Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Pada kesempatan pagi hari ini, kami mendapatkan amanah untuk menyampaikan tema yang agak berat, yaitu ijtihad dan urgensinya dalam masyarakat modern. Ini adalah materi yang biasa kami sampaikan di kelas-kelas kuliah, seperti ketika mengajar di Magister Hukum Ekonomi Syariah Universitas Muhammadiyah Surakarta. Di sana, kami biasanya menggunakan PowerPoint dengan banyak dalil, yang sayangnya sering membuat mahasiswa mengantuk. Namun, kali ini kami akan mencoba menjelaskan dengan lebih ringan agar lebih mudah dipahami, khususnya terkait pentingnya ijtihad bagi kita di zaman ini.
Secara bahasa, ijtihad berasal dari kata “jahada” yang berarti bersungguh-sungguh. Ketika kata ini ditambahkan dengan alif, fa, dan ta, menjadi ijtihad, maka maknanya semakin kuat, yaitu bersungguh-sungguh dengan sepenuh kemampuan. Sebagian ulama mendefinisikan ijtihad sebagai badlul juhdi atau istifrooghi Wus’a , yaitu mencurahkan segala kemampuan untuk memahami hukum syar’i atas suatu masalah melalui metode istimbat (menyimpulkan hukum).
Dalam hal ini, seorang muslim dituntut untuk berusaha memahami hukum syariat dengan mengerahkan seluruh potensi akal dan ilmu yang dimilikinya. Ada juga definisi lain yang lebih umum, yaitu melaksanakan hukum-hukum syariat dengan cara menyimpulkan dari dalil-dalil yang ada.
Kita bisa melihat contoh dari kisah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika beliau mengutus sahabatnya, Mu’adz bin Jabal, ke Yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’adz tentang metode apa yang akan digunakannya untuk memutuskan perkara yang dihadapinya di sana. Mu’adz menjawab bahwa ia akan memutuskan perkara berdasarkan kitabullah (Al-Quran). Jika ia tidak menemukan dalil dalam Al-Quran, ia akan merujuk pada sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Yang dimaksud dengan sunnah di sini adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, baik perkataan, perbuatan, atau sikap beliau. Jika dalil dari Al-Quran dan sunnah tidak ditemukan, barulah Mu’adz mengatakan bahwa ia akan berijtihad. Ini menunjukkan bahwa ijtihad menjadi alternatif terakhir ketika tidak ada dalil dari Al-Quran maupun hadits yang secara spesifik menjelaskan suatu permasalahan.
Para ulama sepakat bahwa la ijtihad ma’a an-nash—tidak boleh ada ijtihad jika terdapat nash yang jelas. Ijtihad hanya dilakukan jika benar-benar tidak ditemukan dalil.
Urgensi ijtihad semakin dirasakan dalam masyarakat modern, terutama karena kita hidup lebih dari 1400 tahun setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Banyak persoalan baru yang muncul, atau disebut al-umur at-thari’ah (perkara-perkara baru), yang tidak kita temukan secara jelas dalam dalil Al-Quran atau hadits. Misalnya, beberapa isu kontemporer seperti transaksi elektronik, seperti ShopeePay atau mistery box, adalah hal-hal baru yang belum pernah ada pada masa Rasulullah.
Jika kita menutup pintu ijtihad, akan sulit bagi umat untuk menemukan jawaban atas berbagai masalah baru tersebut. Meskipun Al-Quran menjelaskan segala sesuatu, tetapi penjelasannya sering bersifat umum, sehingga rincian atau penjabaran lebih lanjut sering kali memerlukan pemikiran mendalam melalui ijtihad.
Bapak-Ibu sekalian, pagi ini kita membahas sebuah tema penting, yaitu ijtihad, khususnya urgensi ijtihad dalam masyarakat modern. Ada sebuah prinsip dalam Islam yang berbunyi, “Antum a’lamu bi umur dunyaakum“—kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian. Oleh karena itu, Al-Quran hanya memberikan rambu-rambu dan prinsip-prinsip dasar, sementara tugas mujtahid adalah berusaha menyimpulkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang ada, meskipun kadang tidak selalu ada yang sama persis, sehingga memerlukan qiyas atau analogi. Ini menunjukkan betapa kita memerlukan ijtihad, terutama di zaman seperti sekarang.
Namun, perlu diingat bahwa ijtihad hanya bisa dilakukan oleh mujtahid yang memenuhi syarat-syarat tertentu, apalagi ijtihad mutlak yang hanya bisa dilakukan oleh mujtahid mutlak dengan persyaratan yang berat. Tidak sembarang orang bisa melakukan ijtihad.
Syarat menjadi mujtahid tidaklah mudah. Selain memenuhi syarat umum seperti muslim, baligh, dan berakal, ada syarat-syarat ilmu yang mendalam, yaitu:
- Memahami Al-Quran: Seorang mujtahid harus hafal dan paham Al-Quran, termasuk menguasai konsep nasikh (ayat yang menghapus) dan mansukh (ayat yang dihapus), ‘am (umum) dan khass (khusus), mutlak dan muqayyad, serta mujmal (global) dan mufashal (rinci).
- Menguasai Sunnah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam: Memahami hadits dan mampu membedakan antara yang shahih, dhaif, dan maudu’ (palsu).
- Menguasai Bahasa Arab: Seorang mujtahid harus paham ilmu bahasa Arab, termasuk nahwu (tata bahasa), sharaf (ilmu pembentukan kata), dan balaghah (retorika). Hal ini karena Al-Quran dan hadits berbahasa Arab, sehingga pemahaman bahasa Arab yang kuat mutlak diperlukan.
- Mengetahui Ijma’ dan Ikhtilaf Ulama: Harus memahami kesepakatan para ulama serta perbedaan pendapat di antara mereka.
- Menguasai Metode Qiyas dan Maqashid Syariah: Harus mengerti metode qiyas untuk menyimpulkan hukum, serta memahami tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah), seperti menjaga agama, harta, akal, keturunan, dan jiwa.
Tantangan zaman menuntut hadirnya mujtahid-mujtahid yang mampu memahami dan menjawab permasalahan modern. Di era yang penuh perubahan ini, masyarakat membutuhkan panduan dalam menjalankan agama dengan benar. Misalnya, muncul banyak permasalahan baru yang tidak ditemukan dalilnya dalam Al-Quran atau hadits, seperti transaksi digital dan fenomena kontemporer lainnya. Bila kita menutup pintu ijtihad, maka masyarakat kita, termasuk warga Persyarikatan, bisa saja terjebak dalam kesalahan dan dosa.
Kita perlu berjuang untuk melahirkan generasi yang mampu memenuhi syarat-syarat mujtahid, baik dari segi ilmu maupun akhlak. Ini bisa dimulai dari pendidikan sejak dini, misalnya melalui TK, SD, SMP, SMA, dan pesantren Muhammadiyah kita, serta universitas-universitas kita. Pendidikan usia dini adalah masa golden age untuk menghafal Al-Quran dan hadits, sehingga perlu diperbanyak porsi tahfidz Al-Quran pada tahap ini.
Alhamdulillah, sekarang kita mulai melihat generasi muda yang sudah hafal Al-Quran sejak SD atau SMP, bahkan ada yang bisa hafal hadits seperti Arbain dan Riyadus Shalihin. Tugas kita adalah melanjutkan pembinaan ini, tidak hanya dalam hafalan tetapi juga dalam pemahaman serta penambahan perangkat ijtihad.
Bapak-Ibu sekalian, Allah menciptakan manusia dengan kualitas dasar yang sama sepanjang zaman. Kemampuan otak manusia modern tidak kalah dengan manusia zaman dahulu. Hanya saja, pendidikan kita harus bisa mengasah potensi itu, membekali anak-anak dengan ilmu Al-Quran, hadits, dan bahasa Arab. Terkadang, kita meremehkan potensi anak-anak kita, padahal kemampuan otak manusia itu luar biasa, apalagi jika berkaitan dengan Al-Quran. Di dalamnya terdapat berkah yang luar biasa.
Al-Quran adalah kitab yang diturunkan Allah dengan penuh berkah, seperti dalam firman-Nya, kitabun anzalnahu ilaika mubarakun (kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh berkah). Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar istilah “berkah,” entah itu nama toko, bengkel, atau bisnis lainnya. Berkah, atau barokah, adalah kebaikan yang terus bertambah, bahkan dalam jumlah yang sedikit. Jika sesuatu penuh dengan berkah, meskipun kecil, akan melahirkan manfaat yang banyak. Sebaliknya, jika berkah itu tidak ada, meskipun banyak, justru dapat mendatangkan kesulitan.
Pengalaman selama 13 tahun di Madinah mengajarkan bahwa berkah dan kebahagiaan tidak selalu datang dari harta yang melimpah. Ada kisah tentang jamaah haji dan umrah yang berasal dari kalangan pejabat, walikota, hingga pengusaha kaya. Mereka sering mengeluh tentang masalah kehidupan yang mereka hadapi, mulai dari anak yang terjerumus narkoba hingga suami yang terlibat korupsi. Dari sini kita belajar bahwa harta yang banyak tidak selalu menjamin kebahagiaan dan ketenangan hidup.
Sebaliknya, ada juga kisah seorang guru honorer di pelosok Sulawesi yang memiliki 16 anak. Meski hidup dengan keterbatasan, wajahnya tetap penuh kebahagiaan. Anak-anaknya saleh, salehah, bahkan hafal Al-Quran. Ini adalah contoh nyata bagaimana keberkahan Allah bekerja dalam kehidupan seseorang, di mana meskipun serba terbatas, kehidupan mereka tetap penuh kebahagiaan dan ketenangan.
Kita harus terus berupaya menciptakan kehidupan yang diberkahi, baik dalam pendidikan anak-anak, keluarga, maupun dalam pekerjaan sehari-hari. Berkah dalam hidup akan membawa manfaat dan kebaikan, melapangkan hati, dan menjauhkan dari kesulitan meskipun hidup dalam keterbatasan.
Bapak-Ibu sekalian, dalam mendidik anak-anak, kita tidak bisa menyamakan standar pendidikan mereka dengan apa yang kita terima dulu. Di masa lalu, mungkin kita baru lancar membaca Iqro’ di kelas 6 SD, namun sekarang, pendidikan harus lebih baik dan terus meningkat. Para ulama terdahulu mampu menghafal Al-Quran di usia belia; artinya, potensi anak-anak kita pun luar biasa, tergantung keseriusan kita dalam mendidik dan mempercayai kemampuan mereka.
Dalam Al-Quran terdapat berkah yang luar biasa, sebagaimana firman Allah dalam ayat kitabun anzalnahu ilaika mubarakun, yang berarti bahwa Al-Quran adalah kitab yang penuh berkah. Jika Al-Quran sudah menjadi bagian dari hidup kita, keberkahan akan melimpah, dan meskipun hanya sedikit yang kita miliki, hasilnya tetap membawa manfaat yang besar. Kita sering melihat fenomena di mana orang dengan harta berlimpah justru kurang bahagia, sedangkan yang hidup sederhana namun diberkahi Al-Quran hidup dengan penuh ketenangan dan kebahagiaan.
Kita perlu menyiapkan anak-anak untuk mencapai derajat yang tinggi, bukan sekadar menjadi orang baik di masyarakat, namun bisa menjadi ulama mujtahid yang memahami dan mampu mengistimbat hukum. Bukan hanya sekadar memahami dalil, namun mampu melakukan qiyas dan istihsan untuk menyelesaikan masalah-masalah baru. Di zaman modern ini, ijtihad menjadi hal yang urgen karena tantangan kita semakin banyak dan beragam, sementara tidak semua masalah secara langsung terjawab dalam Al-Quran dan Sunnah. Maka, ijtihad dibutuhkan untuk melahirkan solusi yang tepat.
Mari kita motivasi anak-anak kita untuk bercita-cita tinggi, tidak hanya menjadi dokter, tentara, atau polisi, namun lebih dari itu, yaitu menjadi ulama mujtahid yang membawa keberkahan bagi umat. Keutamaan menghafal Al-Quran sangat besar; Rasulullah SAW menyampaikan bahwa orang tua yang mendidik anaknya untuk hafal dan mengamalkan Al-Quran kelak akan mendapat mahkota yang bercahaya lebih terang dari cahaya matahari. Ini adalah bukti bahwa pengajaran Al-Quran sejak dini membawa keberkahan di dunia dan akhirat.
Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Oleh karena itu, jika kita belum bisa menjadi mujtahid, kita siapkan anak-anak kita, baik anak biologis maupun anak-anak didik kita, agar mereka memenuhi syarat tersebut. Pendidikan harus dimulai sejak dini, mulai dari TK, SD, SMP, hingga perguruan tinggi, sehingga mereka menjadi generasi yang siap berijtihad dan berkontribusi dalam memecahkan masalah-masalah baru.
Bapak-Ibu sekalian, jangan pernah meremehkan doa. Doa orang tua untuk anaknya adalah doa yang mustajab. Jadi, mari kita doakan anak-anak kita agar Allah memudahkan mereka mencapai cita-cita menjadi ulama dan membawa keberkahan bagi keluarga dan umat. Semoga doa kita tidak hanya sekadar doa minimalis, namun doa yang maksimal dan penuh harapan, agar anak-anak kita sukses dan hidup mereka penuh berkah.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga menjadi inspirasi untuk kita semua dalam menyiapkan generasi penerus yang mampu berijtihad dan menebar kebaikan. Mari terus berusaha mendidik mereka dengan sungguh-sungguh dan berdoa kepada Allah agar semua upaya kita menjadi amal jariyah yang mengalir hingga akhirat.