web stats
Home » Kemukjizatan Al- Qur’an Dalam Sains Dan Ilmu Pengetahuan

Kemukjizatan Al- Qur’an Dalam Sains Dan Ilmu Pengetahuan

by Redaksi
0 comment

Dr. Saiful Bahri, Lc., M.A. (Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)

Para ulama menyebutkan bahwa dimensi kemukjizatan Al-Qur’an terdiri dari lima hal, namun yang paling utama tentu adalah kemukjizatan dari sisi kebahasaan. Mukjizat Al-Qur’an yang paling menonjol adalah dari bahasanya, tutur katanya, dan diksinya, sebagaimana pernah kita bahas sebelumnya. Nah, sekarang kita akan mencoba melihat dari sisi saintifiknya.

Mari kita pahami dulu perbedaan antara pendekatan saintifik dan tafsir Al-Qur’an secara umum. Kita harus mengetahui bahwa sains itu sifatnya relatif, sedangkan Al-Qur’an memiliki sifat kebenaran yang mutlak. Kebenaran yang mutlak dari Al-Qur’an tidak bisa disamakan dengan sains yang terus berkembang dan bersifat relatif. Tafsir Al-Qur’an sekalipun, tidak mutlak benar, tetapi memiliki kaidah-kaidah tertentu. Demikian juga tafsir Al-Qur’an yang berbasis saintifik, termasuk yang akan kita bahas kali ini, tidak bisa disamakan dengan pendekatan tafsir yang langsung mengacu kepada teks Al-Qur’an.

Kita juga perlu memahami adanya istilah i’jaz ilmi dan tafsir ilmi. I’jaz ilmi mengacu pada kemukjizatan saintifik yang oleh para ulama menjadi perdebatan. Sebagian ulama lebih memilih untuk menyebutnya tafsir ilmi. I’jaz ilmi mengangkat penemuan pada level kebenaran yang tidak bisa dibantah, sementara tafsir ilmi adalah tafsir yang berbasis pada penemuan ilmiah yang empiris dan peralatan keilmuan, sehingga cakupannya lebih fleksibel.

Terkait dengan pendekatan saintifik ini, tentu terjadi pro dan kontra. Bagi yang pro, pendekatan ini mengungkap dimensi kemukjizatan, memberdayakan akal, mengembangkan tradisi keilmuan, dan membentengi kemajuan sains dan teknologi dengan Al-Qur’an agar tidak terlepas dari nilai-nilai Al-Qur’an. Selain itu, ini juga bisa menjadi sarana dakwah. Namun, bagi yang kontra, pendekatan ini dianggap dapat mereduksi kemukjizatan Al-Qur’an, terjebak pada pemaksaan teks untuk mengikuti perkembangan sains dan teknologi, serta mengakibatkan penafsiran yang terlalu rasional.

Sebagai jalan tengah, banyak ulama yang membolehkan pendekatan saintifik dalam tafsir Al-Qur’an, asalkan sesuai dan selaras dengan kaidah penafsiran serta tidak bertentangan dengan makna asli. Kita juga harus meyakini bahwa kebenaran mutlak adalah dari Allah melalui penafsiran tersebut.

Kemudian, tentu kita tidak memperturutkan hawa nafsu, melainkan meniatkannya untuk menambah khazanah keilmuan. Mari kita masuk pada contohnya, khususnya salah satu yang banyak dibahas dalam tafsir ilmi. Misalnya, ketika Al-Qur’an membedakan redaksi tentang tahun berdiam atau tidurnya Ashabul Kahfi, Allah memberitahu bahwa mereka berdiam di dalam gua selama tiga ratus tahun ditambah sembilan tahun. Kenapa tidak disebutkan langsung, misalnya “300 tahun” atau “309 tahun”? Ini mengindikasikan bahwa penghitungan tahun yang digunakan berbeda—jika menggunakan kalender matahari, durasinya 300 tahun, sedangkan jika menggunakan kalender bulan, menjadi 309 tahun.

Contoh lain yang pernah kita sampaikan adalah mengenai sumpah Allah dalam surat Al-Waqi’ah, di mana Allah tidak bersumpah dengan bintang, melainkan dengan “mawaqi’ an-nujum” (tempat orbit bintang). Ini menunjukkan bahwa bintang-bintang berbeda-beda dalam jaraknya dari bumi; ada yang dekat, menengah, dan sangat jauh, sehingga cahayanya baru sampai ke bumi setelah waktu yang sangat lama. Bahkan, bintang yang kita lihat mungkin sebenarnya sudah tidak ada, karena cahaya yang sampai kepada kita berasal dari masa lampau. Ini membuktikan betapa luasnya alam semesta yang Allah ciptakan.

Selanjutnya, kita juga akan membahas relativitas waktu dalam Al-Qur’an. Misalnya, antara surat Al-Ahqaf ayat 15 dan surat Luqman ayat 14, disebutkan bahwa masa kehamilan dan menyusui adalah 30 bulan. Sementara itu, dalam surat Luqman, Allah menyebutkan bahwa masa menyusui adalah dua tahun penuh (24 bulan). Jadi, ketika 30 bulan dikurangi 24 bulan masa menyusui, tersisa 6 bulan, yang merujuk pada masa kehamilan paling minimal.

Suatu hari, Khalifah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menghadapi kasus di mana seseorang dituduh berzina karena anaknya lahir setelah enam bulan pernikahan. Dengan menggunakan gabungan antara dua ayat tersebut, Ali bin Abi Thalib menyatakan bahwa anak yang lahir setelah enam bulan pernikahan wajib dianggap sebagai anak yang sah, karena kehamilan enam bulan adalah usia prematur yang memungkinkan anak untuk hidup. Pendekatan saintifik ini ternyata sudah ada sejak zaman Ali bin Abi Thalib, meskipun sekarang kita bisa membuktikannya dengan alat dan teknologi modern.

Ke depan, insyaAllah kita akan membahas lebih lanjut tentang relativitas waktu dalam Al-Qur’an. Misalnya, dalam satu hari, Al-Qur’an kadang menyebut waktu setara dengan seribu tahun atau bahkan lima puluh ribu tahun, seperti yang terdapat dalam ayat-ayat yang menggambarkan malaikat turun dan naik ke langit, melaksanakan tugas dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa perhitungan ini berbeda-beda? Ini akan kita bahas lebih lanjut saat kita mengkaji teori relativitas waktu, karena waktu di dunia sendiri bersifat relatif, tergantung dari patokan yang kita gunakan, seperti jam yang kita kenal saat ini.

Misalnya, satu hari di bumi dihitung dari terbit matahari hingga terbit matahari lagi, yang kurang lebih berlangsung selama 24 jam. Namun, perhitungan ini tidak berlaku di semua planet. Jika kita melihat planet yang paling dekat dengan bumi, yaitu Mars, durasi satu hari di sana kurang lebih 24,6 jam. Sedangkan di planet lain, seperti Jupiter, satu hari berlangsung hanya 10 jam, di Uranus 17 jam, dan di Neptunus 19 jam.

Yang menarik adalah di Merkurius, waktu yang dibutuhkan dari matahari terbit hingga terbit lagi adalah 59 hari, dan di Venus, lebih ekstrem lagi—satu hari di sana memakan waktu 243 hari. Artinya, jika kita merasa sibuk di bumi, pindah ke Venus bisa membuat kita merasa punya waktu yang sangat panjang untuk bekerja dan beristirahat!

Planet-planet berputar pada porosnya dan mengelilingi matahari dengan kecepatan yang berbeda-beda. Bumi, misalnya, membutuhkan 23 jam 56 menit 48 detik untuk satu putaran penuh. Arah rotasi bumi adalah ke timur, yang kita sebut dengan istilah “satu hari”.

Sekarang, mari kita bahas tentang tujuh langit yang disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Dalam beberapa surat, seperti Al-Mulk dan Nuh, Allah menyebut “tujuh langit yang berlapis-lapis”.

Allah berfirman:

الَّذِيْ خَلَقَ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۗ مَا تَرٰى فِيْ خَلْقِ الرَّحْمٰنِ مِنْ تَفٰوُتٍۗ فَارْجِعِ الْبَصَرَۙ هَلْ تَرٰى مِنْ فُطُوْرٍ

“Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang” (Al-Mulk: 3).

اَلَمْ تَرَوْا كَيْفَ خَلَقَ اللّٰهُ سَبْعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًاۙ

“Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (Nuh: 15).

Apa sebenarnya makna dari tujuh langit ini? Para ulama memiliki banyak tafsiran yang beragam, dan hingga kini belum ada kepastian mengenai makna tujuh langit tersebut. Bahkan, langit pertama saja belum dapat dijangkau sepenuhnya oleh sains. Beberapa tafsir mengaitkan langit ini dengan atmosfer, wilayah orbit satelit, dan bulan, tetapi kita belum bisa memastikan batasannya.

Langit sering kali dipandang sebagai atap yang datar. Namun, jika kita melihat dari perspektif alam semesta, orbit bumi di tata surya sangat kecil jika dibandingkan dengan luasnya alam semesta. Di tata surya, kita mengenal planet-planet seperti Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, dan seterusnya. Ini hanya sebagian kecil dari keseluruhan alam semesta.

Matahari sendiri bukanlah pusat alam semesta. Ia hanya berada di salah satu lengan galaksi Bima Sakti, yang juga bertetangga dengan galaksi-galaksi lain. Penelitian tentang struktur alam semesta terus dilakukan, dan hingga saat ini para ilmuwan belum menemukan adanya kehidupan di planet selain bumi. Jadi, kita masih ditempatkan di satu titik kecil dalam luasnya alam semesta yang begitu dahsyat dan menakjubkan.

Kita akan membahas tentang kebangkitan manusia pada hari kiamat. Manusia akan dibangkitkan di bumi ini, bukan di planet lain. Umat manusia, binatang-binatang, dan makhluk lainnya akan dikumpulkan di sana.

Sekarang, mari kita lanjutkan. Siapa yang menciptakan dan menyusun struktur alam semesta yang begitu luas ini? Tentu tidak ada yang lain selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Salah satu keajaiban yang disebut dalam Al-Qur’an adalah tentang angka tujuh, misalnya dalam surat Luqman yang menggambarkan luasnya tujuh lautan. Saya bacakan ayatnya:

“Seandainya semua pohon di bumi dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta, lalu ditambah dengan tujuh lautan lagi, tidak akan habis kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Luqman: 27).

Ini menarik. Allah menyebutkan bahwa meskipun semua pohon dijadikan pena dan lautan dijadikan tinta, ditambah dengan tujuh lautan lagi, kalimat Allah tidak akan habis. Artinya, ilmu Allah tak terbatas, dan manusia, seberapa pun ilmunya, tidak akan mampu memahami sepenuhnya hikmah-hikmah Allah.

Angka tujuh ini tidak selalu berarti secara literal. Tujuh lautan, misalnya, tidak berarti hanya ada tujuh lautan di bumi. Ini adalah istilah untuk menggambarkan jumlah yang banyak. Sama seperti ungkapan “tujuh turunan”, yang menggambarkan banyak keturunan.

Selain itu, dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa langit terdiri dari tujuh lapis. Beberapa ulama mencoba menafsirkan secara ilmiah bahwa langit tersebut bisa jadi merujuk pada atmosfer bumi, yang terdiri dari berbagai lapisan seperti ozon, ionosfer, eksosfer, dan lain-lain. Namun, hakikat sebenarnya dari tujuh lapis langit masih menjadi misteri hingga saat ini. Kita hanya bisa mengatakan Subhanallah atas kebesaran Allah yang menciptakan semuanya.

Di dalam Al-Qur’an, Allah juga menyebutkan adanya Baitul Izzah, tempat ibadah di langit yang paling rendah, dan Al-Baitul Ma’mur di langit yang tertinggi, dekat dengan Sidratul Muntaha. Meskipun kita bisa memvisualisasikan gambaran ini, kita tidak tahu hakikat sebenarnya. Begitu pula dengan surga dan neraka, yang nanti akan menjadi tempat bagi manusia setelah dibangkitkan di bumi.

Selain tujuh lapis langit, di dalam Al-Qur’an juga disebutkan adanya lapisan bumi. Misalnya, di dalam surat At-Talaq ayat 12:

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan bumi, serta menurunkan urusan-Nya di antaranya, agar kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”

Lapisan-lapisan bumi ini sudah diteliti secara ilmiah, dan memang ada berbagai lapisan di dalam bumi. Namun, stabilitas lapisan tersebut seringkali terganggu, sehingga Allah menciptakan gunung-gunung sebagai pasak untuk menjaga kestabilan bumi.

Gunung-gunung ini bahkan bergerak. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an: “Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu kira mereka diam di tempat, padahal mereka bergerak seperti awan bergerak.” Ini menunjukkan bahwa bumi dan alam semesta terus bergerak, meskipun pergerakannya sangat lambat sehingga kita tidak menyadarinya.

Sekarang kita akan membahas sejarah kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, dua kaum yang disebutkan di dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang membahas kisah-kisah tentang kaum ini, yang tidak ditemukan dalam Taurat maupun Injil. Sebagian orang menganggap kisah ini fiktif, namun melalui ekskavasi arkeologi, ternyata ditemukan bukti eksistensi kaum tersebut.

Kita juga akan membahas kota Iram, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai “penduduk kota Iram yang mempunyai bangunan-bangunan tinggi” (Al-Fajr: 7). Penemuan-penemuan arkeologi telah mengungkap bahwa kota ini benar-benar ada dan bukan sekadar kisah alegoris. Ekskavasi ini dipimpin oleh Nicholas Clapp, dan menunjukkan bahwa kaum ‘Ad dan Tsamud benar-benar pernah ada.

Sejarah manusia dimulai dari Nabi Adam, dan keturunannya menyebar hingga ke seluruh dunia. Dari keturunan Nabi Nuh, manusia terbagi menjadi beberapa ras, termasuk ras Semit, Ham, dan Yafits. Rasulullah SAW sendiri adalah keturunan dari Nabi Ibrahim, yang berasal dari keturunan Semit.Kaum Tsamud dikenal karena kemampuan mereka memotong batu-batu besar di lembah untuk dijadikan tempat tinggal. Al-Qur’an menyebut dua kaum besar, yaitu kaum ‘Ad dan kaum Tsamud, yang menjadi cikal bakal kemajuan peradaban. Kaum ‘Ad membangun kota Iram, kota yang belum pernah ada sebelumnya dengan bangunan tinggi menjulang. Sedangkan kaum Tsamud dikenal karena memahat gunung-gunung batu menjadi hunian yang nyaman.

Nabi Hud diutus kepada masyarakat kuno Arab, disebut sebagai kaum ‘Ad. Sebelum abad ke-20, keberadaan kaum ‘Ad masih diperdebatkan, dengan sebagian orang menganggapnya sebagai kisah alegoris atau simbolik. Namun, arkeologi modern membuktikan bahwa Nabi Hud dan kaum ‘Ad benar-benar ada. Kaum ‘Ad merupakan suku kuno yang tinggal di sebelah utara Hadramaut, antara Yaman dan Oman, di bagian bawah Semenanjung Arab. Mereka hidup setelah peristiwa banjir besar yang melanda kaum Nabi Nuh. Kaum ini adalah suku yang sejahtera, namun karena menyekutukan Allah dan menolak nabi yang diutus-Nya, Allah menghancurkan mereka dengan badai pasir yang dahsyat.

Nabi Hud berasal dari keturunan ‘Ad, yang merupakan salah satu leluhur kaum tersebut. Berdasarkan Al-Qur’an, kaum ‘Ad dibinasakan dengan angin dingin yang kencang, dan kota Iram terkubur dalam pasir. Kota ini disebut secara eksplisit dalam surat Al-Fajr dan secara implisit dalam surat Al-Ahqaf, yang menggambarkan kaum ‘Ad yang dibinasakan oleh angin badai. Setelah kehancuran kaum ‘Ad, sebagian dari mereka berpindah ke wilayah Hadramaut dan menjadi kaum Tsamud di Al-Hijr.

Sejarah mencatat bahwa kota Iram dan kaum ‘Ad disebut oleh banyak sejarawan, termasuk ahli sejarah dan nasab seperti At-Tabari, As-Suyuti, Al-Qazwini, Al-Hamdani, Yaqut Al-Hamawi, dan Al-Mas’udi. Kaum ‘Ad dikategorikan sebagai “Arab Al-Ba’idah” atau kaum Arab yang telah punah. Mereka menempati wilayah Ahqaf, yang artinya pasir yang miring, di bagian selatan Semenanjung Arab.

Penemuan penting mengenai kota Iram ditemukan pada pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1960-an, sebuah prasasti dari kerajaan kuno Ebla ditemukan di wilayah utara Suriah. Prasasti ini berumur sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi, dan salah satu prasasti menyebutkan bahwa kerajaan Ebla memiliki hubungan dagang dengan kerajaan di Arabia, termasuk kota Iram. Penemuan ini menunjukkan bahwa kaum ‘Ad dan kota Iram bukanlah fiksi, melainkan fakta sejarah yang didukung oleh bukti arkeologi.

Ekskavasi lainnya pada tahun 1984 dilakukan menggunakan foto antariksa yang diambil oleh pesawat Challenger. Penelitian ini menemukan bukti lebih lanjut tentang keberadaan kota Iram dan kaum ‘Ad.

Mari kita ulas kembali bersama Regita mengenai penemuan Kota Iram yang dikenal dalam sejarah melalui pesawat ulang alik dan instrumen radar satelit. Dalam pencarian ini, para ilmuwan menggunakan radar churriyah dan satelit imaging untuk menemukan garis-garis putih yang membentang ratusan kilometer, yang mengindikasikan rute perjalanan karavan kuno. Garis-garis ini menunjukkan jalur yang telah lama ditinggalkan.

Pada 1993, penggalian dilakukan di padang pasir Arab, dan ditemukanlah kota Iram. Ekskavasi ini dilakukan oleh tim internasional, yang melibatkan Prof. Yudis dari Missouri State University dan Siran up mesin es dari British Explorer. Mereka menggunakan teknologi radar pesawat ulang alik untuk mengambil gambar dari angkasa, dan dengan itu, menemukan bahwa kota Iram yang terkubur selama berabad-abad. Kota ini dilindungi oleh badai pasir, sehingga terpendam dan terlupakan oleh zaman.

Penemuan ini mengonfirmasi bahwa kota yang dimaksud dalam tradisi Arab kuno, yang dikenal dengan nama Ubar atau Omnium Imperium, memang ada. Kota Iram ini kemudian direkonstruksi berdasarkan hasil eskavasi. Bentuk kota Iram yang ditemukan menunjukkan adanya benteng-benteng besar dan menara-menara yang tinggi, yang sesuai dengan deskripsi dalam Al-Qur’an dan tradisi Arab. Ciri khas kota ini juga sesuai dengan keterangan yang ada dalam Surat Al-Fajr, di mana disebutkan bahwa kota ini dihancurkan oleh angin yang sangat keras.

Kisah kaum Ad dan kehancuran mereka dapat ditemukan dalam Surat Al-Qamar dan Al-A’raf. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa mereka dihancurkan dengan angin yang sangat kencang selama tujuh malam delapan hari berturut-turut, hingga akhirnya kota Iram yang dibanggakan lenyap dan terkubur di padang pasir.

Penemuan fisik berupa bangunan raksasa yang berbentuk octagonal, lengkap dengan menara-menara dan dinding yang tinggi, memberikan bukti bahwa kaum Ad dan Nabi Hud memang nyata. Mereka yang selama ini dianggap sebagai figur fiktif ternyata benar-benar ada, dan mereka merupakan bagian dari sejarah umat manusia yang perlu diingat sebagai pelajaran penting.

Setelah kehancuran kaum Ad, Nabi Hud dan para pengikutnya hijrah ke selatan, menuju Hadramaut, sementara kaum Tsamud, yang merupakan keturunan dari Tsamud bin Amir bin Iram, mendirikan peradaban di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Madain Saleh. Kaum Tsamud dikenal sebagai penduduk yang memahat batu, dan mereka membuat bangunan dari batu yang sangat kokoh, hingga situs-situs peninggalan mereka seperti Madain Saleh masih dapat ditemukan hingga kini.

Kaum Tsamud disebutkan sebanyak 26 kali dalam Al-Qur’an. Mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat, namun mereka menentang Nabi Saleh yang diutus oleh Allah. Ketika Nabi Saleh menunjukkan mukjizatnya, yaitu mengeluarkan unta dari batu, mereka tetap mendustakan dan meragukan kenabian beliau. Pada akhirnya, kaum Tsamud dihancurkan oleh Allah dengan petir dan gempa besar, yang mengguncang kota mereka dalam waktu yang sangat singkat.

Kehancuran Peradaban Bat

Kisah tentang kehancuran kaum Tsamud dan kaum Ad memberikan pelajaran besar bagi umat manusia. Peradaban batu yang mereka banggakan, yang seharusnya menunjukkan kekuatan dan keagungan mereka, justru menjadi bukti kehancuran mereka yang disebabkan oleh kesombongan dan kedurhakaan terhadap Allah. Mereka mengabaikan pesan-pesan yang disampaikan oleh rasul-rasul Allah, dan akhirnya, dengan satu peringatan, mereka dihancurkan.

Sebagai pelajaran, kita harus mengingat bahwa teknologi dan kekuatan, meski tampak luar biasa, tidak dapat menyelamatkan kita dari hukuman Allah jika kita ingkar dan mendustakan-Nya. Seperti yang terjadi pada kaum Tsamud, yang meski memahat batu dengan sangat indah, pada akhirnya peradaban mereka hancur karena kesombongan dan kedurhakaan.

Cerita tentang kaum Ad dan Tsamud mengajarkan kita bahwa teknologi dan peradaban yang kita banggakan hari ini—seperti peradaban besi dan teknologi canggih—harus tetap berada dalam kerangka ketaatan kepada Allah. Jika kita sombong dan mengingkari kebenaran, maka kita bisa mengalami nasib yang sama dengan kaum-kaum tersebut.

Sebagai penutup, mari kita selalu ingat pesan-pesan yang ada dalam Al-Qur’an dan belajar dari sejarah. Jangan sampai kita terperosok dalam kesombongan teknologi atau peradaban yang kita banggakan. Semoga kita dapat menjaga iman dan ketaqwaan kita, serta tidak terjerumus dalam sikap yang merugikan diri sendiri, sebagaimana yang terjadi pada kaum-kaum terdahulu

Sebagai doa penutup: “Subhanakallahumma wabihamdika asyhadu alla ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaih.”

Kajian ini dihimpun dari channel Asa Tv Indonesia, Ustadz Dr. Saiful Bahri Lc., MA. – Kemukjizatan Al- Qur’an Dalam Sains Dan Ilmu Pengetahuan, 31 Juli 2021

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00