web stats
Home » 5 PRINSIP AKHLAQ SOSIAL RASULULLAH ‘ALAIHISSALAM

5 PRINSIP AKHLAQ SOSIAL RASULULLAH ‘ALAIHISSALAM

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: K.H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I. (Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah)

Setiap manusia yang hidup, baik di masa lalu, masa kini, maupun di akhir zaman, telah dibekali oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan suatu sistem yang luar biasa. Allah mengaruniakan akal yang memungkinkan kita memikirkan banyak sekali tanda-tanda kekuasaan-Nya. Allah juga menganugerahkan jasad, yang dengannya kita mampu menciptakan berbagai fasilitas dan infrastruktur kehidupan. Kedua potensi ini dimiliki secara universal oleh umat manusia.

Namun, ada satu potensi yang istimewa, khususnya bagi orang-orang yang beriman, yaitu potensi hati (qalbu). Menurut pandangan Imam Al-Ghazali rahimahullah, qalbu adalah panglima yang mengendalikan pergerakan dan aktivitas seluruh anggota tubuh. Beliau juga menyatakan bahwa qalbu adalah instrumen nilai, semacam pemancar yang menyebarkan cahaya kebaikan ke dalam diri kita sehingga seluruh organ tubuh dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menegaskan bahwa qalbu adalah organ terpenting yang menjadi titik tolak kebaikan atau keburukan yang dilakukan manusia dalam kehidupannya.

Ketika akal, jasad, dan qalbu manusia ini beraktivitas, Allah juga menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa manusia hadir dalam keadaan hampa, tanpa mengetahui apa pun. Kemudian, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menganugerahkan kepada kita pendengaran, penglihatan, dan hati sebagai alat untuk memahami. Ketiga organ ini membantu kita menjalani kehidupan dan menjadi dasar bagi umat manusia, yang pada awalnya dilahirkan tanpa pengetahuan apa pun.

Dalam proses memperoleh ilmu, Allah memberikan kepada kita satu contoh nyata, satu prototype, yang menjadi etalase dan acuan dalam menjalankan apa yang diajarkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an yang tertulis maupun dalam ayat-ayat semesta yang terbentang.

Karena itulah, Allah menyatakan dalam Al-Qur’an bahwa terdapat teladan yang hidup dalam diri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: laqad kāna lakum fī rasūlillāhi uswatun asanah — terdapat teladan yang nyata, bukan sekadar narasi atau wacana, tetapi contoh konkret yang dapat kita tiru dan aplikasikan dalam kehidupan nyata kita.

Baginda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dinyatakan oleh Allah sebagai manusia dengan akhlak yang begitu agung, sebagaimana dipuji oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya, wa innaka la’ala khuluqin ‘azhim — “Sungguh, engkau (Muhammad) berada di atas akhlak yang agung.”

Ketika kita ingin meneladani akhlak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, kita harus selalu mendasarkannya pada keimanan. Di zaman modern ini, sering kali terjadi ketimpangan dalam memahami konsep akhlak. Guru-guru kita mengajarkan bahwa akhlak itu terikat erat dengan tiga aspek yang tidak boleh dipisahkan, yaitu Allah sebagai Pencipta, kita sebagai makhluk-Nya, dan nilai dasar (hulk) sebagai prinsip kebaikan yang harus dijalankan sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah. Tiga dimensi ini saling terkait dan harus senantiasa bersatu.

Manusia sebagai subjek yang menjalankan akhlak tidak boleh terpisah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Akhlak yang kita jalankan harus berasal dari ajaran-ajaran yang diturunkan oleh Allah. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam selalu mengaitkan perilaku kebaikan dengan asas keimanan. Dalam sebuah hadits yang populer, beliau bersabda, “Al-Mukminūna Asanuhum Akhlāqan” — “Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang terbaik akhlaknya.” Bahkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Lā yu’minu aadukum attā yuibba li-akhi-hi mā yuibbu li-nafsihi” — “Tidak sempurna iman seorang dari kalian hingga ia mencintai bagi saudaranya apa yang ia cintai bagi dirinya sendiri.”

Di sini terlihat bahwa akhlak dalam hubungan sosial kita sebagai umat manusia harus didasari oleh keimanan. Jika kita melakukan kebaikan tanpa landasan iman, maka itu adalah kebaikan manusiawi yang seringkali dibahas dalam perspektif sekular, seperti yang diusung oleh kaum humanis. Kebaikan dalam Islam, bagaimanapun, harus selalu berlandaskan pada iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, dengan tujuan kebaikan bagi manusia dan semesta.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajarkan bahwa akhlak seorang muslim adalah sesuatu yang mendasar dan tidak boleh berubah oleh keadaan atau situasi apa pun. Kejujuran, keikhlasan, ketulusan dalam memberi, kedermawanan, dan sifat-sifat baik lainnya harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya karena kondisi tertentu. Ada banyak orang yang berbuat baik dengan orientasi tertentu, seperti yang diingatkan dalam Al-Qur’an, “Wala tamnun tastaktsir” — “Jangan engkau memberi dengan harapan memperoleh lebih banyak sebagai balasannya.”

Para ulama kita mengajarkan bahwa akhlak adalah aspek yang harus dipelajari dengan teliti dan penuh kesungguhan. Keteladanan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah keindahan luar biasa yang bisa kita ikuti. Namun, untuk dapat meraih keindahan itu, kita harus membersihkan segala hal yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut dari kepribadian kita. Itulah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam Al-Quran: “Dialah yang mengutus di tengah-tengah kaum yang buta huruf seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan hikmah, meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Jumu’ah: 2)

Pada masa itu, masyarakat Arab berada di puncak kerusakan moral. Sejumlah ulama menyatakan bahwa kerusakan mereka hampir tidak tertandingi dalam sejarah manusia hingga saat itu. Namun, ketika mereka disentuh oleh ajaran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, perubahan besar pun terjadi. Mengapa demikian? Karena mereka bersedia melakukan tazkiyah—pembersihan diri dari segala sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Rasulullah. Mereka yang ingin bertauhid harus membersihkan diri dari kesyirikan, dan mereka yang ingin menjadi orang jujur harus berani meninggalkan sikap dusta.

Dalam kehidupan sosial kita di masyarakat, khususnya di Indonesia, Al-Quran mengajarkan keseimbangan, sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rahman: “Dan langit telah ditinggikan-Nya, dan Dia ciptakan keseimbangan.” (QS. Ar-Rahman: 7). Al-Quran bukan hanya mengajarkan keseimbangan kosmos, namun juga keseimbangan dalam hubungan sosial manusia. Ketika alam semesta diperlakukan tanpa adab, seperti dieksploitasi atau dirusak, maka kerusakan pasti terjadi. Begitu pula dalam kehidupan sosial kita. Jika kita tidak menjalankan hubungan antar-manusia dengan proporsional, maka ketimpangan sosial dan akhlak akan muncul.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memberi teladan yang luar biasa. Kita mengetahui bahwa Al-Quran dengan tegas mengecam mereka yang ingkar kepada Allah, sebagaimana dalam firman-Nya: “Sungguh, orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Bayyinah: 6). Namun, kecaman teologis ini disertai dengan penghormatan atas kebaikan yang ada pada Ahli Kitab, sebagaimana firman-Nya: “Dan Kami jadikan di antara mereka pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajdah: 24). Al-Quran menunjukkan bahwa meskipun ada perbedaan, kita harus tetap bersikap adil.

Selain itu, dalam bertutur kata, kita diperintahkan untuk berlaku adil. Firman Allah: “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil meskipun terhadap kerabat.” (QS. Al-An’am: 152). Jangan sampai kebencian terhadap suatu kaum membuat kita berlaku tidak adil terhadap mereka. Kita harus tetap menjunjung keadilan, meskipun terhadap orang yang tidak sejalan dengan kita.

Dalam interaksi sosial, ada lima prinsip utama yang harus kita pegang:

  1. Karamatul Insan (Kemuliaan manusia) secara universal. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak-anak Adam.” (QS. Al-Isra’: 70).
  2. Al-Qadar al-Kauni (Perbedaan alamiah) bahwa perbedaan di antara kita adalah kodrat, seperti perbedaan siang dan malam. Allah berfirman: “Jika Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja.” (QS. Al-Maidah: 48).
  3. La Ikraha Fid-Din (Tidak ada paksaan dalam agama), sebagaimana yang disampaikan dalam firman Allah: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256). Imam Ibnu Katsir menyatakan bahwa kebenaran Islam jelas, sehingga tidak perlu dipaksakan.
  4. Metode Dakwah yang Bijaksana, Allah berfirman: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (QS. An-Nahl: 125).
  5. Bersikap Adil secara Universal kepada siapa pun tanpa memandang agama atau latar belakangnya.

Inilah yang diajarkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kepada kita. Semoga kita bisa meneladani beliau dalam kehidupan kita sehari-hari. Demikian yang dapat saya sampaikan dalam tausiyah singkat kali ini. Semoga Allah memberkahi hidup kita dan menerima amal ibadah kita,

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00