ke dalam surga an-na’iim.
Apa yang dikatakan kepada orang-orang yang istiqomah:
نَحْنُ اَوْلِيَاۤؤُكُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِ
(“Kami adalah pelindung-pelindungmu di dunia dan di akhirat.”)
Mereka bukan hanya dibersamai, tetapi juga dijaga oleh malaikat sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala di dunia, dan dikawal dengan sungguh-sungguh. Mereka dikawal saat berada di dalam kubur, diselamatkan dari azab, dikawal saat ditiupnya terompet (hari kiamat), saat manusia dibangkitkan dari alam kubur, hingga dikawal saat di atas sirat, yaitu jembatan yang dikatakan lebih tipis dari rambut yang dibelah tujuh, sampai benar-benar masuk ke dalam surga. Inilah malaikat-malaikat yang Allah perintahkan untuk mengawal orang-orang yang mengatakan, “Rabbunallahu tsumma istaqoomu.”
Inilah yang seharusnya membuat kita tetap istiqomah. Orang yang meyakini betul bahwa orang-orang yang istiqomah akan dijaga oleh para malaikat, baik di dunia maupun di akhirat, sampai benar-benar masuk ke dalam surga. Keyakinan ini seharusnya membuat kita istiqomah, tidak goyah, dan tidak takut akan apa pun, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Katsir.
وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَشْتَهِيْٓ اَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيْهَا مَا تَدَّعُوْنَ
(“Dan untuk kalian di dalamnya (surga) apa-apa yang kalian inginkan, dan untuk kalian di dalamnya apa yang kalian minta.”)
Ini adalah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan juga bagian dari apa yang dikatakan oleh malaikat menurut satu pendapat, atau apa yang dikatakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri berdasarkan pendapat lain. Apa yang dikatakan kepada orang-orang yang istiqomah tadi adalah bahwa bagi kalian di surga nanti, apa pun yang kalian inginkan akan diberikan.
Kata tasytahi berasal dari akar kata yang sama dengan syahwat. Syahwat, jika kita sekarang menganggapnya sesuatu yang negatif, sebenarnya merupakan sesuatu yang netral, artinya keinginan atau hasrat. Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sampaikan di sini, yang tercantum dalam Al-Qur’an, adalah bahwa kelak ahli surga tetap memiliki syahwat (keinginan). Sebab, jika tidak ada syahwat, tidak ada keinginan, maka tidak akan ada ketertarikan, dan tentu itu tidak menyenangkan. Ahli surga nanti akan mendapatkan apa pun yang mereka inginkan, dan syahwat mereka sama seperti syahwat ketika di dunia.
Di dunia, tentu kita memiliki syahwat kepada lawan jenis, baik wanita maupun laki-laki. Kita memiliki syahwat terhadap harta, posisi, kemuliaan, dan makanan yang kita inginkan. Di dunia, kita menahan syahwat, menahan keinginan ini dan itu, karena adanya larangan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan khamar (minuman keras) yang diharamkan di dunia, akan dihalalkan di akhirat.
Bagi yang memiliki syahwat kuat kepada wanita, di surga nanti tidak akan ada “kelelahan.” Syahwatnya masih ada, keinginannya masih ada, namun kekuatannya tidak seperti di dunia. Di surga, semuanya hanya “kenikmatan demi kenikmatan.” Semua yang diinginkan akan terkabul, sementara di dunia masih banyak batasan-batasan, baik batasan karena keterbatasan kita sebagai manusia, atau karena aturan-aturan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, sabarlah, karena semua ini hanya sementara. Nanti, jika sudah di surga, kita akan puas sepenuhnya. Semua yang Allah janjikan, insya Allah akan terwujud. Semua yang kita inginkan dan kita syahwati akan Allah kabulkan.
نُزُلًا مِّنْ غَفُوْرٍ رَّحِيْمٍ
Sebagai penghormatan bagi kalian dari Yang Maha Pengampun, Yang Maha Penyayang.
Ini sangat dalam maknanya. Kata-kata nuzulan di sini, menurut Al-Imam Al-Baghawi, adalah rizqon, sebagai rezeki dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Menurut Al-Imam Al-Qurtubi, nuzulan di sini, selain rizqon, juga merupakan bentuk sambutan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ada sesuatu yang menarik, dan ini adalah poin tadabbur yang baru saya sadari: apa rahasia dari nuzulan min ghafuurun rohiim? Dulu pernah kita sebutkan bahwa penyebutan asmaul husna tertentu dalam ayat-ayat tertentu pasti ada maksudnya, dan pasti relevan dengan ayat yang Allah sampaikan. Kita harus bisa mengambil ibrah atau pelajaran dari disebutkannya salah satu asmaul husna.
Di sini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memilih kata-kata ghafur, salah satu nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala: Ghafūr dan Ar-Rahīm, Yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang. Salah satu poin tadabbur yang kita dapatkan adalah, bahwa kita semua, orang-orang yang istiqomah, orang-orang yang mengatakan Rabbunallahu tsummastaqoomu, bisa mengatakan Rabbunallahu dan bisa istiqomah sampai akhir, itu semata-mata bukan karena kehebatan kita. Bukan karena kita ini orang-orang yang shalih, yang benar-benar terjaga dari kesalahan 100%. Itu semata-mata karena Allah Yang Maha Ghafūr, Allah Yang Maha Memaafkan.
Orang-orang tersebut tetap memiliki kesalahan, tetap pernah berbuat dosa. Yang maksum (terjaga dari kesalahan) hanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun, karena Allah itu Maha Ghafūr, Maha Pemaaf, maka kesalahan itu dimaafkan. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala Maha Pengasih, Maha Menyayangi kita, orang-orang yang beriman, yang berusaha menjaga keimanan, berusaha menguatkan tauhid, dan berusaha untuk istiqomah, maka kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan kasih sayang-Nya, serta menghibur mereka melalui malaikat.
Kita yang banyak dosa ini memiliki kekhawatiran: apakah kita akan masuk surga tanpa hisab ataukah akan dimasukkan ke neraka terlebih dahulu? Bagaimana keadaan di Padang Mahsyar? Bagaimana ketika melalui shirath? Maka dari itu, kita dihibur dengan firman-Nya, “Alla takhāfū.” Begitu pula, ada kegalauan atas apa yang telah kita lakukan—dosa-dosa yang telah diperbuat, kekurangan dalam memenuhi hak keluarga, hak tetangga, dan hak masyarakat serta orang tua. Ada kesedihan-kesedihan dan kegelisahan, maka kita dihibur dengan firman-Nya, “Walaa tahzanuu.”
Siapa yang memberikan semua ini? Yang memberikan adalah Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Yang Maha Ghafūr, yang mengampuni dosa-dosa kita, Yang Maha Pengasih, Ar-Rahīm, yang kasih sayangnya jauh lebih besar daripada yang kita sangkakan.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang istiqomah sampai akhir, orang-orang yang sebelum wafatnya dihibur oleh malaikat yang begitu banyak, yang mengelilingi dan menghibur kita dengan firman-Nya, “Alla takhāfū, walaa tahzanuu, wabsyiru bil jannati allati kuntum tuu’aduun.”
Satu Poin Tarbawi
Ini merupakan usluubuttarhiib, yaitu metode mendidik, membina, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan. Metode ini mendorong seseorang untuk melakukan ketaatan serta mencegahnya dari perbuatan buruk dengan cara memberikan iming-iming atau janji atas sesuatu yang disukai.
Janji ini adalah janji baik dari Allah, dan dalam pendidikan, metode ini termasuk dalam kategori usluubuttarhiib. Kita bisa mengimplementasikan metode ini dalam mendidik anak-anak kita, keluarga kita, mahasiswa, santri, murid-murid, serta binaan-binaan kita. Menggunakan usluubuttarhiib berarti menjanjikan sesuatu yang mereka sukai jika mereka melakukan kebaikan tertentu, seperti memberikan penghargaan atau hadiah sesuai dengan apa yang telah dijanjikan.
Yang paling penting adalah attarhiib bima ‘indallahi awwalan qobla ‘indannas—kita boleh menjanjikan hadiah yang sifatnya materi kepada murid-murid kita, misalnya untuk yang meraih prestasi tertentu, itu diperbolehkan. Namun, yang harus diutamakan adalah menjanjikan apa yang telah Allah Subhanahu Wa Ta’ala janjikan di dalam Al-Qur’an atau yang telah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam janjikan dalam sunnahnya, sebelum menjanjikan sesuatu yang bersifat materi.