web stats
Home » Tafsir Tarbawi Q.S  Fussilat ayat 39-40: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah dan Peringatan bagi yang Menyimpang dari Kebenaran

Tafsir Tarbawi Q.S  Fussilat ayat 39-40: Tanda-Tanda Kekuasaan Allah dan Peringatan bagi yang Menyimpang dari Kebenaran

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.

Pekan yang lalu, kita sudah sampai pada ayat yang ke-38. InsyaAllah, malam ini kita akan melanjutkan pembahasan pada ayat yang ke-39 dan 40.

وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنَّكَ تَرَى الْاَرْضَ خَاشِعَةً فَاِذَآ اَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاۤءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْۗ اِنَّ الَّذِيْٓ اَحْيَاهَا لَمُحْيِ الْمَوْتٰى ۗاِنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ اِنَّ الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَاۗ اَفَمَنْ يُّلْقٰى فِى النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ يَّأْتِيْٓ اٰمِنًا يَّوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗاِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙاِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ

Sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya adalah bahwa engkau melihat bumi kering dan tandus, kemudian apabila Kami menurunkan air (hujan) padanya, ia pun hidup dan menjadi subur. Sesungguhnya Zat yang menghidupkannya pasti dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, (mereka) tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik ataukah yang datang pada hari Kiamat dengan aman sentosa? Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Pada pekan yang lalu, kita telah menjelaskan beberapa hal yang penting. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam ayat-ayat-Nya agar kita tidak menyembah selain-Nya. Janganlah kita, sebagai manusia, terpesona dengan keindahan matahari, rembulan, atau kenyamanan yang kita rasakan di siang dan malam hari. Semua itu adalah ciptaan Allah. Ada sebagian manusia yang menyembah matahari atau api karena manfaat yang mereka rasakan dari hal-hal tersebut. Namun, Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Lā tasjudū lishamsi walā lilqamar,” yang artinya, “Janganlah kamu sujud (menyembah) kepada matahari dan rembulan, tetapi sujudlah kepada Pencipta matahari dan rembulan.”

Ini adalah peringatan untuk kita agar tidak menyembah makhluk, melainkan kepada Sang Pencipta yang telah memberikan manfaat melalui ciptaan-Nya. Sebagaimana kita ketahui, pencipta matahari, rembulan, siang, malam, dan segala yang ada di alam semesta adalah Allah subhanahu wa ta’ala. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita menyembah hanya kepada-Nya.

Kezaliman terbesar adalah ketika seseorang menyembah makhluk yang diciptakan oleh Allah, sementara mereka melupakan Sang Pencipta. Hal ini merupakan suatu kekeliruan yang besar. Kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengajak manusia untuk merenung, mentafakuri, dan membaca ayat-ayat-Nya yang ada di alam semesta. Allah menggunakan metode tafakur ilmiy, yaitu mengajak umat manusia untuk berpikir mendalam dan melakukan observasi terhadap apa yang ada di sekitarnya.

Namun, meskipun Allah telah memberikan petunjuk ini, sebagian orang tetap takabur, sombong, dan enggan menyembah-Nya. Apa kata Allah? “Fala lā tasjudū lishamsi walā lilqamar,” (Janganlah kamu sujud kepada matahari dan rembulan). Allah tidak membutuhkan ibadah kita. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis, jika seluruh makhluk, baik jin maupun manusia, semuanya menjadi pendosa dan tidak ada yang bertakwa, itu tidak akan merugikan Allah sama sekali. Sebaliknya, jika seluruh makhluk itu bertakwa kepada Allah, itu tidak akan menambah kemuliaan-Nya sedikit pun.

“Wa malā‘ikatuhū yusabbihūnahu bilaili wan nahar,” (Dan malaikat-Nya bertasbih kepada-Nya di malam dan siang hari). Malaikat tidak pernah berhenti beribadah kepada Allah, mereka tidak pernah merasa bosan, sedangkan kita yang hidup hanya beberapa puluh tahun sering merasa lelah dan bosan dalam beribadah.

Sekarang, kita akan kembali meninjau ayat yang ke-39, di mana Allah subhanahu wa ta’ala kembali menjelaskan tanda-tanda kekuasaan-Nya. “Wa min āyātihi anaka tarā al-arda khāshi’atan, fa idhā anzalnā ‘alayhā al-mā‘a ihtazzat wa rabat,” yang artinya, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah engkau melihat bumi yang tandus. Maka ketika Kami turunkan air ke bumi itu, bumi tersebut menjadi bergerak dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan.”

Imam al-Baghawi menjelaskan bahwa kalimat “Wa min āyātihi” menunjukkan bukti-bukti kekuasaan Allah. Sebagaimana kekuasaan seorang presiden atau pemimpin tertentu, kekuasaan Allah adalah yang paling sempurna. Kekuasaan Allah tidak ada bandingannya, dan hanya Allah yang memiliki kekuasaan yang sempurna di alam semesta ini.

Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam ayat-ayat-Nya bahwa kekuasaan-Nya adalah kekuasaan yang sempurna, yang tidak ada tandingannya. Tidak hanya kekuasaan biasa, tetapi juga kekuasaan yang mutlak dan tidak ada penguasa lain yang melebihi-Nya. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Sa’di, ayat-ayat yang menunjukkan kekuasaan Allah adalah dalīl qudratihi (bukti kekuasaan-Nya), yang tidak hanya terbatas pada kekuasaan yang biasa, melainkan kekuasaan yang sempurna, yaitu kekuasaan yang hanya dimiliki oleh Allah, yang Maha Esa dalam mengatur segala sesuatu.

Ikhwah, arsyadakumullah, dalam ayat yang kita bahas ini, Allah menunjukkan salah satu tanda kekuasaan-Nya. “Wa inna alladhī ahyāha” — sesungguhnya Allah yang telah menghidupkan bumi yang kering dan tandus. Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan bahwa yang menghidupkan tanah yang kering dan tandus, yang awalnya tidak ada tumbuhan di atasnya, adalah Allah. Begitu hujan turun, bumi itu menjadi subur dan tumbuh tanaman, menunjukkan bahwa hanya Allah yang mampu menghidupkan yang mati dan memberi kehidupan kepada sesuatu yang kering dan tandus.

Allah subhanahu wa ta’ala mengingatkan kita, “Lamuhyīl mawt”, yaitu Allah yang dapat menghidupkan kembali yang telah mati. Hal ini menunjukkan bahwa Allah mampu menghidupkan kembali sesuatu yang telah mati, baik itu tanah yang kering yang kemudian ditumbuhi tumbuhan, ataupun manusia yang mati yang akan dibangkitkan kembali pada hari kiamat.

Kematian adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Tidak ada teknologi yang dapat menghindarkan kita dari kematian, meskipun ilmu pengetahuan semakin berkembang. Kematian itu pasti, dan begitu tiba waktunya, tidak ada yang bisa mengundurkannya atau mempercepatnya, seperti yang dijelaskan dalam firman Allah “Faidha ja’a ajaluhum, la yasta’khiruna sa’atan wa la yastaqdimun” — “Dan apabila ajal mereka datang, tidak bisa ditunda atau dimajukan barang sesaat pun.”

Meskipun kita tidak dapat menghindari kematian, Allah subhanahu wa ta’ala yang Maha Menghidupkan kembali, bukan sekadar klaim atau keyakinan kosong. Kekuatan-Nya sudah terbukti melalui tanda-tanda alam semesta, seperti yang kita saksikan pada kehidupan yang muncul kembali dari tanah yang tandus. Sebagaimana Allah menghidupkan bumi yang mati, Dia juga akan menghidupkan kembali manusia yang telah mati, meskipun tubuh mereka sudah hancur lebur.

Ini adalah bukti yang sangat penting, terutama bagi orang-orang yang mengingkari kehidupan setelah kematian, yang mengira bahwa setelah mati tidak ada kehidupan lagi. Maka, mumpung kita masih hidup, hendaknya kita merenung dan beriman kepada Allah yang Maha Hidup dan yang dapat menghidupkan kembali setiap yang telah mati.

“Innalladhī yulidūna fī āyātinā — Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Kami, mereka itu tidak dapat tersembunyi dari Allah, semuanya tetap tampak jelas bagi-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan dalam ayat ini bahwa orang-orang yang mengingkari ayat-ayat-Nya, atau yang disebut sebagai al-mulidūn, adalah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran yang Allah wahyukan.

Al-Ilhād menurut beberapa ulama, termasuk Ibnu Abbas dan Qatadah, adalah bentuk kekufuran dan pembangkangan terhadap kebenaran. Al-Sa’di menambahkan bahwa al-ilhad itu berarti menyimpang atau condong menuju pendapat yang bertentangan dengan apa yang Allah sampaikan dalam wahyu-Nya, baik dengan menginkarinya atau mendustakan apa yang dibawa oleh para rasul dan pembawa wahyu, seperti Rasulullah SAW, para ulama, dan para muballigh.

Hati-hati, ikhwah arsyadakumullah, karena al-ilhad ini bisa terjadi dalam beberapa bentuk, salah satunya adalah mendustakan ayat-ayat Allah meskipun ayat tersebut benar adanya, dan pendalilannya juga sahih. Misalnya, kita tahu bahwa ayat tersebut benar, tetapi kita tidak mau mengikutinya atau bahkan menghinakan dan merendahkan orang yang menyampaikan kebenaran tersebut hanya karena alasan pribadi terhadap orang tersebut. Ini merupakan salah satu bentuk ilhad yang sangat berbahaya.

Selain itu, ilhad juga bisa terjadi jika seseorang menyimpangkan makna suatu ayat atau menafsirkan ayat dengan cara yang tidak sesuai dengan makna yang seharusnya. Al-Sa’di mengingatkan kita agar tidak melakukan tafsiran sembarangan terhadap ayat-ayat Allah, karena hal itu bisa membawa seseorang kepada ilhad. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat Allah, terutama jika kita tidak memiliki keahlian dalam bidang tafsir. Tafsir yang kita lakukan, meskipun sebatas tadabbur, sebaiknya tetap bertumpu pada tafsir para mufassir yang terpercaya dan diakui oleh umat Islam.

Ikhwah, arsyadakumullah, sebagai umat Islam yang beriman, kita harus menyadari pentingnya untuk tidak menyimpangkan makna dari ayat-ayat Allah. Jika kita mendapati penafsiran yang benar dan sahih, kita seharusnya mengikuti dan mengamalkannya, tanpa mengubah atau menyimpangkan makna tersebut. Ilhad ini adalah dosa yang sangat besar, baik itu dalam bentuk yang besar maupun kecil. Semoga kita semua dijauhkan dari perbuatan yang bisa membuat kita masuk dalam kategori mulidūn.

Orang-orang yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Kami, mereka tidak akan bisa tersembunyi dari Allah. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk orang-orang yang melintir atau membelokkan ayat-ayat Allah, yang berusaha untuk mengingkari atau mendustakan kebenaran-Nya. Mereka yang berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran penuh ambiguitas, paradoks, atau sudah tidak relevan dengan zaman sekarang, Allah Maha Mengetahui orang-orang yang seperti itu.

“I‘malū mā shi’itum” — Allah berfirman, “Lakukanlah sesuka kalian.” Dalam bahasa sehari-hari, ketika seorang tua berkata seperti itu, itu adalah tanda kemarahan atau berlepas diri dari orang yang diberi nasihat. Rasulullah SAW juga bersabda, “Idhā lam tastahi fasnā‘al-masī‘ah” (Jika kamu tidak merasa malu, lakukanlah semau kamu). Ini menunjukkan bahwa apabila seseorang tidak merasa malu terhadap perbuatannya, maka ia dibiarkan untuk melakukannya sesuai dengan kehendaknya. Namun, Allah mengingatkan kita bahwa apabila Dia mengatakan “I‘malū mā shi’itum”, itu bukan berarti membiarkan perbuatan tanpa konsekuensi, tetapi sebagai bentuk kemurkaan Allah terhadap orang-orang yang ilhad (menyimpang) terhadap ayat-ayat-Nya.

Innallāh bimā ta‘malūna basīr — Sesungguhnya Allah Maha Melihat segala perbuatan yang dilakukan oleh umat manusia. Bahkan apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang dari kebenaran pun tetap dalam pengawasan-Nya.

Ikhwah arsyadakumullah, dalam ayat-ayat yang luar biasa ini terdapat beberapa poin tarbawi (pembelajaran). Yang pertama adalah uslūb al-mulahadhah, yaitu metode mendidik dengan mengajak kita untuk mengamati dan merenungkan fenomena yang ada di sekitar kita, serta untuk berpikir mendalam tentang tanda-tanda kekuasaan Allah di alam semesta. Ini juga masuk dalam kategori darbul amsāl, yaitu metode menyampaikan pesan dengan menggunakan perumpamaan, seperti yang Allah lakukan dalam menjelaskan kemampuannya untuk menghidupkan tanah yang kering dan menghidupkan sesuatu yang mati.

Dalam dunia akademik dan pendidikan, kita harus selalu mengingat bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, perkataan Allah yang tidak boleh disamakan dengan perkataan manusia biasa. Kita boleh mendiskusikan tafsiran ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, namun kita harus selalu mengedepankan adab dan kehormatan terhadap kalamullah. Jangan sampai kita menganggapnya sepele atau mencemoohkan ayat-ayat-Nya. Jika kita belum dapat memahami maknanya, jangan memaksakan diri untuk menafsirkan dengan cara yang tidak tepat. Jangan sampai kita terjatuh dalam ilhad, baik itu dalam bentuk menyimpangkan makna atau merendahkan ayat-ayat Allah.

Adab kita terhadap ayat-ayat Allah harus penuh dengan takzim (penghormatan). Kita harus berhati-hati dalam menafsirkan ayat-ayat-Nya, karena kesalahan dalam memahami bisa berakibat fatal. Jangan sampai kita termasuk dalam kategori orang-orang yang ilhad, baik dengan cara mengingkari, menyimpangkan makna, atau merendahkan ayat-ayat Allah. Semoga kita selalu diberi petunjuk dan dijauhkan dari perbuatan yang bisa membawa kita pada kesesatan.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00