Ustadz Fathurrahman Kamal, Lc., M.A.
Salah satu kesyukuran kita sebagai bangsa Indonesia adalah kenikmatan di dalam suasana kemajmukan, kenikmatan dalam suasana yang plural dan tidak tunggal. Dalam kehidupan yang majemuk, kita bisa membuktikan secara empirik kebenaran kalamullah Tabaraka wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an:
“Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qaba’ila li ta’arafu”
(“Kami ciptakan kalian,” kata Allah, “dari jenis kelamin laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal.”)
“Inna akramakum ‘indallahi atqakum”
(“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.”)
Dalam keragaman ini, kita sebagai umat manusia, khususnya orang-orang beriman, diberikan satu predikat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika Allah berfirman di dalam Al-Qur’an:
“Wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasathan litakunu syuhada’a ‘alannas wa yakuna rasulu ‘alaikum syahida”
(“Demikianlah Kami jadikan kalian umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi bagi umat manusia, dan Rasul menjadi saksi atas kalian.”)
Kita dijadikan oleh Allah sebagai umat yang wasath (pertengahan). Ada dua kata yang digunakan oleh Allah ketika menciptakan: Allah menggunakan diksi khalaqa untuk penciptaan yang murni dari-Nya, tetapi ketika sesuatu melibatkan proses sosial, politik, kebudayaan, dan ekonomi yang melibatkan manusia, Allah menggunakan kata ja’ala. Maka, umat Islam tidak hanya diberi secara kodrati dari langit, tetapi harus berpartisipasi aktif untuk mengambil posisi sebagai umat pertengahan, agar kita dapat menjadi saksi bagi umat manusia secara universal, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi saksi atas kita.
Dalam konteks inilah kita menghadapi berbagai dinamika, terutama dalam kehidupan keagamaan kita dan pemahaman keagamaan. Khutbah ini saya sampaikan terkhusus bagi para da’i, para mubaligh, dan para penuntut ilmu yang sedang semangat berselancar di dunia ilmu, terutama di dunia maya. Poin pertama yang perlu disampaikan adalah bahwa para ulama kita telah mensinyalir adanya gejala kehilangan sikap adil dan proporsionalitas dalam berinteraksi dengan berbagai macam keragaman pandangan, termasuk berinteraksi dengan orang yang berbeda pendapat dengan kita.
Poin kedua, perbedaan pandangan saat ini, jika tidak diantisipasi dengan baik, dapat melahirkan disintegrasi umat Islam. Lebih jauh lagi, ini dapat mengancam integrasi bangsa. Perbedaan pandangan politik bisa diselesaikan di meja perundingan, namun jika perbedaan dibumbui dengan dalil agama, mungkin perpecahan itu akan berlangsung sampai akhir hayat, dan ini yang harus kita antisipasi.
Poin ketiga, sekarang muncul budaya latah dalam mengatribusi istilah agama yang sangat berat, seperti mengkafirkan (takfir), menyesatkan (tadlil), atau membid’ahkan (tabdi’). Hanya karena orang lain berbeda pandangan atau keyakinan, begitu mudah seseorang mengeluarkan vonis yang seharusnya tidak diucapkan.
Poin keempat, para ulama tidak selalu memiliki garansi kebenaran dalam setiap pendapatnya, karena tidak ada yang ma’shum kecuali Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Namun, ini bukan berarti kita mempermudah sikap dalam menghadapi ketimpangan. Dalam batasan syariah, penting bagi kita untuk merenungkan hal ini. Saya terkesan dengan apa yang ditulis oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa, jilid ketiga halaman 419-421, yang menyatakan:
“Perpecahan di antara umat Islam, terutama di kalangan ulama dan tokoh-tokohnya, menjadi sebab utama mengapa musuh-musuh Islam begitu mudah mengeksploitasi umat ini. Mereka meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Perintah Allah adalah, ‘Berpegang teguhlah kalian dengan ajaran Allah dan janganlah kalian berpecah-belah.’ Perselisihan bukan sesuatu yang tercela dalam Al-Qur’an, tetapi manakala perselisihan tersebut membawa kepada perpecahan, inilah yang dikatakan Imam Ibnu Taimiyah sebagai meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Ketika ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya ditinggalkan, iblis akan meniupkan rasa permusuhan dan angkara murka di antara para ulama. Jika para ulama dan pembelajar agama rusak, umat ini akan binasa. Namun, jika mereka bersatu dalam perbedaan, saling menghormati dan bertoleransi, mereka akan mampu menguasai keadaan umat dan bangsa ini. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyah, “Al-jama’ah rahmat, al-furqah ‘adzab” (“Persatuan adalah rahmat, perpecahan adalah siksa”).
Namun, banyak pembelajar di dunia maya yang justru menikmati perpecahan tersebut, bahkan dengan latah mengeluarkan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan.
Saudara sekalian yang saya muliakan, jika kita memperhatikan dalam ajaran Islam, ada tiga domain besar di mana orang bisa mengalami perbedaan pendapat. Yang pertama adalah dalam persoalan yang bersifat furu’ al-ijtihadiyyah — persoalan-persoalan yang memang memungkinkan adanya perbedaan pendapat.
Saudara yang saya muliakan, memang benar ada hadis Rasulullah, misalnya, yang mengatakan bahwa akan ada di umatku di kemudian hari orang-orang yang menghalalkan zina, khamar, sutra, dan alat musik. Namun, hadis ini tidak berdiri sendiri. Kalau kita lihat sejarah, misalnya, sutra tidak haram bagi perempuan. Begitu pula alat musik, yang dalam sejarah menunjukkan bahwa Rasulullah mengizinkan penggunaannya saat pernikahan, hari raya, dan bahkan di masjid Nabawi ketika alat musik dimainkan oleh orang-orang dari Habasyah.
Problemnya muncul ketika kita harus menggabungkan dua hadis: satu yang berbunyi demikian, dan fakta sejarah yang menunjukkan hal berbeda. Para ulama berbeda pendapat bukan di ruang kosong. Ini adalah persoalan yang memang sering terjadi. Jika dikatakan bahwa ada ijma’ (kesepakatan), tidak mungkin ada para ulama besar seperti Imam Sukani, Imam Ghazali, atau Imam Ibnu Hazm yang berpendapat lain. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dalam tradisi keilmuan Islam. Mengapa kita tidak mencoba memahami hadis-hadis ini secara menyeluruh sehingga bisa diambil kesimpulan yang tepat?
Dalam peristiwa perang Uhud, ada contoh di mana Rasulullah menginstruksikan sahabat untuk tidak salat Asar kecuali di Bani Quraizah. Ketika waktu hampir habis, sebagian sahabat memahami secara tekstual dan menunda salat hingga Magrib. Sementara yang lain memahami bahwa maksud Rasulullah adalah agar mereka segera berangkat, sehingga mereka salat di perjalanan. Ketika bertemu Rasulullah keesokan harinya, beliau tidak menyalahkan salah satu pihak. Di sini kita memahami bahwa Rasulullah menghargai ijtihad, dan barang siapa yang ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika keliru, dia tetap mendapatkan satu pahala.
Dalam masalah perbedaan pendapat, Imam al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani, yang mensyarah kitab Fathul Bari, menjelaskan bahwa menurut jumhur ulama, berdasarkan hadis tersebut, orang yang berijtihad tidak berdosa, sebab Rasulullah tidak mencela satu pun kelompok dalam peristiwa salat Asar tadi.
Kita harus jujur dalam menghadapi perbedaan pendapat, jangan sampai kita terjebak dalam talbis iblis (penyesatan iblis). Imam Ibnu Jauzi menulis buku Talbisu Iblis, yang menggambarkan bagaimana iblis menyesatkan umat, termasuk para ulama dan ahli fikih. Dalam kitabnya, Ibnu Jauzi mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap tipu daya iblis.
Pada persoalan lain, misalnya dalam hal isbal (menjulurkan pakaian), ada dua hadis yang berbicara tentang hal ini. Rasulullah mengatakan bahwa pakaian yang berada di bawah mata kaki ada di neraka, namun di hadis lain Rasulullah menegaskan bahwa orang yang menjulurkan pakaiannya karena sombong yang akan mendapatkan azab. Di sini, jumhur ulama menyatakan bahwa isbal yang dilarang adalah yang disertai kesombongan.
Perbedaan pendapat juga terjadi dalam ranah dunia dan politik. Misalnya, ketika Rasulullah menghadapi perang Uhud dan Badar, beliau menerima masukan dari para sahabat tentang strategi perang. Dalam peristiwa politik, seperti Perang Jamal dan fitnah yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, kita harus memahami bahwa tidak ada celaan yang diarahkan kepada para sahabat. Bahkan, dalam pandangan ahlusunah waljamaah, kita tetap menghormati semua sahabat dengan mengatakan radhiallahu ta’ala anhum.
Perbedaan dalam persoalan akidah, bagaimanapun, sudah selesai dengan jelas dalam Al-Quran, lakum dinukum waliya din (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Namun, dalam konteks ini, kita harus jujur dan hati-hati dalam menyampaikan pandangan agama, karena talbis iblis sangat halus dan bisa memengaruhi cara berpikir kita.
Imam Ibnu Taimiyah, dalam interaksinya dengan orang-orang yang sesat, menyatakan bahwa orang yang beriman, meskipun melakukan bid’ah, masih lebih baik daripada orang yang kufur terhadap ajaran Nabi Muhammad. Mereka yang melakukan bid’ah masih dalam koridor keimanan, sementara orang yang apriori terhadap eksistensi Tuhan, seperti ateis, lebih berbahaya.
Saudara sekalian, mari kita jujur dalam berijtihad, jangan mengeksploitasi satu pandangan hanya untuk kepentingan pribadi. Terakhir, saya ingin mengutip nasihat Imam Ibnu Taimiyah, bahwa seorang yang beriman, meskipun keliru dalam sebagian ajarannya, tetap lebih baik daripada orang yang mengingkari ajaran Allah. Kita harus memahami ini dengan hati yang jernih dan penuh kejujuran.
Khutbah Jumat 17 Mei 2024 Tema : “Talbis Iblis atas Agamawan” Khatib : Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I. (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah) ——————– Masjid Kampus UGM 📷 Instagram, Twitter, TikTok: @masjidkampusugm 🎥 YouTube, Facebook, LinkedIn, Spotify: Masjid Kampus UGM