Oleh Fajar Rachmadhani, Lc., M.Hum., Ph.D.
Syukur Alhamdulillah, pada kesempatan ini, kita kembali diberikan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kesempatan untuk memperbaharui taubat kita. Mengutip perkataan Al-Imam Al-Ghazali, ketika seorang hamba bangun di pagi hari, itu menandakan bahwa dosanya masih terlalu banyak, sehingga Allah memberikan kesempatan kepada hamba tersebut untuk kembali bertaubat dan meminta ampun kepada-Nya.
Kesempatan yang telah Allah berikan kepada kita pagi ini adalah sebuah nikmat, di mana kita bangun dalam keadaan aman dan tentram, tanpa ada ancaman. Rasulullah bersabda bahwa jika seseorang bangun dan mengalami tiga hal tersebut, seakan-akan dia telah diberikan oleh Allah dunia dan seisinya. Oleh karena itu, mari kita manfaatkan kesempatan ini untuk memperbanyak amal ibadah kita.
Semoga kehadiran kita di majelis yang mulia ini dijadikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai pertimbangan kebaikan kita di hari kiamat. Amin ya Rabbal Alamin.
Tema yang akan kita kaji hari ini mudah saya sampaikan dan mudah Bapak Ibu baca, tetapi dalam mengamalkannya, kita perlu ikhtiar dan mujahadah. Untuk mengamalkan tema ini, dibutuhkan usaha yang luar biasa agar kita semua benar-benar menjadi hamba Allah yang paripurna.
Ketika kita ditanya, “Apa yang membedakan antara orang yang beriman dengan yang tidak beriman terkait tujuan hidup mereka?” Dalam pandangan orang beriman, ini jelas terjawab dalam surat Az-Zariyat ayat 56, yang sering kita dengar:
“وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ”
(Wa Mā khalaqtul jinna wal insa illā liyaʿbudūn)
Tujuan diciptakannya manusia oleh Allah adalah untuk menghambakan diri kepada-Nya. Ini menjadi orientasi, visi, dan misi utama seorang mukmin. Dalam ilmu bahasa Arab, ketika kita membaca ayat atau hadis, kita sering menemukan pengecualian yang datang setelah peniadaan. Dalam ayat ini, Allah mengatakan:
“وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا”
(Wa mā khalaqtul jinna wal insa illā)
Di sini, Allah tidak mengatakan bahwa Dia menciptakan manusia untuk beribadah, tetapi Dia mengawali dengan penegasan bahwa Dia tidak menciptakan manusia kecuali untuk menghambakan diri kepada-Nya. Ini sangat luar biasa.
Sama seperti ketika kita mengucap “Lā ilāha illā Allāh” (Tidak ada Tuhan selain Allah), rasanya berbeda dengan mengatakan “illā Allāh” (kecuali Allah). Oleh karena itu, pengecualian yang datang setelah peniadaan menunjukkan pentingnya hal yang ingin disampaikan oleh Allah, yakni bahwa tujuan utama kita adalah menghamba kepada-Nya.
Ketika kita memahami firman Allah, sering kali kita berpikir bahwa pengabdian kita kepada-Nya cukup dengan melakukan salat, puasa, zakat, dan haji. Kita merasa sudah beribadah kepada Allah dan menjadi hamba-Nya. Namun, makna dari menjadi seorang hamba sangatlah luas. Menjadi hamba bukan hanya sekadar melaksanakan ritual ibadah, tetapi juga melibatkan seluruh aspek kehidupan kita.
Menjadi seorang hamba berarti kita mengembalikan segala sesuatu kepada Allah, menghadap-Nya dan menyembah-Nya. Namun, terkadang kita lebih takut kepada makhluk Allah daripada kepada-Nya. Kita mungkin melakukan salat dan menghadap Allah, tetapi dalam banyak hal, kita mencari perhatian dan ketaatan dari orang lain melebihi ketaatan kita kepada Allah. Jika kita lebih mendengarkan dan patuh kepada orang lain daripada kepada Allah, maka kita belum sepenuhnya menjadi hamba-Nya yang seutuhnya.
Ada juga yang masih melaksanakan salat dan puasa, tetapi ketika memiliki hajat, mereka justru mencari bantuan dari dukun atau paranormal, mencampurkan iman dengan kemusyrikan. Ini menunjukkan bahwa mereka belum sepenuhnya mengadili kepada Allah dan belum menjadikan-Nya sebagai fokus utama dalam hidup mereka. Tujuan dan visi hidup kita seharusnya sepenuhnya untuk Allah, dan inilah makna dari penghambaan yang seutuhnya.
Pertanyaannya, sudahkah kita menjadi hamba yang total? Jangan sampai ibadah kita hanya sebatas ritual, sementara kita menganggap sesuatu yang lain lebih penting daripada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Ini mengindikasikan bahwa kita belum menjadi hamba yang paripurna.
Ada banyak hal yang bisa kita upayakan untuk menjadi hamba Allah yang seutuhnya. Pada kesempatan kali ini, ada tiga hal yang perlu kita bahas:
- Menjadikan Allah dan Ridho-Nya sebagai Tujuan Hidup
Kita harus berikhtiar dan bermujahadah untuk menjadikan Allah sebagai tujuan hidup tanpa ada tuhan-tuhan tandingan bagi-Nya. Jika kita masih memiliki pengakuan dari orang lain sebagai tujuan, maka kita belum menjadi hamba yang seutuhnya.
- Menanamkan Rasa Dititipi, Bukan Memiliki
Kita perlu menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki sebenarnya adalah titipan dari Allah, bukan milik kita. Ini akan membantu kita untuk lebih bersyukur dan tidak terjebak dalam keserakahan.
- Berserah Diri atas Segala Ketetapan Allah
Untuk menjadi hamba Allah yang seutuhnya, kita harus berserah diri kepada-Nya, menerima segala ketentuan-Nya dengan lapang dada.
Hadirin yang dirahmati Allah, hal pertama yang harus kita perhatikan adalah jangan menjadikan bagi Allah tuhan-tuhan tandingan. Kita sering kali menuhankan pengakuan dari orang lain. Harapan kita untuk mendapatkan pengakuan itu bisa lebih besar daripada harapan kita kepada ridho Allah. Secara tidak langsung, kita telah memiliki tuhan-tuhan lain, seperti pujian, harta benda, jabatan, kekaguman, dan popularitas.
Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 164:
“Dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah.”
Kita perlu menghindari hal ini dan mengarahkan hati kita sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Orang-orang itu menjadikan tuhan-tuhan tandingan lebih dicintai daripada kecintaan mereka kepada Allah. Berarti ada fenomena seperti itu: salatnya kepada Allah, puasanya iya, haji umrohnya iya, tetapi dia menuhankan popularitas dan ketenaran. Pokoknya, yang penting viral, apa saja dilakukan, yang penting mendapatkan banyak like, pengakuan manusia, pujian, jabatan, dan seterusnya. Semua itu lebih dicintai di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Maka kata Allah, siapa orang yang menjadi hamba yang sempurna dan seutuhnya itu? Siapa? “Walladzina amanu ashaddu huban lillah.” Jika kita mau menjadi hamba Allah yang seutuhnya, jangan sampai kita punya tuhan tandingan. Harusnya orang yang beriman itu kecintaannya kepada Allah di atas segalanya. Ini berbahaya jika kita masih memiliki tuhan-tuhan tandingan. Salah satu penyebab mengapa hidup ini susah, sengsara, dan tidak bahagia adalah kita masih mencintai tuhan-tuhan tandingan melebihi kecintaan kita kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Nah, urutannya apa? Indikatornya kita bisa melihat kepada pribadi kita, kepada hati kita. Apakah kita masih punya tuhan tandingan yang kita cintai selain Allah? Apa indikatornya?
Mudah Tersinggung: Jika kita menjadi pribadi yang mudah tersinggung, berarti kita masih mempunyai tuhan-tuhan tandingan selain Allah. Ini indikator bahwa kita banyak kecewa. Jika tidak boleh manusiawi, tetapi kemudian larut dalam kekecewaan sampai membuat kita berprasangka buruk kepada Allah, artinya kita masih punya tuhan tandingan.
Selalu Ingin Diketahui Orang Lain: Jika kita merasa perlu untuk selalu mengupload video kegiatan atau aktivitas lainnya, dan merasa kecewa ketika tidak mendapatkan pengakuan dari orang lain, itu juga menunjukkan kita masih mencintai tuhan-tuhan tandingan.
Perasaan Semangat dan Gelisah: Kita merasa hidup bersaing dalam urusan dunia, dan tidak bisa lepas dari perasaan gelisah, lelah, dan sejenisnya. Semua hal ini menjadi indikasi bahwa kita mencintai sesuatu melebihi kecintaan kita kepada Allah. Kita menghamba kepada sesuatu melebihi penghambaan kita kepada Allah.
Maka dalam Al-Qur’an, seperti yang sering kita hafal, terdapat penekanan bahwa manusia itu tidak boleh menuhankan selain Allah. Kecuali hamba Allah harus ikhlas. Dulu pernah kita sampaikan tentang ikhlas itu dari kata “akhlasah”. Dalam bahasa Arab ada istilah al-ma’ul kholis, air yang jernih. Jika air itu terkontaminasi atau ada kotoran, kita harus membersihkannya agar kembali menjadi murni. Penghambatan itu tanpa ada tuhan-tuhan lain.
Para ulama memberikan indikator apakah kita sudah ikhlas atau belum. Yang pertama, apakah amal kita dalam kesendirian kualitasnya sama dengan ketika beramal di hadapan orang lain? Jika kualitasnya sama, maka insya Allah kita menjadi mukhlisin. Tetapi jika ketika beribadah dalam keramaian lebih baik daripada amal kita ketika sendirian, bisa jadi kita belum menjadi orang yang ikhlas.
Yang kedua, apakah kita mau dihina, dibully, atau dikritik, atau mau dipuji? Kualitasnya harus sama. Jika ketika dipuji kita merasa luar biasa, itu menunjukkan kita belum ikhlas.
Agar kita benar-benar menjadi hamba Allah seutuhnya, kita harus mengikhlaskan setiap amal kita. Kita tidak mengharapkan apa-apa dari tuhan-tuhan kecuali kita mengharapkan ridho dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita harus masa bodoh terhadap ucapan orang lain; yang penting adalah tetap beramal. Jika sudah seperti itu, kita tidak mungkin menjadikan ucapan orang sebagai parameter atau penyemangat kita dalam beribadah.
Maka insya Allah kita sudah berusaha menjadi hamba-hamba Allah yang seutuhnya. Jadi yang pertama, Rasul mewanti-wanti Bapak dan Ibu yang dirahmati oleh Allah: jangan sampai kita punya tuhan tandingan yang kita cintai lebih dari kecintaan kita kepada Allah. Tadi, popularitas, ketenaran, pengakuan manusia, jabatan, itu semua urusan dunia. Maka, jika kita tidak menemukan kedamaian, kita tidak menemukan ketenangan dalam hidup, karena masih banyak tuhan-tuhan tandingan, dan itu menjadi orientasi dan tujuan utama dalam amal kita.