web stats
Home » Tafsir Q.S Fussilat ayat 33: Menggali Makna ‘Ahsanu Qawlan’: Menyeru kepada Allah dan Keutamaan Muadzin dalam Islam

Tafsir Q.S Fussilat ayat 33: Menggali Makna ‘Ahsanu Qawlan’: Menyeru kepada Allah dan Keutamaan Muadzin dalam Islam

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A. (Ketua Bidang Pembinaan Remaja, Keluarga dan Jama’ah Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Kita telah membahas tentang apa yang akan Allah berikan kepada orang-orang yang mengatakan rabbunallah kemudian mereka beristikamah dalam hal itu. Di antara yang akan Allah berikan kepada mereka adalah perlindungan dari para malaikat. Para malaikat menegaskan bahwa mereka adalah Aulia, “nahnu auliyaukum fil hayatid dunya wafil akhirah” (Kami adalah pelindung kalian, baik di dunia maupun di akhirat).

Sudah kita jelaskan bagaimana para malaikat itu menegaskan bahwa sebagaimana dahulu mereka diperintahkan oleh Allah untuk menjaga kalian di dunia—dari musibah, bencana, dan makar orang-orang kafir serta musuh-musuh agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala—demikian juga mereka akan melindungi kalian di saat sakaratul maut, di alam kubur, ketika dibangkitkan pada hari kiamat, di padang mahsyar, dan di atas Sirat.

Para malaikat akan berkata, “nuwasilukum ilal jannah nu’illukum ila jannatin na’im” (Kami akan mengantarkan kalian hingga masuk ke surga). Ini adalah janji dari para malaikat kepada orang-orang yang istiqamah, sebagai nuzulan min ghafurir rahim, penghormatan dan sambutan dari Allah yang Maha Pengampun dan Maha Penyayang.

Para ulama mengartikan nuzulan sebagai rezeki, kehormatan, dan sambutan yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya. Disebutkannya nama Allah al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) menunjukkan bahwa seorang hamba, sebaik apapun, hanya bisa masuk surga karena dosa-dosanya diampuni oleh Allah. Bukan karena ia tidak berdosa, tetapi karena ketika ia berbuat kesalahan, ia segera bertobat dan memohon ampun kepada Allah yang Maha Pengampun, lalu Allah mengampuninya.

Kemudian disebutkan juga nama ar-Rahim (Yang Maha Penyayang) setelah al-Ghafur, yang menunjukkan bahwa tidak ada satu pun manusia yang bisa masuk surga hanya karena amal perbuatannya. Ini ditegaskan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sendiri. Semua manusia masuk surga dan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa besar itu hanya karena rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jika ada manusia yang masuk neraka, itu adalah bentuk keadilan Allah karena Allah tidak akan mengazab kecuali berdasarkan kesalahan yang dia lakukan. Tetapi jika ada hamba yang masuk surga, itu pasti karena rahmat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena amalannya tidak sebanding dengan kenikmatan yang diberikan oleh Allah. Allah memberikan lebih, lebih, dan lebih dari apa yang dia lakukan selama di dunia.

Inilah tadabur dari disebutkannya nama al-Ghafur dan ar-Rahim, yang merupakan bagian dari Asmaul Husna.

Pada ayat ke-33, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyampaikan ayat yang begitu luar biasa. Jika kita tadaburi makna dan kandungannya, sangat dahsyat dan menjadi motivasi bagi kita, para pejuang kebenaran. Allah menegaskan, “Wa man ahsanu qawlan mimman da’a ilallahi wa ‘amila salihan wa qala innani minal muslimin” (Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, beramal saleh, dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’ atau bagian dari orang-orang yang berislam?).

Para ulama seperti Ibnu Katsir, Al-Imam Al-Baghawi, dan Al-Imam Al-Qurtubi menjelaskan siapa yang dimaksud dengan man da’a ilallah, ayat ini menunjukkan tentang keutamaan besar dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada siapa? Kepada man da’a ilallah, yaitu orang-orang yang menyeru kepada Allah. Nah, siapa sebenarnya man da’a ilallah itu?

Para mufasir menyebutkan beberapa pendapat. Pendapat pertama, sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Baghawi, bahwa yang dimaksud dengan man da’a ilallah adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Jadi, menurut pendapat ini, yang memperoleh keutamaan dan dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat ini, yang dikatakan oleh Allah sebagai orang yang paling baik perkataannya, adalah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Benar atau tidak? Benar, karena tugas utama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah menyeru manusia kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan Rasulullah benar-benar menunaikan amanah itu.

Ketika kita menziarahi makam Rasulullah, di antara yang dianjurkan setelah mengucapkan salam assalamu’alaika ya Rasulullah adalah mengucapkan, nashhadu anna ka qad ballaghta ar-risalah wa addaita al-amanah wa nashahta al-ummah wa jahadta fillahi haqqa jihadih.

Artinya, “Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah wahyu, menunaikan amanah, memberikan nasihat kepada umat, dan berjihad dengan sebenar-benar jihad.” Ini adalah persaksian kita. Hingga akhirnya Islam sampai kepada kita, meskipun dipisahkan oleh waktu yang sangat lama, ribuan tahun, dan jarak yang jauh, kita di Nusantara ini, di Pulau Jawa, Alhamdulillah, mendapatkan hidayah Islam. Jika bukan karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang da’a ilallah (menyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala), Islam tidak mungkin sampai kepada kita.

Namun, jika pendapat ini benar, bahwa ayat tersebut hanya merujuk kepada Rasulullah, apakah berarti ini menutup pintu bagi kita untuk memperoleh keutamaan itu? Hanya Rasulullah yang dapat dipuji dalam ayat ini? Pendapat ini memunculkan pertanyaan.

Pendapat kedua, arsyadakumullah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama yang dinukil oleh Al-Imam Al-Baghawi, adalah riwayat dari Aisyah Radhiallahu Anha. Aisyah mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan para muadzin: nazalat fil-mu’azzinin (ayat ini turun berkaitan dengan para muadzin). Ini riwayat dari Aisyah yang dinukil oleh Al-Imam Al-Baghawi dan juga oleh mufasir lainnya. Bahwa ayat ini berhubungan dengan para muadzin.

Masya Allah, siapa di antara kita yang bertugas sebagai muadzin? Masya Allah, ayat ini menurut riwayat Aisyah turun berkaitan dengan kalian, para muadzin. Karena apa? Karena muadzin adalah orang yang menyeru kepada Allah, mengajak manusia dengan seruan “Hayya ‘ala ash-shalah” (mari menunaikan shalat). Mereka benar-benar orang yang menyeru kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengajak untuk beribadah kepada-Nya.

Kemudian, ikhwah fillah, arsyadakumullah, Ibnu Katsir dan para ulama lainnya dalam menafsirkan ayat ini serta menukil pendapat bahwa ayat ini turun berkaitan dengan para muadzin, menyebutkan beberapa hadis tentang keutamaan muadzin. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, al-mu’adzinun atwalun nasi a’naqan yaumal qiyamah—bahwasanya para muadzin adalah manusia yang memiliki leher paling panjang kelak di hari kiamat.

Dalam budaya Arab, orang yang memiliki leher panjang dianggap memiliki bentuk fisik yang baik dan mulia, namun tentu jangan dibayangkan seperti jerapah ya, ini adalah simbol kemuliaan.

Selain itu, ada riwayat lainnya: Al-Imam dhaminun wal-mu’adzinun ma’munun fa arsyadallahu al-aimmah wa ghafara lil-mu’adzinun—seorang imam bertanggung jawab, dan para muadzin adalah orang-orang yang terpercaya. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada para imam dan mengampuni dosa-dosa para muadzin. Lihatlah, dalam hadis ini makmum tidak disebut, yang disebut adalah imam dan muadzin. Allah memberikan petunjuk kepada para imam dan mengampuni dosa-dosa muadzin.

Ada juga riwayat lain yang menyebutkan bahwa sihaamul-mu’adzinina yaumal qiyamah kasihami-l mujahidin—seruan azan para muadzin di hari kiamat diibaratkan seperti anak-anak panah para mujahidin. Bahkan, Ibnu Mas’ud Radhiallahu Anhu pernah berkata, “lau kuntu mu’addinan ma balani an la ahujja wa la a’mira wa la ujahidu”—Seandainya aku adalah seorang muadzin, aku tidak perlu lagi merasa khawatir jika aku tidak pergi haji, umrah, atau berjihad. Hal ini dikarenakan pahala dan keutamaan muadzin sangatlah besar.

Sayangnya, pada masa Rasulullah, sudah ada muadzin tetap seperti Bilal dan Abdullah Ibnu Ummi Maktum. Namun, Ibnu Mas’ud berangan-angan seandainya ia ditunjuk sebagai muadzin, ia tidak lagi merasa khawatir soal pahala jihad, haji, atau umrah. Keutamaan muadzin begitu luar biasa. Bahkan, Umar Ibn Khattab Radhiallahu Anhu pernah berkata, yang dinukil oleh Ibnu Katsir, “lau kuntu mu’addinan la-akhmaltu amri”—Seandainya aku menjadi seorang muadzin, maka urusanku akan sempurna. Aku tidak akan risau lagi jika tidak bisa qiyamullail atau puasa sunnah, karena keutamaan muadzin begitu besar.

Pendapat kedua ini tentu memotivasi kita semua. Kita tidak mungkin menjadi Rasulullah, karena beliau adalah Khatamul Anbiya wal Mursalin, penutup para nabi dan rasul. Namun, pendapat kedua ini membuka kesempatan bagi kita untuk memperoleh karunia dan predikat yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai orang-orang yang memiliki ahsanu qawlan (perkataan terbaik).

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperhatikan ibadah azan. Siapapun kita, meskipun bukan muadzin atau marbot, jangan sampai seumur hidup kita tidak pernah mengumandangkan azan. Sesekali, kompromilah dengan muadzin, “Biar saya yang azan kali ini.” Atau, jika muadzin terlambat, ambillah kesempatan untuk mengumandangkan azan.

Alhamdulillah, jika kita bisa mendapatkan kesempatan azan. Apalagi jika suara kita bagus, namun jika suara kita biasa-biasa saja, itu tidak mengapa. Yang penting ada yang mengumandangkan azan. Bahkan, jika perlu, carilah masjid atau musala yang tidak terurus, tidak ada marbot atau muadzin tetap, sempatkanlah untuk azan di sana. Fadilahnya begitu besar. Bahkan, bagi Antum yang mungkin seorang ulama, ustaz, atau mudir ma’had, jangan ragu untuk azan. Meskipun orang mungkin heran melihatnya, namun jika dilihat dari keutamaannya, pahala azan sangatlah besar.

Ikhwah fillah, arsyadakumullah, bahkan ada riwayat yang harus menjadi perhatian kita. Bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengisyaratkan bahwa di akhir zaman akan ada fenomena di mana tugas azan diberikan kepada orang yang paling rendah strata sosialnya, dan yang mau azan adalah orang-orang yang dianggap tidak penting.

Apakah ini sudah terjadi sekarang? Coba kita lihat di banyak masjid, tugas azan sering kali diserahkan kepada orang-orang yang dianggap tidak memiliki peran penting secara sosial, seperti posisi ketua RT. Bandingkan misalnya antara ketua takmir dengan muadzin, siapa yang lebih tinggi kedudukannya di banyak tempat? Di pesantren, di kampus-kampus, apakah banyak rektor atau mudir ma’had yang mau mengumandangkan azan? Apakah banyak ketua takmir yang bersedia melakukannya?

Apakah kita pernah mendengar ada presiden, gubernur, atau bupati yang mau azan? Ini adalah fenomena yang telah diisyaratkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan dijelaskan oleh para ulama, bahwa akan datang suatu masa di mana orang yang melaksanakan azan adalah orang-orang yang ahqarun nas—yaitu orang-orang yang dianggap remeh oleh manusia. Namun, di hadapan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, mereka sangat dimuliakan. Ini menunjukkan bahwa fadilah azan yang sangat besar justru sering kali ditinggalkan oleh manusia.

Oleh karena itu, tolong, setelah ini sempatkanlah sesekali untuk azan. Tidak ada yang melarang kita untuk azan, meskipun biasanya ada muadzin tetap yang ditugasi. Mungkin saja, jika terlalu sering, mereka juga merasa bosan dan ingin mendengar suara baru, apalagi jika suara kita merdu. Manfaatkanlah tenaga dan kemampuan yang kita miliki untuk mengumandangkan azan, karena ini adalah kesempatan luar biasa.

Yang saya sesali sampai sekarang adalah bahwa selama berada di Madinah, saya belum pernah azan. Padahal di masjid dekat rumah, sebenarnya ada kesempatan jika saya meminta izin untuk azan. Suara saya juga tidak terlalu buruk, tetapi setiap kali berniat, selalu keduluan oleh orang lain.

Keutamaan seorang muadzin tidak hanya terletak pada seruannya kepada manusia, tetapi ia juga adalah orang yang paling awal datang dibandingkan dengan jamaah lainnya. Ia adalah orang yang paling disiplin dalam menjaga waktu. Bayangkan, bagaimana jika seorang muadzin tidak disiplin? Muadzin adalah orang yang menjaga salat dan mengajak orang lain untuk melaksanakan salat tepat waktu.

Pendapat kedua ini menunjukkan bahwa ahsanu qawlan dalam ayat ini merujuk pada para muadzin.

Kemudian, pendapat ketiga menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ahsanu qawlan adalah semua orang yang menyeru kepada kebaikan. Pendapat ini dirajihkan oleh Al-Imam Al-Qurtubi dan juga oleh Ibnu Katsir, bahwa man da’a ilallah adalah siapa saja yang menyeru manusia kepada Allah, siapa saja yang berdakwah kepada Allah, siapa saja yang menasihati untuk melaksanakan kebaikan dan perintah Allah. Maka, mereka termasuk orang-orang yang dipuji oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam ayat ini, waman ahsanu qawlan mimman da’a ilallah, para mufasir seperti Ibnu Katsir, Al-Imam Al-Baghawi, dan Al-Imam Al-Qurtubi sepakat bahwa pendapat yang lebih kuat adalah pendapat ketiga, yang menyatakan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam termasuk dalam kategori ini. Beliau adalah teladan bagi para ulama dan dai dalam berdakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Para muadzin, ulama, mubaligh yang berdakwah di masyarakat, dai, influencer, content creator, hingga desainer grafis yang berkontribusi menyeru manusia kepada Allah, semuanya masuk dalam kategori ini.

Wa ‘amila shalihan memiliki makna penting yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir. Artinya, orang tersebut tidak hanya menyeru kepada Allah, tetapi juga beramal saleh. Ibnu Katsir menjelaskan, wahua fi nafsihi muhtad bima yaquluhu—dia sendiri mendapat petunjuk dari apa yang diucapkannya. Seruannya tidak hanya bermanfaat bagi orang lain, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Hal ini menegaskan bahwa tidak termasuk orang yang menyuruh kepada kebaikan tapi tidak melaksanakannya, atau melarang kemungkaran tetapi melakukannya sendiri. Jadi, ustaz-ustaz yang hanya omong kosong (omdo), seperti istilah “jarqoni, esok ujar, esok ora iso ngelakoni”—yang hanya berbicara tanpa bisa melakukannya—tidak termasuk dalam kategori ini.

Ibnu Katsir menekankan bahwa wa ‘amila shalihan berarti dia sendiri melakukan apa yang dia serukan. Adapun pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini khusus untuk para muadzin, ini juga penting. Para muadzin yang setelah azan menunaikan dua rakaat salat sunnah, seperti salat sunnah qabliyah subuh atau qabliyah zuhur, menunjukkan bahwa mereka beramal saleh setelah menyeru manusia. Antara azan dan iqamah merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa, maka para muadzin setelah azan jangan langsung pergi, tetapi sebaiknya ikut serta dalam salat berjamaah.

Pendapat kedua tentang makna wa ‘amila shalihan menunjukkan bahwa orang tersebut beramal saleh, dan wa qala innani minal muslimin adalah pengakuan bahwa ia termasuk orang-orang yang berserah diri kepada Allah. Ayat ini mengandung pelajaran tarbiah yang luar biasa. Setiap kalimat dari ayat-ayat ini adalah ilaj—obat bagi penyakit-penyakit aktivis dakwah kontemporer.

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada profesi yang lebih mulia daripada profesi sebagai penyeru kebaikan. Para ulama menasihati kita bahwa nahnu du’at qabla kulli syai’—kita semua adalah dai sebelum profesi lainnya. Sebelum menjadi dokter, insinyur, psikolog, atau dosen, kita adalah dai. Karena itu, meskipun ada yang tidak ceramah atau mengajar, dakwah tetap bisa dilakukan melalui tulisan, konten media, atau proyek yang kita kerjakan.

Poin kedua dari tarbiah ini adalah bahwa dakwah harus menyeru kepada Allah, bukan kepada organisasi, ormas, partai, atau harakah tertentu. Ini adalah penyakit yang sering menyerang aktivis dakwah kontemporer, yaitu ashabiyyah—fanatisme golongan. Organisasi, partai, atau harakah hanya sebagai wasilah (alat), bukan tujuan utama. Kita menyeru kepada Allah, bukan kepada kelompok atau golongan tertentu.

Para ulama juga mengingatkan konsep kam minna wa layssa minna, yang artinya banyak orang yang meskipun tidak satu barisan dengan kita, tetapi mereka memiliki niat, tujuan, dan karakter yang sama. Sebaliknya, ada juga yang satu barisan dengan kita, tetapi pada hakikatnya tidak sejalan dengan tujuan kita. Ini menunjukkan bahwa fanatisme terhadap golongan harus dihindari.

Ibnu Katsir menasihati agar para aktivis dakwah tidak hanya semangat berdakwah kepada orang lain, tetapi juga harus mendakwahi diri sendiri. Jangan sampai kita menyeru kepada kebaikan tetapi melupakan diri sendiri, karena betapa besar kemurkaan Allah terhadap orang yang menyerukan sesuatu yang tidak dia lakukan sendiri. Para mubaligh dan ustaz memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada orang awam.

Wa qala innani minal muslimin adalah penegasan bahwa kita adalah bagian dari kaum muslimin. Loyalitas utama kita adalah kepada Islam dan kaum muslimin, bukan kepada pemimpin ormas, partai, atau harakah tertentu. Loyalitas kita kepada Islam harus melebihi loyalitas kita kepada individu atau organisasi. Ini penting untuk diingat oleh semua aktivis dakwah, agar kita tidak terjebak dalam fanatisme golongan dan selalu menjaga orientasi dakwah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik dan hidayah kepada kita semua.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Kajian Tafsir Tarbawi || Ust. Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A || Masjid Raya Iska oleh Dewan Syari’ah Kota Surakarta

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00