Oleh: K.H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I.
Di awal bulan Rabiul Awal. Mungkin ada di antara kita yang baru bertemu dengan bulan mulia ini sejak Rabiul Awal tahun lalu, atau bahkan baru tadi malam. Namun, kita sama-sama berada di bulan yang penuh kemuliaan ini, bulan di mana kita mengingat seorang kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Beliau adalah hamba Allah yang akal dan budi pekertinya telah disucikan oleh Allah. Tidaklah beliau tersesat, dan tidak pula salah jalan hidupnya. Beliau adalah seorang yang tidak pernah bertutur kata kecuali berdasarkan wahyu dari Allah:
“Dan tidaklah dia berbicara dari hawa nafsunya. Ucapannya itu tidak lain adalah wahyu yang diwahyukan.” (QS. An-Najm: 3-4)
Beliau adalah hamba yang dadanya dilapangkan oleh Allah, meskipun dicela, dihina, dan dinistakan. Namun, hati beliau tetap lapang. Allah berfirman:
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?” (QS. Al-Insyirah: 1)
Kejujuran hati beliau tidak pernah tergoyahkan. Apa yang ditunjukkan oleh Allah kepada beliau, disampaikan kepada umatnya dengan sempurna. Beliau adalah hamba yang derajatnya dimuliakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ratusan juta bahkan miliaran lisan terus menyebut nama beliau dalam shalawat: “Allahumma Sholli ‘Ala Muhammad.” Tidak ada pemimpin, sehebat apa pun, yang namanya disebut sebanyak Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.
Beliau adalah hamba yang ilmunya disempurnakan oleh Allah, mendapatkan pengetahuan langsung dari-Nya:
“Dia mengajarkan kepadanya apa yang belum diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 5)
Beliau juga diberikan predikat yang mulia dari dua asma Allah yang Husna: Bil Mukminina Ra’ufur Rahim (sangat pengasih dan penyayang kepada orang-orang mukmin). Allah pun meridhoi beliau dan memberikan sertifikasi sebagai pemilik akhlak yang tiada tandingannya.
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlak yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Kehadiran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam merupakan karunia yang sangat besar dari Allah kepada kita. Allah mengingatkan kita:
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang mukmin ketika Dia mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri.” (QS. Ali ‘Imran: 164)
Kita bisa membayangkan, bagaimana jadinya dunia ini tanpa kehadiran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam? Nabi-nabi sebelumnya diutus oleh Allah, namun risalah mereka belum sempurna.
Nabi Nuh Alaihissalam, meskipun melahirkan banyak generasi, justru umatnya menjadi pelopor kesyirikan. Nabi Ibrahim Alaihissalam, yang dikenal sebagai Abul Anbiya (Bapak Para Nabi), tetap tidak menyaksikan penyempurnaan risalah di zamannya. Nabi Musa Alaihissalam, meskipun memiliki kekuatan fisik dan keteguhan, belum menyempurnakan agama. Nabi Isa Alaihissalam, dengan kelembutan akhlaknya, juga tidak menyaksikan penyempurnaan agama.
Akhirnya, penyempurnaan agama itu hanya terjadi di masa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Allah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan nikmat-Ku atasmu, dan telah Kuridhoi Islam sebagai agamamu.” (QS. Al-Ma’idah: 3)
Inilah karunia yang sangat dahsyat dari Allah. Kehadiran Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah penutup risalah, yang didesain oleh Allah sebagai kesempurnaan dari seluruh ajaran sebelumnya. Tidak akan ada lagi nabi setelah beliau, karena Islam telah sempurna.
Al-Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menyatakan, “Min Anfusihim”—bahwa kita harus menyadari Nabi Allah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bukanlah seorang malaikat, bukan pula berasal dari bangsa jin. Beliau adalah manusia yang diutus oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari jenis kita sendiri.
Jika ada orang kaya, maka Nabinya juga Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Jika ada pemimpin besar, maka Nabinya juga Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Jika ada pebisnis sukses, Nabinya juga Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Beliau adalah nabi bagi para ayah, ibu, saudagar, bahkan orang-orang miskin.
Kalau ada seorang presiden besar, maka Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam juga seorang pemimpin besar. Jika ada seorang manajer bisnis sukses, maka beliau pun mencapai kesuksesan serupa. Jika ada ahli konstitusi, legislasi, atau yudikasi, maka Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah sosok yang ditakdirkan Allah untuk memimpin suatu negara, memegang kendali eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara sekaligus.
Kalau ada panglima hebat, maka Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam adalah Panglima Besar dalam Islam. Tidak ada yang kurang dari beliau. Maka, jika Anda seorang kaya, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pernah berada di posisi itu. Jika Anda seorang pemimpin, presiden, atau bupati, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pun telah mencapai puncak kepemimpinan. Bahkan, jika Anda seorang miskin, beliau pernah berdoa:
“Ya Allah, wafatkan aku dalam keadaan miskin.”
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah mencapai puncak kejayaan dan kemuliaan, tetapi tetap mengingatkan bahwa dirinya adalah manusia biasa:
“Katakanlah, ‘Aku ini hanyalah seorang manusia biasa seperti kalian. Aku merasakan lapar, haus, sedih, dan duka.'” (QS. Al-Kahfi: 110)
Ketika putra beliau, Ibrahim Radiallahu Anhu, wafat, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menangis begitu dahsyat. Para sahabat pun bertanya, “Wahai Nabi, apakah engkau juga menangis?” Beliau menjawab:
“Mata ini bisa meneteskan air mata, tetapi kami tidak akan berkata kecuali sesuatu yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.”
Maka, saudara sekalian, yang dimuliakan Allah, hubungan kita dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangatlah istimewa. Allah berfirman:
“Sungguh telah datang kepada kalian seorang Rasul dari kalangan kalian sendiri, yang berat merasakan penderitaan kalian, penuh perhatian kepada kalian, dan sangat penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128)
Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam begitu empati terhadap umatnya. Tidak ada keinginan beliau kecuali agar umatnya kelak berada di bawah panjinya di surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di hari kiamat, ketika umat manusia memohon syafaat, mereka mendatangi Nabi Adam Alaihissalam, lalu Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, hingga Nabi Isa Alaihissalam, namun semuanya tidak sanggup memberi syafaat. Hingga akhirnya umat datang kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam, dan beliau dengan izin Allah memberikan syafaat.
Namun, sering kali kita lupa, surga terasa tidak lengkap bagi Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam jika ada satu saja dari umatnya yang masuk neraka. Beliau tidak tega melihat umatnya menderita. Sayangnya, kita sering tidak menyadari pengorbanan beliau.
Al-Imam Ibnu Katsir mengingatkan kita tentang Min Jinsi—bahwa meskipun jasad Nabi telah tiada lebih dari 14 abad yang lalu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam masih hidup dalam hati umatnya. Allah mengingatkan kita:
“Dan ketahuilah bahwa di tengah-tengah kalian ada Rasulullah.” (QS. At-Taubah: 7)
Kehadiran beliau bukanlah fisik, melainkan melalui ajaran dan sunnahnya. Nabi bersabda:
“Aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih bersih; malamnya seperti siangnya. Tidak ada yang akan tersesat kecuali mereka yang memilih kesesatan.”
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah menyampaikan risalah dengan sempurna. Beliau mencapai sidratul muntaha, tingkatan tertinggi yang tidak pernah dicapai siapa pun. Namun, pertanyaannya: Adakah hati kita selalu tersambung dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam?
Al-Imam Al-Qurthubi, jamaah sekalian, dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa kita harus menyadari bahwa Nabi Allah Muhammad bukanlah seorang malaikat, bukan pula dari bangsa jin. Namun, beliau diutus oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari golongan kita, manusia. Orang kaya, pemimpin, pebisnis, ayah, ibu, saudagar, hingga orang miskin – semuanya memiliki nabi yang sama, yaitu Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Jika ada seorang pemimpin besar, maka Nabi Muhammad adalah pemimpin besar. Jika ada seorang pebisnis sukses, beliau juga adalah seorang manajer yang luar biasa. Jika ada ahli konstitusi, legislasi, atau yudikasi, maka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah seorang yang ditakdirkan oleh Allah untuk memegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Jika ada seorang panglima perang, maka Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam adalah panglima besar dalam Islam. Tidak ada sesuatu pun yang kurang dari beliau.
Maka, kita ingin mengatakan kepada semua, jika Anda seorang yang kaya, Nabi Muhammad pernah mencapai hal itu. Jika Anda seorang pemimpin, Nabi Muhammad pernah menduduki posisi itu. Bahkan jika Anda orang miskin sekalipun, Nabi Muhammad pernah berdoa, ‘Ya Allah, wafatkanlah aku dalam keadaan miskin.’ Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam mencapai puncak kemuliaan tersebut, Allah pun menegaskan bahwa beliau adalah manusia biasa seperti kita: ketika lapar, beliau juga lapar; ketika haus, beliau pun haus; ketika sedih, beliau juga bersedih.
Bukankah ketika putra beliau, Ibrahim radiallahu ta’ala anhu, wafat, Nabi Muhammad menangis begitu dalam hingga para sahabat bertanya, ‘Wahai Nabi, apakah engkau juga menangis?’ Beliau pun menjawab, ‘Mata ini boleh basah karena air mata, namun kami tidak akan mengatakan apa pun kecuali yang diridhai oleh Allah subhanahu wa ta’ala.’ Jadi, saudara sekalian yang dimuliakan Allah, hubungan kita dengan Baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah hubungan antara sesama makhluk yang penuh kasih sayang.
Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sosok yang sangat empatik terhadap umatnya. Beliau sangat peduli akan kebaikan hidup kita, bahkan hingga hari kiamat kelak. Dalam hadits yang shahih disebutkan, ketika umat manusia datang berbondong-bondong mencari syafaat kepada Nabi Adam alaihis salam, kemudian kepada Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa, semuanya mengatakan, ‘Aku tidak bisa.’ Namun, ketika mereka datang kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, beliau tidak tega melihat umatnya menderita dan berusaha memberi syafaat.
Imam Ibnu Katsir mengingatkan bahwa meskipun jasad Nabi Muhammad telah wafat 14 abad yang lalu, namun kehadiran beliau tetap ada dalam kehidupan kita melalui ajaran-ajarannya. Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa di antara kita ada utusan Allah. Walaupun bukan kehadiran fisik, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam telah meninggalkan kita pada jalan yang putih bersih.
Tidak ada yang celaka dalam jalan ini kecuali mereka yang memilih jalan sesat untuk dirinya. Rasulullah tidak sesat, apalagi ingin menyesatkan umat. Beliau telah sampai ke Sidratul Muntaha, dan sekarang kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah hati kita terhubung dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?
Silakan bakar Al-Qur’an itu, namun ingat, setiap kobaran api yang membakar Al-Qur’an justru akan membuat iman dalam hati ini semakin membara. Nistakanlah Nabi Muhammad, namun ingat, Nabi Muhammad telah diangkat derajatnya oleh Allah. Meski ada jutaan orang yang berdemo menghina Nabi, itu tidak akan merendahkan beliau, karena Allah telah memuliakan beliau. Pertanyaan yang perlu kita renungkan adalah, apakah masih ada hubungan qolbu kita dengan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam yang berjuang demi kebaikan umatnya?
Semoga kita senantiasa diberikan petunjuk oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk dapat mengikuti anugerah terbesar yang diberikan-Nya kepada umat manusia, yaitu Islam dan Sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. 2024 bukan hanya persoalan politik, tetapi juga masa di mana manusia harus menjaga kemanusiaannya. Jangan sampai kita kehilangan nilai-nilai luhur yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Marilah kita memanfaatkan karunia kehadiran Nabi Muhammad sebagai nikmat yang paling agung. Nikmat ini tidak ternilai karena membawa keselamatan, kedamaian, dan kemuliaan bagi umat manusia. Mari kita menjaga ajaran beliau sebagai panduan hidup kita. Wallahu a’lam.
Jika seseorang diberikan ujian sakit yang berkepanjangan, mungkin Allah ingin membersihkan hati orang tersebut sebelum bertemu dengan-Nya. Sebagaimana dalam hadis Nabi, ketika Allah mentakdirkan sebuah surga yang sangat tinggi, namun amal seseorang tidak cukup untuk mencapainya, Allah memberikan ujian dalam bentuk harta, jiwa, benda, dan keluarga. Ketika seseorang sakit dan sabar dalam menghadapi ujian tersebut, maka Allah akan mematikannya dalam keadaan suci.
Oleh karena itu, jika kita melihat orang yang sedang sakit, bacaan kita seharusnya adalah thohurun, semoga sakit ini menjadi jalan bagi penyucian dirinya. Jangan sampai sakit datang, tetapi kita tidak mendapatkan ampunan dari Allah, utang bertambah, dan beban semakin berat.
Namun, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus menginginkan sakit, hanya saja, kita perlu memahami bahwa ujian dari Allah memiliki tujuan yang baik bagi kita. Saudara-saudara sekalian yang saya muliakan, saya ingin menyampaikan sebuah hal yang sangat penting: saya membaca kembali kisah tentang ulama-ulama yang duduk bersanding dengan para nabi dan rasul. Semalam, saya mendengar kabar tentang seorang ulama dari Tarim, Yaman, yang Allah gerakkan untuk menarik ribuan umat tanpa perlu ada provokasi atau organisasi besar. Ini menunjukkan betapa besar daya tarik seorang yang sholeh dan baik. Umat spontan datang untuk dekat dengan beliau, ini adalah ekspresi spontanitas umat yang mencintai orang-orang sholeh.
Begitu juga, bayangkan jika kita bisa bersanding dengan Rasulullah SAW. Inilah kebahagiaan sejati yang harus kita rayakan dengan penuh gembira. Perlu kita ingat, jika kita mencintai negeri ini, kita juga harus memiliki rasa cinta yang mendalam kepada Rasulullah, terutama pada bulan Maulid ini, ketika beliau dilahirkan. Jika kita mencintai nabi, itu adalah tanda iman kita yang sejati.
Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa Maulid Nabi bukanlah ritual wajib seperti salat lima waktu. Maulid adalah suatu perayaan budaya yang tujuannya untuk menghadirkan memori indah tentang Rasulullah SAW. Jangan sampai kita malah sibuk saling membedakan, karena yang paling senang dengan perbedaan itu adalah iblis.
Saudara-saudara yang saya muliakan, mari kita renungkan pesan dari ulama kita terdahulu tentang karunia dan rahmat Allah, yaitu Islam dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Bahagia dengan Islam adalah kebahagiaan yang hakiki. Sebagaimana dikatakan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, semakin sehat qalbu kita, semakin bahagia kita dengan Islam. Namun, jika qalbu kita sakit, maka kita akan merasa sesak dengan ajaran Islam.
Ketika qalbu kita dipenuhi dengan cinta kepada Islam dan Rasulullah SAW, kebahagiaan kita akan semakin tinggi. Hati kita bisa merasakan keriangan dan kedamaian karena selalu bersama dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, yang mempertaruhkan hidupnya untuk melindungi kita dan memberikan pertolongan kepada kita.
Contoh nyata dari ini adalah kisah Abu Thalib yang meski tidak beriman kepada Rasulullah, tetap mendapatkan syafaat beliau. Abu Thalib awalnya akan masuk neraka, namun karena syafaat Nabi, ia mendapatkan sedikit keringanan. Begitu juga dengan Abu Lahab, yang meskipun disebutkan dalam Al-Qur’an sebagai orang yang celaka, ternyata pada hari Senin setiap minggu, Allah meringankan siksanya, hanya karena ia bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh cinta kepada Nabi, meskipun Abu Lahab adalah orang kafir.
Jika Abu Lahab dan Abu Thalib saja bisa mendapatkan karunia tersebut, apalagi kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW yang mengimani dan mencintai beliau. Bagaimana jika kita selalu bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, menghidupkan ajaran-ajarannya, dan mati dalam keadaan bertauhid?
Saudara-saudara, mari kita renungkan juga bagaimana seringkali kita lebih mengidolakan artis, bintang film, atau tokoh dunia, sementara Nabi Muhammad SAW, yang seharusnya menjadi teladan utama, malah sering terlupakan. Saya hanya bertanya, di mana posisi Nabi Muhammad SAW dalam hati kita?
Sebagai penutup, saya ingin mengajak kita untuk membaca Surat Muhammad. Di sana, terdapat dua kolom kehidupan: kolom orang yang hidup bahagia dan kolom orang yang hidup menderita. Sebagai bahan renungan, mari kita bandingkan dua jenis kehidupan ini. Kita akan melihat dengan jelas, bahwa hidup bahagia adalah hidup yang beriman kepada Allah dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Sementara, hidup yang menderita adalah hidup yang berpaling dari kebenaran.