Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A. (Ketua Bidang Pembinaan Remaja, Keluarga, dan Jama’ah Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)
وَلَا تَسْتَوِى الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۗاِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ فَاِذَا الَّذِيْ بَيْنَكَ وَبَيْنَهٗ عَدَاوَةٌ كَاَنَّهٗ وَلِيٌّ حَمِيْمٌ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا الَّذِيْنَ صَبَرُوْاۚ وَمَا يُلَقّٰىهَآ اِلَّا ذُوْ حَظٍّ عَظِيْمٍ وَاِمَّا يَنْزَغَنَّكَ مِنَ الشَّيْطٰنِ نَزْغٌ فَاسْتَعِذْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
“Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada permusuhan denganmu seakan-akan menjadi teman yang setia. (Sifat-sifat baik ini) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak pula dianugerahkan kecuali kepada orang yang memiliki keberuntungan yang besar. Jika setan sungguh-sungguh menggodamu dengan halus (untuk meninggalkan perilaku baik itu), maka berlindunglah kepada Allah! Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Fussilat 34-36)
Pada pertemuan sebelumnya, kita telah membahas perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, penegasan dalam ayat ini, wa la tastawil hasanatu wa la sayyi’ah — bahwa tidaklah sama antara al-hasanah (kebaikan) dan as-sayyi’ah (keburukan). Ulama menjelaskan bahwa la di sini adalah sebagai silah (penyambung), di mana al-hasanah dapat berarti kebaikan umum, sementara sayyi’ah berarti keburukan. Sebagian ulama memaknainya lebih mendalam, seperti dalam konteks al-afu wal-intisôr, yakni memaafkan atau menghadapi kezaliman.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan dalam ayat ini, idfa’ billati hiya ahsan — perintah untuk menolak kejahatan dengan cara yang lebih baik. Ini penting, khususnya ketika keburukan datang dari mereka yang mungkin jahil, orang-orang yang belum memahami. Dalam merespons hal tersebut, sebagaimana karakteristik ‘ibadur rahman (hamba Allah yang penyayang), mereka tetap berkata penuh keselamatan dan kedamaian, sebagaimana disebutkan dalam ayat lain, wa idza khatobahumul jahiluna qolu salama.
Ketika sikap ini terus dipraktikkan, maka akan terwujudlah yang Allah janjikan, fa idza alladzi bayinaka wa bayinahu ‘adawatu ka’annahu waliyun hamim — sehingga orang yang ada permusuhan dengan kita akan berubah menjadi teman setia. Ini sangat penting untuk diterapkan, baik dengan saudara seiman, tetangga, ataupun kerabat. Idfa’ billati hiya ahsan, meskipun keburukan diberikan kepada kita, tetaplah membalas dengan kebaikan. Insya Allah, cepat atau lambat, jika dalam diri mereka ada potensi kebaikan, mereka akan menyesali tindakannya, dan hubungan di antara kita akan menjadi waliyun hamim, menjadi teman yang setia.
Kalaupun kita terpaksa merespons atau membalas, penting untuk tetap menjaga batas. Jangan sampai kita justru melebihi batas hingga melakukan kezaliman serupa, karena jika demikian, kita menjadi podo elek—sama buruknya. Penting bagi kita, setidaknya, melakukan mujazah (pembalasan yang setimpal), atau sekurang-kurangnya membuat klarifikasi bahwa kita tidak seperti yang dituduhkan atau difitnahkan, serta tidak seperti keburukan-keburukan yang diarahkan kepada kita. Setidaknya itu menjadi batasannya.
Namun, jangan sampai melakukan keburukan serupa, apalagi yang lebih zalim atau lebih kejam. Ini yang harus kita pegang, ikhwah fillah arsyadakumullah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini telah di-mansukh (dihapus hukumnya) oleh ayat-ayat Qital atau ayat-ayat saif (perintah perang). Perintah untuk merespons kezaliman dengan cara yang baik diterapkan saat Rasulullah dan para sahabat berada di Mekah dalam kondisi lemah, di mana perlawanan yang melawan justru akan menjadi konyol dan tidak menghasilkan kemenangan.
Oleh karena itu, balaslah respons negatif dengan hal yang positif. Ada pendapat bahwa perintah ini di-mansukh oleh ayat-ayat perang, yang memerintahkan untuk melawan kekufuran dan kezaliman. Hal ini menjadikan sikap positif dalam merespons kezaliman menjadi mustahab (dianjurkan), bukan kewajiban. Bila mungkin merespons dengan positif, lakukanlah. Tetapi ketika situasi berubah menjadi permusuhan yang jelas antara kekufuran dengan keimanan, atau antara kezaliman dengan keadilan, maka respon yang harus diambil bukan dengan kelembutan atau sekadar pemaafan, tetapi menegakkan keadilan, menghukum yang zalim, dan memerangi kekufuran.
Kata-kata yang baik tetap harus dijunjung, bahkan dalam perang. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Qatilu alladziina yuqatilunakum wala ta’tadu—”Perangilah orang-orang yang memerangi kalian, tetapi jangan berlebihan.” Adab dalam perang menurut Islam sangat luar biasa. Ketika berperang secara langsung, fabarbar rikob—”tebas leher langsung,” artinya jangan sampai menyiksa. Jika musuh harus mati, biarkan mereka mati cepat, jangan dimutilasi atau dipotong-potong terlebih dahulu. Ketika menyembelih atau berperang, lakukanlah dengan cara yang baik. Bahkan dalam peperangan pun, kita tetap harus menjaga kemuliaan manusia (karamatul insan). Baik itu kafir, mukmin, zalim, atau tidak, setiap manusia tetap memiliki kemuliaan yang harus dijaga.
Ada pula hadis dari Rasulullah SAW yang menegaskan, “Jika kalian menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik. Jika kalian berperang, hindarilah melukai wajah.” Wajah adalah kehormatan manusia. Jangan sampai wajah musuh dirusak sebagai tanda keberhasilan dalam membunuhnya, karena hal itu tidak diperbolehkan. Jika harus membunuh, lakukanlah dengan cepat dan tanpa menyiksa. Apalagi jika di luar peperangan, dalam konteks amar ma’ruf nahi mungkar, ada batas-batas dan aturan-aturannya. Jangan sampai kita melakukan ingkarul mungkar (menolak keburukan) dengan cara yang mengandung kemungkaran yang lebih besar. Jangan sampai nahi mungkar (mencegah kemungkaran) yang kita lakukan justru mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar atau kerusakan yang lebih parah. Ikhwah fillah arsyadakumullah, tetaplah bil lati hiya ahsan (dengan cara yang terbaik), bahkan terhadap orang-orang kafir sekalipun. Allah berfirman, Wa ma yulaqqaha illal ladhina shabaru—“Tidak ada yang mampu melakukannya kecuali orang-orang yang sabar.”
Sebagaimana penjelasan As-Sa’di, bahwa tidak ada yang bisa melakukan ini kecuali mereka yang shabaru nufusahum—yaitu, mereka yang senantiasa melatih kesabaran dalam diri atas hal yang tidak disukai demi melakukan hal-hal yang dicintai oleh Allah. Ketika disakiti, naluri manusiawi kita ingin membalas untuk kepuasan diri. Begitu pula saat didzalimi, keinginan untuk membalas itu ada. Tetapi orang-orang yang mendapat karunia ini tetap manusia biasa, hanya saja mereka mampu melatih kesabaran dan memaksakan diri untuk merespons dengan cara yang disukai Allah, yaitu bil lati hiya ahsan—dengan cara terbaik, melalui pemaafan, dan kebaikan.
Jika pun harus membalas, menegakkan kebenaran, berperang, bahkan membunuh dalam situasi peperangan, maka semua itu dilakukan bukan atas dasar dendam, tetapi karena kebaikan, keadilan, dan syariat, tanpa kezaliman. Sifat-sifat ini hanya dianugerahkan kepada mereka yang memiliki keberuntungan besar, atau kebahagiaan sejati. Inilah, ikhwah fillah arsyadakumullah, resep kebahagiaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memaafkan itu adalah sifat orang yang beruntung, mulia, dan dijanjikan pahala yang besar.
Sebagaimana kita telah bahas, seorang sahabat Rasulullah SAW dijamin masuk surga karena memiliki kebiasaan memaafkan kesalahan orang lain sebelum tidur. Kita pun harus melatih diri untuk ini, karena sebagaimana pepatah Arab, Al-ilmu bitta’allum was-shabru bitta’sabbur—ilmu didapat dengan belajar, dan kesabaran diperoleh dengan melatih diri untuk bersabar.
Lalu ayat berikutnya menyebutkan, Wa imma yanzaghannaka minasy-shaitani nazghun fasta’id billah—“Jika engkau digoda oleh setan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah.” Setan selalu berusaha untuk memecah belah manusia, membuat kita bermusuhan, bahkan berusaha memisahkan antara suami dan istri.
Diriwayatkan bahwa setan memiliki tugas khusus dari iblis untuk membuat suami istri bercerai. Jika ia berhasil membisiki kedua belah pihak hingga berpisah, maka ia akan mendapat mahkota atau penghargaan dari iblis, laknatullah. Setan berusaha menciptakan perpecahan bukan hanya antara suami istri, tetapi juga antar tetangga, sesama jamaah, aktivis, ulama, ormas, bahkan partai Islam.
Sebagaimana dijelaskan oleh As-Sa’di, setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan cara menghadapi musuh dari kalangan manusia dengan kebaikan, pada ayat ini dijelaskan bagaimana menghadapi musuh dari kalangan jin, yaitu dengan isti’adzah—memohon perlindungan kepada Allah. Setan akan terus menggoda kita untuk bertengkar dan berpecah belah.
Jadi, ikhwah fillah arsyadakumullah, ketika kita merasa marah atau ada konflik, ingatlah bahwa kita sedang digoda oleh setan untuk berpecah belah. Ta’awudz, memohon perlindungan dari Allah, adalah cara kita menghadapi bisikan-bisikan ini, sebagaimana dijelaskan oleh As-Sa’di, “Jika merasakan bisikan setan, atau dorongan untuk melakukan keburukan, termasuk saat emosi atau marah, berhati-hatilah, karena godaan itu dapat muncul bahkan saat kita berusaha berbuat baik.”
Seorang mujahid yang berperang fisabilillah pun bisa digoda oleh setan. Setan masuk melalui celah-celah kecil, seperti saat seseorang begitu membenci kekufuran hingga dorongan emosinya bisa membawa pada sikap zalim. Bahkan dalam menegakkan kebenaran atau saat melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, setan sering kali membisikkan dorongan buruk—“Jika hanya dengan diancam atau didemo, rasanya kurang ampuh; seharusnya dihancurkan!” Maka berhati-hatilah terhadap bisikan seperti ini yang berasal dari nazghun minasy-shaitan (godaan dari setan). Inilah pentingnya bersikap hati-hati dan menjaga diri dengan ta’awudz, memohon perlindungan kepada Allah. Ibnu Katsir rahimahullah mengutip beberapa riwayat, di antaranya bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu ber-ta’awudz, meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan sebelum melakukan sesuatu yang penting, seperti shalat.
Menurut jumhur ulama, di antara sunnah sebelum shalat adalah membaca ta’awudz, memohon perlindungan dari Allah. Padahal saat itu kita sedang beribadah, bukan dalam aktivitas buruk, tetapi tetap saja setan berusaha mengganggu, seperti membuat kita lupa rakaat atau terpikir hal lain, misalnya kunci yang hilang. Setan mencoba membuat kita memanfaatkan momen shalat untuk memikirkan hal-hal duniawi. Oleh karena itu, penting sekali untuk memulai shalat dengan ta’awudz.
Saat hendak membaca Al-Qur’an, kita juga dianjurkan untuk membaca ta’awudz. Allah berfirman: fa idza qara’tal Qur’ana fasta’id billah—“Jika engkau membaca Al-Qur’an, berlindunglah kepada Allah.” Karena meskipun sedang beribadah, setan tetap berusaha mengganggu. Begitu juga saat memasuki toilet, kita dianjurkan membaca doa: Allahumma inni a’udzu bika minal khubutsi wal khaba’its (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan perempuan).
Hal ini penting karena setan akan berusaha mengganggu kita dalam berbagai situasi, bahkan saat kita sedang berhubungan suami istri, dengan doa: Allahumma jannibna asy-shaitan wa jannibi asy-shaitan ma razaqtana (Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan kepada kami). Selain dalam ibadah, ta’awudz juga penting dalam berinteraksi dengan sesama, baik sesama aktivis, ulama, maupun jamaah masjid, karena setan akan selalu berusaha menyusupkan bisikan-bisikan jahat yang dapat merusak hubungan.
Ketika kita berada dalam situasi yang rentan emosi atau konflik, penting untuk tetap tenang dan tidak bertindak zalim, sekalipun kita berada di pihak yang benar. Jangan sampai karena godaan setan kita yang awalnya benar menjadi salah. Inilah resep dari Allah dalam menghadapi bisikan-bisikan setan.
Lebih penting lagi, ketika kita ber-isti’adah (memohon perlindungan), itu adalah bentuk tawadhu’ (kerendahan hati) kepada Allah. Kita merasa fakir dan membutuhkan perlindungan dari Allah. Hakikat isti’adah adalah al-iltijak ilallah—bernaung kembali kepada Allah. Hanya dengan perlindungan dari Allah, tipu daya setan menjadi lemah.
Setan pada hakikatnya lemah jika kita berlindung kepada Zat Yang Maha Kuat. Namun, jika kita tidak berlindung kepada Allah, kita menjadi lemah karena setan dapat melihat kita, sedangkan kita tidak bisa melihat mereka. Setan memiliki kemampuan yang kita tidak miliki. Oleh karena itu, ikhwah fillah arsyadakumullah, resep dari Allah dalam menghadapi setan adalah dengan senantiasa ber-ta’awudz. Di zaman sekarang, banyak kasus sihir dan tipu daya dalam berbagai bentuk, seperti gendam, hipnotis, atau penipuan yang melibatkan jin maupun trik-trik psikologis. Banyak orang telah menjadi korban dan kehilangan puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Termasuk juga dalam kasus love scamming, banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang menjadi korban penipuan semacam ini. Cara untuk melindungi diri dan keluarga kita adalah dengan selalu ber-isti’adah, memohon perlindungan dari Allah.
Saat ini, banyak model penglaris yang digunakan dalam berbagai cara, bahkan di mal-mal dan supermarket besar. Meskipun perdagangan semakin modern, sesajen masih dapat kita lihat di sudut-sudut tertentu. Oleh karena itu, ketika memasuki pasar, sangat penting untuk membaca doa masuk pasar. Jika lupa, ini bisa berbahaya. Demikian pula, saat memasuki mal, bacalah ta’awudz kepada Allah SWT. Sering kali, kita datang dengan rencana membeli sesuatu, namun akhirnya tergoda untuk membeli barang lain. Hal ini bisa terjadi jika kita tidak memohon perlindungan kepada Allah. Jadi, terutama bagi ibu-ibu, sebelum masuk mal atau pasar, bacalah doa dan ta’awudz.
Beragam model penglaris dengan variasi yang semakin banyak saat ini bisa berdampak buruk jika kita tidak berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan mengamalkan ajaran ini. Bahkan, Allah SWT mengabadikan doa yang diucapkan oleh Imran saat kelahiran Maryam, di mana beliau memohon perlindungan bagi anaknya.
Doa tersebut mengajarkan kita untuk menitipkan keluarga kita kepada Allah, baik saat kita meninggalkan mereka maupun saat mereka meninggalkan kita. Dengan mengucapkan doa ini, kita menyerahkan perlindungan diri dan keluarga dari segala marabahaya kepada Allah SWT. Ini adalah syariat Islam yang menunjukkan betapa kita sangat membutuhkan perlindungan Allah. Selain itu, tindakan ini merupakan bentuk tawadhu’ (kerendahan hati) kita dan menunjukkan bahwa kita merasa fakir di hadapan Allah, Sang Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
Sebagian mufasir menjelaskan bahwa dalam ayat ini terdapat tambahan alif-lam yang memperkuat makna dan memberikan penekanan (ta’kid). Setelah disebutkan dalam surah Al-A’raf, Allah mengulanginya lagi dalam surah Fussilat dengan redaksi yang sedikit berbeda untuk mempertegas maknanya.
Banyak pelajaran tarbawi (pendidikan) yang bisa kita ambil dari sini. Di antaranya adalah pendidikan akhlak untuk merespons keburukan dengan kebaikan, serta tarbiyah ruhiyah yang menguatkan batin. Memohon perlindungan kepada Allah merupakan bentuk tawadhu’ kita dan menunjukkan betapa kita sangat membutuhkan-Nya, terutama dalam menghadapi tipu daya setan. Sesungguhnya, tipu daya setan itu lemah jika kita berlindung kepada Yang Maha Kuat.