Oleh. Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Ma’asyiral Muslimin wa Umaratal Mukminin, arsyadakumullah. Pertama dan yang paling utama, marilah kita senantiasa meningkatkan rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla. Kita memperbanyak tahmid, memuja, memuji, dan mengembalikan semua itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas kelebihan-kelebihan yang ada pada diri kita dan atas kenikmatan yang kita rasakan, terutama nikmat iman, nikmat Islam, serta nikmat malam hari ini, meskipun turun hujan. Dengan mengucapkan Allahumma shoyyiban nafi’an, mudah-mudahan hujan yang turun membawa manfaat, sebagai bentuk rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Nikmat yang besar adalah ketika hujan tidak menyurutkan langkah atau membuat kita bermalas-malasan, namun Allah Subhanahu wa Ta’ala justru menggerakkan kaki kita dan meringankan hati untuk menghadiri majelis ilmu serta mentadabburi ayat-ayat-Nya. Ini adalah kenikmatan demi kenikmatan yang begitu besar. Semoga, meskipun majelis ini hanya sepekan sekali dan membahas satu, dua, atau paling banyak tiga ayat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, kita tetap memperoleh kebaikan.
Sebagaimana Allah mencela sebagian Ahlul Kitab dalam firman-Nya: A’udzubillahi minasy-syaithanir rajim, di antara Ahlul Kitab ada orang-orang yang Allah katakan sebagai ummiyun. Apa arti ummi? Ummi artinya buta huruf, tidak bisa baca tulis. Namun, dalam ayat ini, Allah memberikan definisi yang lain. Mereka adalah orang-orang yang la ya’lamunal kitaba illa amaniyya wa in hum illa yadhunnun — mereka tidak mengetahui kitab suci mereka kecuali hanya angan-angan, hanyalah khayalan, hanyalah prasangka, dan mereka sekadar menduga-duga.
Yang menarik adalah apa yang disampaikan oleh Al-Imam Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir. Beliau menjelaskan bahwa amani di sini berarti at-tilawah atau sekadar membaca tanpa memahami atau mentadabburinya. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah juga menjelaskan bahwa dalam ayat ini, Allah mencela orang-orang yang hanya bisa membaca tanpa berusaha memahami atau mentadabburinya.
Mudah-mudahan satu jam yang kita habiskan di majelis penuh berkah ini setidaknya menyelamatkan kita dari celaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap orang-orang yang hanya bisa membaca kitab suci tanpa berusaha memahaminya atau mentadabburinya. Di sini, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencela mereka, dan semoga kita selamat dari celaan Allah.
Shalawat dan salam tak jemu-jemunya marilah senantiasa kita haturkan dengan penuh ketulusan, penuh rasa rindu, dan penuh rasa cinta kepada Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang memberikan kepada kita semangat dan motivasi untuk bisa menjadi ashabul Qur’an, orang-orang yang dekat dengan Al-Qur’an. Orang-orang yang dekat dengan Al-Qur’an, Insya Allah, adalah mereka yang senantiasa membacanya, berusaha menghafalnya, berusaha memahaminya, mentadabburinya, dan kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Mereka adalah ashabul Qur’an yang, Insya Allah, kelak di akhirat, Al-Qur’an akan datang memberikan syafaat kepada mereka.
Ma’asyiral Muslimin wa Umratal Mukminin, arsyadakumullah. Pada pekan yang lalu, kita sudah membahas tentang apa yang Allah anjurkan dalam menjalin hablum minannas, hubungan tali persaudaraan dengan manusia. Bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita untuk merespon keburukan dari orang lain dengan respon yang lebih baik. Kita berhenti pada ayat ke-36, yaitu bagaimana ketika setan berusaha membisikkan permusuhan, perselisihan, dan pertengkaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berta’awwudz, meminta perlindungan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dari bisikan setan yang terkutuk.
Dan sudah kita jelaskan beberapa poin tarbawi, nilai-nilai pendidikan dari ayat yang dimulai dari ayat 33, 34, 35, dan 36, yang merupakan poin-poin utama dan tips dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang bagaimana kita bisa menjalin hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Bahkan, kalaupun kita harus membalas, sadari dan ketahuilah bagaimana kita seharusnya membalas dengan cara yang lebih baik, tanpa menciptakan kezaliman atau kesalahan baru, dan tidak membuat kezaliman yang melebihi kezaliman yang diberikan orang lain kepada kita. Ini berlaku dalam hubungan kita dengan sesama manusia, bahkan kepada orang-orang kafir. Terlebih lagi kepada saudara kita sesama Muslim, apalagi jika ada hubungan persaudaraan atau hubungan darah.
Ma’asyiral Muslimin wa Umratal Mukminin, arsyadakumullah. Insyaallah pada malam hari ini kita akan memulai bab baru yang tidak berkaitan dengan ayat sebelumnya, tetapi ini tentu meneguhkan keimanan dan tauhid kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menghubungkan antara tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah. Insyaallah kita akan mentadabburi firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Fussilat ayat 37 dan 38. Silakan bisa dibuka Surah Fussilat ayat 37 dan 38. Tafadhol, Mas Ahmal. Barakallah fikum.
وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ فَاِنِ اسْتَكْبَرُوْا فَالَّذِيْنَ عِنْدَ رَبِّكَ يُسَبِّحُوْنَ لَهٗ بِالَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَهُمْ لَا يَسْـَٔمُوْنَ ۩
“Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah malam, siang, matahari, dan bulan. Janganlah bersujud pada matahari dan jangan (pula) pada bulan. Bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.Jika mereka (orang-orang musyrik) menyombongkan diri (enggan bersujud kepada-Nya), mereka (malaikat) yang (berada) di sisi Tuhanmu selalu bertasbih kepada-Nya pada malam dan siang hari tanpa pernah jemu.”
Ma’asyiral Muslimin wa Umratal Mukminin, arsyadakumullah. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, a’udzubillahi minasy-syaithanir rajim, wa min ayatihi – dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah adanya malam dan siang, adanya matahari dan bulan.
Al-Imam Al-Qurtubi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa wa min ayatihi maksudnya adalah tanda-tanda keesaan-Nya dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yakni adanya malam dan siang. Ikhwan, arsyadakumullah. Sesuai penjelasan Al-Imam Al-Qurtubi, adanya malam dan siang ini adalah tanda keesaan dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, begitu juga dengan adanya matahari dan bulan. Selain siang dan malam, di antara tanda kekuasaan dan keesaan Allah adalah adanya matahari dan bulan.
Dalam ayat ini jelas bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menggunakan uslub tarbawi, metode pendidikan yang sangat penting, yaitu uslub tafkir al-ilmi atau sering disebut uslub al-iqna’ al-fikri – yaitu metode untuk meyakinkan audiens dengan mengajak mereka berpikir, merenung, dan memerhatikan secara mendalam apa yang disaksikan. Ini penting, dan metode ini juga digunakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengajak berpikir. Karena tanda-tanda, ayatullah atau ayat-ayat Allah itu bukan hanya al-ayat al-qur’aniyyah atau ayat-ayat yang merupakan firman Allah di dalam Al-Qur’an, tetapi juga ada al-ayat al-kauniyyah – ayat-ayat di alam semesta. Ayat-ayat ini adalah tanda-tanda dari Allah yang harus kita baca dan renungkan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Qurtubi, bahwa tanda-tanda itu menunjukkan keesaan dan kekuasaan Allah, yang menciptakan siang dan malam, matahari dan bulan. Mengapa tidak disebutkan planet-planet lain seperti Mars atau Jupiter? Karena yang terlihat jelas dan manfaatnya dirasakan oleh manusia adalah bumi, matahari, dan bulan, yang disaksikan oleh semua manusia tanpa terkecuali, melalui malam dan siang.
Metode ini sangat penting. Terkadang, ketika kita menjelaskan sesuatu yang orang lain tidak tahu, atau membicarakan benda yang belum pernah mereka lihat, pegang, atau rasakan, tentu itu sulit dipahami. Akan tetapi, metode pendidikan yang baik adalah menggunakan apa yang nyata, apa yang dirasakan, dan apa yang disaksikan. Menghubungkan antara hal-hal yang terlihat dengan kekuasaan dan keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pendekatan yang sangat efektif. Sebagai pendidik, dai, atau mubaligh, kita sering menggunakan berbagai metode untuk mengajarkan murid, santri, atau anak-anak kita. Namun, kita terkadang lupa memanfaatkan hal-hal yang tampak sederhana, yang kita lihat setiap hari, seperti siang dan malam atau matahari dan bulan. Meskipun hadir setiap hari tanpa biaya, keberadaan mereka sering kali dianggap biasa, padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai metode pendidikan untuk menunjukkan keesaan dan kekuasaan-Nya.
Jika kita berbicara tentang al-lail dan an-nahar – malam dan siang – betapa luar biasa nikmatnya. Coba bayangkan, jika sepanjang hidup kita hanya ada siang terus, apa yang akan terjadi? Mungkin panas yang ekstrem, tubuh bisa terbakar. Atau sebaliknya, jika hanya malam terus, tubuh akan merasakan dingin yang ekstrem, hingga mungkin membeku. Banyak bakteri dan kuman tidak dapat mati tanpa sinar matahari, dan penyakit bisa semakin merajalela. Itu hanya dari sisi perbedaan suhu antara siang dan malam.
Belum lagi jika kita menggali lebih dalam seperti yang Allah isyaratkan dalam Al-Qur’an. Siang menjadi ma’asyan mubshiran – tempat untuk mencari penghidupan, beramal, dan bekerja. Sedangkan malam menjadi libas – tempat berlindung, memberikan ketenangan, dan menjadi waktu untuk istirahat. Jika siang terus atau malam terus, keseimbangan hidup tidak akan kita dapatkan. Luar biasa nikmatnya adanya siang dan malam, ini adalah tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang manusia tidak bisa rekayasa.
Manusia tidak dapat mengendalikan terbitnya matahari agar lebih awal atau lebih akhir sesuai keinginan. Begitu pula dengan tenggelamnya matahari, manusia tidak bisa mengubahnya menjadi lebih awal atau lebih akhir hanya karena ada kepentingan tertentu. Ini menunjukkan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Begitu pula manfaat matahari dan bulan yang luar biasa. Revolusi bumi mengelilingi matahari menjadi patokan tahun Masehi, sementara revolusi bulan mengelilingi bumi menjadi dasar penanggalan Hijriah.
Namun, manfaatnya tidak sekadar menjadi patokan waktu. Cahaya matahari dan bulan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, gravitasi, hingga ekosistem. Semua ini adalah nikmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yang manusia tidak mampu mengubah atau mengendalikannya. Mungkin kita bisa memanfaatkannya, tapi untuk membuatnya hadir atau tidak hadir, itu di luar kendali kita. Ini menunjukkan betapa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Bahkan kelak, pada akhir kehidupan di dunia ini, pada hari kiamat, Allah akan menerbitkan matahari dari barat, bukan dari timur. Ini adalah kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak bisa dikendalikan atau diantisipasi oleh manusia. Hal ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang al-lail wa an-nahar (malam dan siang), asy-syams wa al-qamar (matahari dan bulan), tentu saja ayat-ayat Allah tidak terbatas pada keempat hal tersebut. Banyak lagi tanda-tanda kekuasaan Allah yang tersebar di sekitar kita, seperti hujan yang turun, angin yang berhembus, dan awan yang menggantung. Semua itu adalah ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang seharusnya menjadi pengingat kekuasaan-Nya.
Saudara-saudara sekalian, penting bagi kita untuk mengasah hati dan menajamkan nurani agar dapat menangkap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tersebar di alam semesta ini. Dengan begitu, kita bisa mencapai maqam (tingkatan) orang-orang yang arif billah (mengenal Allah dengan baik), yang melihat segala sesuatu sebagai tanda kebesaran Allah. Orang yang melihat semut, teringat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menyaksikan pergantian siang dan malam, memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang yang menyaksikan terbitnya matahari atau melihat bulan purnama, semakin kagum kepada-Nya. Jika kita mampu mencapai tingkatan ini, insya Allah keimanan kita akan senantiasa terjaga, dan kita akan semakin dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika kita mencapai keadaan ini, kita akan membaca ayat-ayat Allah tidak hanya dari mushaf, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Untuk bisa menangkap tanda-tanda kebesaran Allah ini, kita perlu riyadah (latihan) untuk mengasah hati dan membersihkannya dari dosa serta maksiat. Dengan cara ini, kita akan lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga kita bisa melihat ayat-ayat-Nya tidak hanya pada siang dan malam, atau pada matahari dan bulan, tetapi juga pada tanda-tanda lain yang banyak di sekitar kita.
Kemudian, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa malam dan siang, matahari dan bulan adalah tanda-tanda dari Allah. Falā tasjudū lisyamsi wa la lil-qamar – meskipun matahari dan bulan memiliki manfaat yang luar biasa bagi kehidupan di dunia ini, jangan sampai kita menyembah matahari atau bulan. Ada orang yang menyembah matahari, padahal meski matahari bermanfaat, ia tetap makhluk Allah. Sama halnya, bulan, pohon, atau api yang bermanfaat, tidak boleh disembah. Karena yang patut disembah adalah Allah, lillahilladzi khalaqohunna – yang menciptakan semua itu.
Jadi, yang harus kita ibadahi adalah Yang Menciptakan, bukan ciptaan-Nya. Ayat ini menghubungkan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Keduanya tidak bisa dipisahkan, karena tauhid rububiyah menegaskan keesaan Allah dalam perbuatan-perbuatan-Nya, bahwa hanya Allah yang menciptakan siang dan malam, matahari, dan bulan.
Tidak ada manusia yang mengklaim menciptakan matahari. Tidak ada, ya. Semua manusia, terutama yang masih memiliki hati yang lurus (hanif) dan naluri, tahu bahwa tidak ada yang bisa menciptakan matahari. Pasti yang menciptakan adalah Zat yang Maha Pencipta. Tidak ada satu pun negara adikuasa yang mengaku menciptakan matahari, tidak ada yang mengaku menciptakan bulan. Yang ada hanya mengaku pernah pergi ke bulan, ya. Meskipun awalnya kesahihannya diragukan, apakah benar mereka pernah ke bulan. Kok bisa di bulan ada angin, ya, benderanya berkibar? Kenapa ada bayangan di bulan?
Yang mengaku pernah ke bulan memang ada, tetapi tidak ada yang berani mengaku menciptakan bulan. Siapa yang menciptakan? Allah subhanahu wa ta’ala, Sang Khalik, Sang Pencipta. Keyakinan dalam tauhid rububiyah adalah bahwa Allah-lah yang menciptakan malam dan siang, yang menciptakan matahari, bulan, dan makhluk lainnya. Maka, hanya Dia yang berhak disembah. Ini menghubungkan antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Jika tauhid rububiyah adalah ifradullah ta’ala bi af’alihi (mengesakan Allah dalam perbuatan-Nya), maka tauhid uluhiyah adalah ifradullah ta’ala bil ‘ibadah (mengesakan Allah dalam ibadah hamba-Nya).
Bagaimana kita shalat sebagai bentuk penyembahan kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Bagaimana santri-santri mengaji bukan sekadar memenuhi target dari pondok atau kewajiban dari ustaz, tetapi sebagai bentuk ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Bagaimana kita menjalani kehidupan, melakukan kebaikan, semata-mata karena Allah subhanahu wa ta’ala, yang telah menciptakan langit, bumi, siang, malam, dan segala yang ada di atas dan di bawahnya? Sang Khalik inilah yang pantas kita sembah. Bukan sebaliknya, kita terpana oleh matahari, tetapi lupa kepada Pencipta matahari. Kita terpana oleh keindahan rembulan, tetapi lupa kepada yang menciptakannya. Kita menikmati malam untuk istirahat, tetapi lupa untuk bersyukur kepada yang menciptakannya.
Apabila malam, siang, matahari, dan rembulan yang luar biasa indah ini dari sisi penciptaannya saja begitu menakjubkan, maka sudah sepantasnya kita kagum dan takjub kepada yang menciptakan semua itu. Dan jika sudah takjub, maka sebaik-baiknya ibadah adalah dengan merendahkan diri dan menyembah-Nya. Inilah hubungan erat antara tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah yang tidak bisa dipisahkan.
Kemudian, Al-Imam al-Qurtubi menjelaskan beberapa riwayat dari Salaf tentang ayat afila shams dan qamar, yang mengandung perintah untuk shalat kusuf (gerhana matahari) dan shalat khusuf (gerhana bulan). Shalat khusuf adalah shalat gerhana bulan, sementara shalat kusuf adalah shalat gerhana matahari.
Ketika kita takjub kepada matahari dan bulan, lalu terjadi gerhana, kita tidak perlu mempercayai takhayul seperti kematian seseorang atau musibah tertentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan shalat khusuf dan kusuf untuk mengembalikan keyakinan bahwa semuanya adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, yang mengatur alam semesta sesuai sunatullah. Gerhana memiliki manfaat secara astronomi, seperti memperbaiki arah kiblat, dan juga membuat kita semakin takzim mengagungkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam al-Qurtubi, ayat-ayat ini mengajak kita untuk berpikir tentang ciptaan Allah di alam semesta, seperti penciptaan malam, siang, matahari, dan bulan. Berdasarkan penciptaan itu, Allah memerintahkan kita untuk sujud dan menyembah kepada-Nya. Jika manusia masih menyombongkan diri dan enggan menyembah Allah subhanahu wa ta’ala, padahal sudah jelas bahwa Allah-lah yang menciptakan semua ini, maka malaikat yang berada di sisi-Nya tetap bertasbih kepada Allah subhanahu wa ta’ala, siang dan malam, tanpa merasa lelah.