Oleh. DR. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Pertama dan yang paling utama, marilah kita senantiasa memperkuat dan memperdalam rasa syukur kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas nikmat iman, nikmat Islam, dan nikmat bisa terus melakukan ketaatan. Kita berbekal sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya untuk nanti kita persembahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di negeri akhirat. Kesyukuran yang begitu besar ketika Allah meringankan langkah kita dan melonggarkan waktu kita untuk mentadabburi ayat-ayat-Nya, meskipun sedikit demi sedikit. Yang terpenting adalah adwamaha, amal yang istiqamah, meskipun kecil, itulah yang paling dicintai Allah.
Apa yang kita lakukan ini, meskipun hanya semalam kita mendapatkan satu atau dua ayat untuk ditadabburi, insyaAllah, dengan istiqamah, Allah akan memberikan keberkahan. Semoga Allah memberikan umur panjang sehingga kita bisa menyelesaikan seluruh ayat Al-Qur’an, walaupun secara global. Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang terbiasa dengan suatu kebiasaan, maka dia akan diwafatkan dalam kebiasaan tersebut.” Kita berharap kebiasaan kita menghadiri majelis-majelis ilmu dan mentadabburi ayat-ayat Allah akan menjadi jalan wafat yang baik bagi kita, insyaAllah.
Selawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, yang telah memotivasi kita dengan sabdanya, “khairukum man ta’allama al-Qur’ana wa ‘allamahu” — “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” Dua hal ini penting: kita harus terus belajar Al-Qur’an, dan kita harus mengajarkannya kepada orang lain. Jangan pernah merasa cukup dengan level keilmuan yang telah kita capai. Kita harus selalu belajar, mengamalkan, serta mengajarkan kepada orang lain apa yang telah kita pelajari, meskipun hanya bisa mengajarkan Iqra’ jilid satu kepada mereka yang belum bisa membacanya.
Wahai para santri, kalian yang telah hafal Al-Qur’an, ketika pulang ke rumah, Al-Qur’an yang telah kalian hafal adalah amanah. Ajarkan kepada orang tua kalian yang mungkin tajwidnya belum standar, atau kepada saudara-saudara kalian. Sebarkan nilai-nilai Al-Qur’an melalui media sosial. InsyaAllah, dengan cara ini, kita akan menjadi bagian dari golongan khairun nas, manusia terbaik di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Beberapa waktu yang lalu, umat Islam di seluruh dunia berduka atas wafatnya Syekh Yahya Sinwar, pemimpin perjuangan kaum muslimin di Palestina. Beliau telah lama bercita-cita wafat di jalan Allah, dan akhirnya Allah memanggil beliau dalam kondisi terbaik, yaitu berjuang di medan jihad. Semoga beliau termasuk golongan yang memenuhi janji kepada Allah, dan kita semua juga berharap menjadi bagian dari orang-orang yang sedang menunggu giliran untuk dipanggil oleh Allah dalam kondisi terbaik.
Wafatnya Syekh Yahya Sinwar juga memberikan pelajaran berharga tentang kepemimpinan. Beliau tidak hidup mewah, tidak bersembunyi, tetapi hadir di medan jihad bersama pejuang-pejuang lainnya. Seorang pemimpin sejati harus hadir bersama yang dipimpinnya, sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang ikut menggali parit dalam Perang Khandaq. Pemimpin yang baik bukan hanya memberikan perintah, tetapi juga terlibat langsung dalam perjuangan bersama umatnya.
Kita akan melanjutkan kajian Tafsir Tarbawi, dan kita sampai pada Surah Fusilat ayat 34 dan 35. Tafadhol, kepada yang hadir di masjid atau yang menyimak melalui YouTube dan radio, silakan membuka mushaf dan kita lanjutkan kajian ini.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan firman-Nya: “Tidaklah sama kebaikan dan keburukan.” (QS. Fussilat: 34).
Di sini, para mufassir mengartikan kata “wa la” bukan sebagai penafian, tetapi sebagai kata penghubung. Jadi, maknanya adalah bahwa kebaikan dan keburukan tidaklah sama. Sebagian ulama, di antaranya Imam Al-Baghawi, menjelaskan bahwa yang dimaksud al-hasanah adalah kesabaran, kelembutan, dan memaafkan; sedangkan as-sayyi’ah adalah kebodohan, emosi, dan berbuat buruk. Ada juga penjelasan dari para ulama seperti yang dikutip oleh Imam Al-Qurthubi bahwa yang dimaksud dengan al-hasanah di sini adalah la ilaha illallah, sedangkan as-sayyi’ah adalah kesyirikan. Ini menunjukkan bahwa tidak sama antara tauhid dan kesyirikan, yang baik dan yang buruk.
Sebagian ulama lainnya menjelaskan bahwa al-hasanah adalah sikap memaafkan, sementara as-sayyi’ah adalah balas dendam. Tidak sama memaafkan dengan berbuat buruk. Maka dari itu, Allah mengarahkan kita untuk membalas keburukan dengan cara yang lebih baik.
Dalam firman berikutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan:
“Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang sebelumnya ada permusuhan antara kamu dengannya akan menjadi seperti teman yang setia.” (QS. Fussilat: 34).
Para mufassir, seperti Imam Al-Baghawi dan Imam Al-Qurthubi, menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Sufyan bin Harb, yang awalnya sangat memusuhi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan kaum muslimin, tetapi akhirnya melunak setelah menjadi besan Rasulullah. Ini menunjukkan bahwa menyelesaikan permusuhan tidak harus dengan kekerasan, tetapi bisa dengan cara-cara yang lebih humanis, seperti melalui hubungan kekeluargaan.
Sebagian ulama juga berpendapat bahwa ayat ini sudah mansukh (dihapus) oleh ayat-ayat tentang perang. Ada pula yang mengatakan bahwa ayat ini berlaku ketika Rasulullah dan para sahabat berada dalam kondisi lemah, di mana mereka disarankan untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Namun, setelah adanya perintah jihad, sikap seperti ini tidak lagi diwajibkan dalam situasi tertentu.
Namun, ikhwah fillah, makna ayat ini bisa kita tarik ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam bermuamalah. Ini adalah pendidikan untuk berbuat baik dalam berhubungan dengan sesama manusia, terlebih lagi dengan sesama muslim. Sering kali perselisihan justru terjadi di antara pejuang-pejuang Islam. Bahkan, tidak jarang perselisihan itu terjadi di antara para ulama, yang terkadang dilandasi oleh sikap hasad (iri hati).
Jika ada yang berbuat buruk kepada kita, terutama mereka yang memiliki hubungan dekat seperti kerabat, kita dianjurkan untuk tetap bersikap baik. Sebagaimana dijelaskan oleh ulama besar, jika seseorang memutus hubungan dengan kita, kita harus tetap berusaha menyambungnya. Jika dia menzalimimu, maafkanlah. Jika dia berbicara buruk tentangmu, jangan balas dengan keburukan, tetapi perlakukan dengan lembut.
Dan ketika dia memboikotmu, tetaplah berbicara dengan lembut dan ucapkan salam. Jika kita membalas keburukan dengan kebaikan, insyaAllah, permusuhan akan berubah menjadi persahabatan yang erat. Beberapa ulama juga menekankan pentingnya sabar dalam menghadapi situasi seperti ini.
Allah berfirman: “Sifat-sifat baik itu hanya dianugerahkan kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Fussilat: 35).
Orang yang mampu merespon keburukan dengan kebaikan adalah mereka yang telah dilatih untuk sabar, karena sabar bukanlah sifat yang muncul begitu saja, tetapi perlu dilatih. Sebagaimana dikatakan oleh ulama, “Tidak ada yang akan meraih keutamaan ini kecuali mereka yang menyabarkan diri atas hal-hal yang tidak disukai.” Pada dasarnya, manusia cenderung membalas keburukan dengan keburukan. Namun, bagi mereka yang mampu mengendalikan diri dan terus melatih kesabarannya, insyaAllah akan meraih keberkahan dan kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita harus berlatih, karena tentu ini tidak mudah. Secara manusiawi, ego kita dan hawa nafsu kita sering mendorong kita untuk membalas, untuk tidak mau memaafkan. Namun, ketika kita mampu idfa’ billati hiya ahsan (membalas dengan cara yang lebih baik), itu adalah keutamaan yang luar biasa dan akan mendapatkan pujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lebih dari itu, sikap ini justru langkah yang produktif, lebih bermanfaat, dan lebih maslahat. Hingga akhirnya, akan mengubah permusuhan menjadi pertemanan yang sangat dekat.
Bersabar dalam dakwah pun demikian. Mungkin ada yang tidak menyukai kita. Saya pun pernah merasakannya, terutama saat berada di Madinah. Ada kelompok-kelompok tertentu yang mungkin mengetahui latar belakang kita, dari mana asal kita, pesantren mana yang kita ikuti. Saya di-hajr (diboikot), namun saya tetap tersenyum, tidak membalas. Saya bersalaman, tetapi mereka tidak menjawab. Saya disangka sebagai ahlul bid’ah, namun tidak masalah. Kita tetap bersikap baik, tersenyum, dan menyapa. Lama-lama mereka merasa tidak nyaman dengan perlakuan mereka. Hingga akhirnya, tercipta hubungan yang sangat dekat. Bahkan, ketika ada masalah dalam kelompoknya, mereka datang kepada kita untuk curhat, atau bahkan meminjam uang kepada kita, bukan kepada sesama temannya.
Bagaimana seharusnya kita merespon? Terlebih kepada sesama muslim, sesama pejuang kebenaran, apalagi kepada saudara atau kerabat dekat. Kita harus merespon dengan positif, setidaknya jangan berbuat zalim. Ini adalah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ini juga solusi bagi kita, bahkan kepada orang kafir sekalipun, selama mereka tidak mengganggu kita. Akhlak yang baik dari kita bisa menjadi dakwah bilhal (dakwah melalui tindakan).
Seperti yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada seorang pengemis Yahudi tua yang setiap hari mencaci Rasulullah. Namun, Rasulullah tetap berusaha memberinya makanan setiap hari. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sakit (atau dalam riwayat lain sudah wafat), pengemis Yahudi itu merasa ada yang berbeda. Orang yang biasa menyuapinya berubah. Abu Bakar Ash-Shiddiq menjelaskan bahwa orang yang biasa menyuapinya adalah Rasulullah, yang ia caci setiap hari. Apa akibatnya? Yahudi tua itu akhirnya bertaubat dan masuk Islam.
Tentu hal ini tidak semudah diucapkan. Saya menyampaikan ayat ini mungkin tampak mudah, tetapi pelaksanaannya sangat sulit. Seperti kata ulama, “wa-shbir nafsaka,” bersabarlah, kendalikanlah dirimu, paksakanlah dirimu untuk melakukan apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini butuh latihan, melawan hawa nafsu, melawan dorongan diri yang negatif.
Ada kisah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diisyaratkan oleh beliau sebagai calon penghuni surga. Para sahabat penasaran, siapa orang ini. Ternyata yang masuk ke masjid adalah seseorang yang tampaknya biasa saja, tidak dikenal memiliki amalan yang luar biasa. Abdullah Bin Amr pun mengikutinya, bermalam di rumahnya, namun tidak menemukan amalan yang istimewa. Tidak ada qiyamul lail, amalan sunnah, atau ibadah yang luar biasa. Hingga Umar menanyakan amalan apa yang membuatnya disebut sebagai ahli surga. Orang itu menjawab, “Saya tidak punya amalan istimewa, hanya satu hal yang saya lakukan setiap malam sebelum tidur: saya selalu memaafkan kesalahan orang lain.”
Inilah yang disebut amalan hati, amalan yang tidak butuh modal, tetapi memerlukan latihan. Tentu tidak mudah. Memaafkan itu harus dilatih, hingga menjadi kebiasaan, seperti yang dilakukan sahabat tersebut.
Firman Allah, idfa’ billati hiya ahsan (balaslah dengan yang lebih baik), merupakan perintah yang mengandung hikmah besar. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang sabar, dan orang-orang yang mendapatkan bagian besar dari kebahagiaan dunia dan akhirat. Para mufassir menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dzul hazzin adzim adalah orang-orang yang memiliki bagian besar dari kebahagiaan di dunia dan akhirat. Orang yang terus memendam dendam, benci, dan dengki tidak akan bahagia. Namun, mereka yang memaafkan akan menjadi orang-orang yang bahagia, di dunia dan di akhirat.
Mari kita berlatih untuk itu, melatih kesabaran, hingga menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Kesabaran itu didapatkan dengan cara memaksa diri untuk bersabar, memaksa jiwa melakukan apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian yang bisa kita sampaikan. Semoga Allah selalu membimbing kita untuk bermuamalah dengan baik, terutama kepada sesama muslim, sesama pejuang kebenaran, dan kepada kerabat. Adapun kepada orang-orang yang memusuhi agama Allah, ayat ini sudah mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat tentang perang. Kita diperintahkan untuk memerangi mereka yang memerangi kita. Jangan sampai kita salah dalam memahami ayat ini dan menggunakannya untuk berhadapan dengan penjajah Zionis Israel, misalnya, sementara kita malah bermusuhan dengan sesama muslim.
Semoga Allah selalu memberikan kita taufik untuk bisa mengamalkan akhlak mulia. Aamiin.
KAJIAN TAFSIR TARBAWI MASJID RAYA ISKABERSAMA: Dr. Hakimuddin Salim Lc. MA, PPTQ Iska Official