Oleh Dr. Fajar Rachmadani, Lc., M.Hum., Ph.D.
Zuhud merupakan konsep penting dalam Islam yang kerap dipahami sebagai hidup dalam kesederhanaan dan menahan diri dari kecintaan berlebih pada dunia. Namun, zuhud sesungguhnya lebih luas dan mendalam dari sekadar menahan diri dari kemewahan. Zuhud adalah soal bagaimana seseorang memandang harta, dunia, dan kebahagiaan, serta bagaimana semua itu ditempatkan dalam hati.
Menjaga hati agar tidak tenggelam dalam kecintaan pada dunia adalah bagian dari upaya seorang muslim dalam mencapai ketenangan batin. Nabi Muhammad SAW pernah berdoa agar diberikan jiwa yang tenang dan hati yang qana’ah, atau menerima dengan ikhlas segala yang telah diberikan Allah. Sikap inilah yang menjadi inti dari zuhud, bukan sekadar menunjukkan kemiskinan atau hidup serba kekurangan.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, diceritakan bahwa seorang pemuda meminta nasihat kepada Rasulullah SAW tentang amalan yang dapat membuatnya dicintai oleh Allah dan manusia. Rasulullah SAW menjawab, “Zuhudlah terhadap dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan jangan menginginkan apa yang ada di tangan manusia, maka manusia akan mencintaimu.” Ini menunjukkan bahwa zuhud bukan hanya untuk mendekatkan diri pada Allah, tetapi juga untuk menjaga hubungan baik dengan sesama manusia.
Pemahaman mengenai zuhud sering kali disalahartikan. Banyak yang menganggap zuhud identik dengan kemiskinan atau hidup dalam keadaan kekurangan. Padahal, zuhud adalah soal sikap hati. Sebagai contoh, banyak sahabat Nabi yang kaya raya tetapi tetap memiliki sifat zuhud. Utsman bin Affan RA dan Abdurrahman bin Auf RA, meskipun kaya, tetap dikenal sebagai sahabat yang zuhud. Mereka memanfaatkan harta yang dimiliki untuk beribadah dan membantu sesama, bukan untuk memuaskan ambisi pribadi.
Imam Hasan Al-Bashri menyebutkan bahwa zuhud adalah ketika seseorang bertemu dengan orang lain dan merasa bahwa orang tersebut lebih baik dari dirinya. Ini mencerminkan sikap rendah hati dan menghindari kecemburuan. Zuhud adalah soal kebesaran hati untuk menerima kekurangan diri dan tidak merasa berhak atas apa yang dimiliki orang lain.
Sebaliknya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa zuhud bukan berarti mengharamkan diri dari sesuatu yang halal. Memakai pakaian bagus, memiliki rumah layak, atau menggunakan kendaraan baik tidaklah melanggar prinsip zuhud, asalkan semua itu diperoleh dengan cara yang halal. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang menjadikan dunia sebagai tujuan hidup utama dan meletakkan dunia dalam hatinya.
Zuhud juga tercermin dalam bagaimana seseorang menghadapi musibah atau kehilangan. Imam Wahab bin Munabbih menyatakan bahwa zuhud adalah ketika seseorang tidak terlalu sedih kehilangan dunia dan tidak terlalu gembira menerima nikmat duniawi. Zuhud mengajarkan seseorang untuk menyeimbangkan perasaan, tidak terlarut dalam kedukaan yang berlebihan atau euforia duniawi yang melampaui batas.
Banyak kisah yang menggambarkan nilai zuhud, salah satunya dari Ibnu Arabi. Meski hidup dalam kemewahan, beliau dikenal sebagai sosok zuhud. Ketika seorang muridnya yang miskin meminta nasihat, Ibnu Arabi justru menasihatinya untuk tidak mencintai dunia. Ini mengajarkan bahwa zuhud bukan soal harta yang dimiliki, tetapi soal bagaimana seseorang mengendalikan perasaan terhadap dunia.
Imam Ahmad bin Hanbal juga menjelaskan bahwa zuhud adalah tidak terlalu berharap pada manusia dan hanya menggantungkan harapan pada Allah. Orang yang zuhud adalah mereka yang tidak berharap pujian atau penghargaan dari sesama, tetapi hanya berharap kepada keridhaan Allah.
Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah SAW memberikan prinsip sederhana untuk melatih sikap zuhud, yaitu agar dalam urusan dunia kita melihat kepada orang yang lebih rendah dari kita. Dengan melihat ke bawah, kita akan lebih bersyukur dan lebih mampu merasakan cukup dengan apa yang ada.
Zuhud adalah soal perjuangan hati, atau mujahadah. Setiap orang bisa memiliki dunia, namun hanya sedikit yang mampu menjaga dunia tetap di tangannya dan bukan di hatinya. Rasulullah SAW menggambarkan bahwa zuhud adalah keyakinan bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dari apa yang ada di tangan kita sekarang. Seseorang yang memiliki sikap zuhud akan lebih berharap pahala atas kesabaran dibandingkan mengharapkan kembali apa yang hilang dari dunia ini.
Rasulullah SAW menjelaskan bahwa zuhud memiliki tiga makna utama. Pertama, yakin bahwa rezeki yang ada di sisi Allah lebih baik dari apa yang ada di tangan kita. Kedua, tidak berlebihan dalam meratapi musibah duniawi. Ketiga, tidak menjadikan pujian atau celaan manusia sebagai pengaruh utama dalam beramal.
Maka dari itu, zuhud bukan hanya tentang kemiskinan atau keadaan fisik semata, melainkan tentang penempatan dunia di dalam hati. Dalam konteks ini, orang yang zuhud tidak akan pernah merasa terganggu dengan kehilangan dunia, dan mereka tidak akan merasa euforia berlebihan saat memperoleh dunia. Mereka menjadikan dunia hanya sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Zuhud adalah sikap batin yang membuat seseorang fokus pada tujuan akhir yaitu akhirat, bukan sekadar kesenangan duniawi yang fana. Dunia ini hanya sementara, dan kenikmatan akhirat lebih besar. Rasulullah SAW mengingatkan bahwa kehidupan dunia ini hanyalah ujian sementara, sedangkan akhirat adalah tujuan abadi.
Dalam kesimpulannya, sikap zuhud adalah upaya untuk membersihkan hati dari cinta dunia yang berlebihan. Dengan menjaga sikap zuhud, seseorang akan lebih mampu bersyukur, lebih sabar dalam menghadapi ujian, dan lebih fokus pada amal untuk akhirat. Wallahu a’lam bish-shawab, semoga kita senantiasa diberi kekuatan untuk menjaga hati agar selalu zuhud dan ikhlas.