Oleh; Prof. Taufik Kasturi, S.Psi., M.Si., Ph.D (Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)
Saya diberi amanah untuk menyampaikan tentang Al-Qur’an dan kesehatan mental sesuai dengan bidang saya. Saat ini, generasi yang dikenal sebagai Gen Z atau Generasi Z adalah mereka yang lahir antara tahun 1996 hingga sekarang, dengan rentang usia antara 9 hingga 26 tahun.
Mengapa ada klasifikasi seperti ini? Karena dunia berubah dan terus bergerak. Kita pernah mendengar istilah disrupsi, perubahan yang luar biasa. Generasi Z ini memiliki banyak kelebihan, terutama dalam kecanggihan teknologi. Mereka bisa mengakses apa pun yang sulit dibayangkan oleh kita, para orang tua sebelumnya. Mereka sangat mudah berkembang, multitasking, dan mampu bekerja dengan berbagai macam instrumen. Namun, generasi Z juga memiliki kelemahan yang perlu kita pahami, di antaranya adalah kecenderungan individualistis dan egosentris, yang artinya berpusat pada diri sendiri.
Masya Allah, di sini mereka mampu menghafal Al-Qur’an, sementara di luar sana mereka sulit fokus pada satu hal. Generasi Z dengan akses internet yang luar biasa sering sulit memahami proses, suka pada hal-hal instan, dan cepat jadi. Mereka juga kerap mengalami kelabilan emosi dan terlalu bergantung pada teknologi.
Bapak dan Ibu sekalian, beberapa riset menunjukkan bahwa mental generasi Z rentan terhadap depresi dan stres berat. Apa penyebabnya? Akses media sosial yang sangat luas menyebabkan mereka sering membandingkan diri dengan orang lain. Dulu, ketika kita kecil, kita hanya membandingkan diri dengan kakak, adik, atau tetangga. Namun, sekarang mereka membandingkan diri dengan orang di seluruh dunia.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menyebutkan lebih dari 19 juta penduduk berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta mengalami depresi. Data bunuh diri melaporkan sekitar 1.800 kasus per tahun atau lima orang per hari. Sebanyak 47,7% korban bunuh diri berusia 10 sampai 39 tahun, yang merupakan usia produktif.
Maka, perlu dibangun generasi yang bermental sehat dan kuat, generasi muda Islam yang beraktivitas dengan Al-Qur’an. Menurut WHO, orang yang sehat secara mental memiliki karakteristik seperti menyadari potensi diri, mampu mengatasi tekanan hidup, produktif dalam bekerja, dan dapat berkontribusi bagi masyarakat.
Menyadari potensi diri sangat penting. Dalam setiap pelatihan karakter, biasanya ada materi “Siapa Saya?” untuk membangun kesadaran diri. Dalam Al-Qur’an surat At-Tin ayat ke-4, Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk terbaik (ahsani taqwim), yang tidak hanya mencakup bentuk fisik tetapi juga potensi-potensi luar biasa. Ketika kita di perut ibu, kita telah memenangkan “perlombaan” melawan miliaran sel sperma lainnya. Maka, sejak awal kita sudah memiliki potensi kemenangan, yang perlu dipupuk dan ditingkatkan untuk mencapai keberhasilan.
Anak-anakku, selama di pondok mungkin tidak semua dari kalian mendapat peringkat, namun sesungguhnya semuanya berprestasi. Baik yang mendapat piagam maupun tidak, kalian adalah anak-anak hebat, kebanggaan orang tua kalian.
Dan mungkin, ketika di pesantren, ada sebagian dari kalian yang merasa bukan siapa-siapa, tidak dipandang oleh teman-temannya. Ada yang bahkan dijuluki sebagai “orang mubah,” yakni antara ada dan tiada—keberadaannya seolah tidak ada bedanya. Namun, kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi beberapa tahun ke depan.
Ada kisah seorang mahasiswa kedokteran yang saat di kampus, posisinya adalah yang paling rendah di antara teman-temannya. Ketika ia mendapatkan nilai C, teman-temannya biasanya mendapatkan B atau A. Ketika ia mendapatkan B, teman-temannya mendapat B atau A. Dia berada di level paling bawah. Namun, sepuluh tahun setelah lulus, orang-orang terkesima karena dia justru yang paling sukses, yang paling banyak pasiennya di antara semua temannya.
Kenapa bisa begitu? Karena ia mengembangkan potensi-potensi positif dalam dirinya. Hidup ini memang seperti gelombang; kadang kita berada di bawah, kadang di atas. Di SD mungkin ada yang peringkat pertama, di SMP peringkat tengah, lalu naik lagi di SMA. Ada yang stabil saja. Semuanya hebat, seperti lagu Ibu Kasur yang mengatakan, “Mawar dan melati, semuanya indah.”
Jika kelak kalian menemui hambatan di masyarakat, ingatlah bahwa kita memiliki iman yang kuat dalam dada kita. Jangan menjadi pribadi yang rapuh atau generasi Z yang mudah melo, yang bisa membuat kita menyesal di kemudian hari. Jika kalian diberi kesempatan belajar di luar negeri, saya selalu berpesan dua hal: pertama, “ojo gumunan” dan “ojo kagetan” (jangan mudah terpesona dan jangan mudah kaget). Kedua, kemampuan mengatasi tekanan hidup dalam kondisi normal.
Ada kisah, seorang anak kecil yang berjalan di tanah datar lalu terjatuh. Bagaimana jika ia berjalan di tanah yang terjal? Begitu pula, seorang remaja yang mudah stres dengan masalah standar atau seorang mahasiswa yang tidak mau masuk kuliah hanya karena jerawatan. Ada juga anak SMP yang tidak mau sekolah selama bulan Ramadan dengan alasan puasa—hal yang bagus tapi reaksi yang tidak sesuai.
Kemudian, fenomena terbaru adalah melukai diri sendiri karena masalah kecil, seperti tidak dibelikan HP atau dijauhi teman. Bahkan, baru-baru ini di Sulawesi Tenggara, seorang pelajar usia 15 tahun ditemukan meninggal dalam masjid karena tidak dipinjami handphone oleh ibunya. Di Gorontalo, seorang siswi SMK bahkan merencanakan pembunuhan ayahnya karena dilarang pacaran.
Kita harus memahami bahwa kehidupan tidak hanya tentang dua pilihan. Jangan memandang dunia dengan pilihan yang sempit. Ingatlah bahwa selalu ada jalan lain, pilihan lain, untuk mengatasi setiap permasalahan yang kita hadapi.
Jika ada yang berpikir, “Kalau nggak dibelikan HP, saya berhenti saja hidup ini,” seakan-akan tidak ada pilihan lain, seperti dunia hanya berwarna hitam dan putih saja, tanpa warna lain. Misalnya, “Kalau mau sehat, ya jangan makan enak,” atau “Kalau ingin gaul, ya harus merokok,” atau “Kalau ingin sukses, harus kuliah di perguruan tinggi favorit.” Seolah-olah hanya itu pilihan yang ada.
Padahal, ada pilihan lain. Kalau ingin sehat, bisa tetap makan enak dengan mengatur pola makan. Ingin gaul tidak harus merokok. Ingin sukses, bisa di perguruan tinggi favorit atau bisa juga di tempat lain, karena kunci belajar itu ada dua: pertama, apa yang dipelajari, dan kedua, dengan siapa kita belajar. Belajar apa dan dengan siapa sangat penting karena materi dan guru yang baik adalah dua hal yang harus diperhatikan. Hal ini sesuai dengan visi besar dari PPTQ Ibnu Abbas.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat Yusuf ayat 87: “Dan janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, kecuali kaum yang kafir.” Kita bukanlah generasi yang cengeng atau berpikir sempit.
Saya pernah kuliah di Eropa selama tiga tahun. Saat disertasi saya banyak dicoret oleh pembimbing, teman saya bertanya, “Apa kamu stres?” Saya jawab, biasa saja. Dia bahkan bertanya, “Butuh minum-minuman keras?” Saya jawab tidak. Kita mengatasi masalah dengan solusi yang tepat: istirahat dulu, salat, mohon kepada Allah, lalu lanjutkan pekerjaan. Kadang masalah itu hanya sampai di satu titik, tapi pikiran kita melampauinya.
Yang ketiga, produktif dalam bekerja. Banyak orang nongkrong di kafe hingga pagi, menghabiskan waktu tidak produktif. Namun kita, alhamdulillah, melihat bagaimana anak-anak kita menggunakan waktu untuk menghafal Al-Qur’an, belajar ilmu agama, dan berbuat yang bermanfaat.
Yang keempat adalah berkontribusi kepada lingkungan sosial. Rasulullah bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” Orang hebat adalah mereka yang berkontribusi bagi masyarakat.
Saya berharap agar seluruh wisudawan terus meningkatkan prestasi. Bagi yang belum mendapat penghargaan hari ini, semoga Allah memudahkan di waktu-waktu yang akan datang. Namun, di balik prestasi, ada sisi yang perlu diperhatikan, yaitu kesiapan menghadapi kegagalan. Kelemahan dari orang yang berprestasi tinggi adalah kecenderungan mereka merasa cemas jika menghadapi hambatan.
Seperti pesan dari Ustadz Mu’inudinillah rahimahullah, “Hidup adalah perjuangan atas nilai-nilai yang diyakini.” Nilai-nilai yang kita yakini harus kita perjuangkan, bukan hanya soal materi atau jabatan, tetapi prinsip mulia dari agama ini yang harus kita kembangkan dan perjuangkan hingga akhir hayat.