مَا يُقَالُ لَكَ اِلَّا مَا قَدْ قِيْلَ لِلرُّسُلِ مِنْ قَبْلِكَ ۗاِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ مَغْفِرَةٍ وَّذُوْ عِقَابٍ اَلِيْمٍ وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا
اَعْجَمِيًّا لَّقَالُوْا لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ ۗ ءَاَ۬عْجَمِيٌّ وَّعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ
“Apa yang dikatakan (oleh orang-orang kafir) kepadamu tidak lain adalah apa yang telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelummu. Sesungguhnya Tuhanmu pasti mempunyai ampunan dan azab yang pedih. Seandainya Kami menjadikannya (Al-Qur’an) bacaan dalam bahasa selain Arab, niscaya mereka akan mengatakan, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan (dengan bahasa yang kami pahami)?” Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab, sedangkan (rasul adalah) orang Arab? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-Qur’an).673) Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
Pada ayat sebelumnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang bagaimana sikap orang-orang kafir terhadap adz-dzikr (Al-Qur’an) ketika Al-Qur’an diturunkan kepada mereka:
“Sesungguhnya orang-orang kafir itu mengingkari Al-Qur’an (adz-dzikr) yang telah datang kepada mereka. Ketika Al-Qur’an itu datang kepada mereka, mereka mendustakannya, maka mereka celaka.”
Di sini, istilah adz-dzikr dijelaskan sebagai nama lain dari Al-Qur’an. Frasa “lama ja’ahum” (ketika datang kepada mereka) menunjukkan bahwa mereka mendustakan Al-Qur’an hingga akhirnya binasa.
Sesungguhnya, Al-Qur’an adalah kitab yang penuh dengan izzah (kemuliaan), penuh dengan kewibawaan, dan keperkasaan. Sebagaimana firman Allah:
“Yang tidak datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang.”
Makna ayat ini telah dijelaskan oleh para ulama, bahwa bentuk izzah Al-Qur’an adalah tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan yang serupa dengan Al-Qur’an. Selain itu, kewibawaan dan kemuliaan Al-Qur’an tercermin dari fakta bahwa tidak ada yang mampu mengubahnya sedikit pun. Hal ini berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memberikan jaminan tentang keaslian Al-Qur’an melalui firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan pasti Kami yang akan menjaganya.”
Ayat ini menjadi bukti betapa mulia, berwibawa, dan perkasa Al-Qur’anul Karim.
Setelah menegaskan kemuliaan Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menghibur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan firman-Nya:
“Apa yang dikatakan kepadamu (wahai Muhammad) tidak lain hanyalah apa yang telah dikatakan kepada rasul-rasul sebelum kamu.”
Ayat ini merupakan bentuk hiburan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada Rasulullah. Pesannya adalah, segala tuduhan, celaan, dan pembunuhan karakter yang ditujukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Katsir, tuduhan-tuduhan seperti pendusta dan penyihir sudah menjadi pola yang dilakukan kaum kafir kepada para nabi terdahulu.
Misalnya, Qatadah menjelaskan bahwa apa yang dikatakan kepada Rasulullah berupa pendustaan atau tuduhan bohong bukanlah hal baru. Tuduhan itu pernah diarahkan kepada para rasul sebelumnya. Rasulullah diingatkan bahwa sebagaimana para nabi terdahulu bersabar menghadapi celaan tersebut, beliau pun harus bersabar.
Imam Al-Baghawi juga menjelaskan bahwa kaum kafir menuduh nabi dan rasul sebagai sahir (penyihir). Padahal, para nabi dan rasul diberi mukjizat yang tidak sesuai dengan kemampuan normal manusia. Meski demikian, kaum mereka tetap mengingkari mukjizat tersebut dan menuduh mereka sebagai penyihir.
Dan hal yang sama juga dikatakan kepada Rasul kita, Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam disebut sebagai sahir kadzab (penyihir pendusta), syair majnun (penyair gila). Tuduhan-tuduhan ini dialamatkan kepada beliau.
Di sini, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sedang menguatkan hati Rasul-Nya dengan menegaskan bahwa apa yang dialami beliau—seperti dituduh ini-itu, dibunuh karakternya, dijelek-jelekkan, disebut syair majnun, sahir kadzab, dan sebagainya—sudah pernah dialami oleh para nabi dan rasul sebelumnya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh As-Sa’di, tuduhan-tuduhan itu tidak hanya berupa ucapan, tetapi juga disertai upaya melukai, mengintimidasi, bahkan rencana untuk membunuh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Hal ini juga menimpa nabi dan rasul sebelum beliau.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengokohkan hati Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan cara yang luar biasa. Hal ini menjadi pelajaran penting bagi kita, para pejuang kebenaran, termasuk ulama, ustaz, dai, mubaligh, murabbi, dan pendidik. Ketika kita menghadapi berbagai tantangan, hinaan, cemoohan, atau bahkan pembunuhan karakter, hal tersebut seharusnya menjadi pengingat bahwa itu adalah sunnatullah.
Hal yang sama telah dirasakan oleh para pendahulu kita, termasuk ulama, dai, dan mubaligh sebelumnya. Bahkan, para nabi dan rasul yang maksum (terjaga dari kesalahan) pun menghadapi rintangan yang jauh lebih berat. Maka, kita yang penuh dengan dosa, kekurangan, dan kelemahan seharusnya bisa lebih legowo dan sabar menghadapi halangan tersebut.
Ikhwah fiddin, arsyadakumullah. Salah satu bentuk pengokohan hati (tasbitul fuad) bagi para pejuang kebenaran adalah dengan membaca sirah para nabi, rasul, dan orang-orang saleh terdahulu. Para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki kebiasaan meminta beliau bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu. Misalnya, suatu ketika mereka berkata, “Ya Rasulullah, haditsna bil hadits.” Rasulullah pun menyampaikan ahsanul hadits, yaitu Al-Qur’anul Karim.
Namun, para sahabat menjelaskan bahwa maksud mereka adalah cerita para nabi dan umat terdahulu, agar mereka terhibur dan terkokohkan atas musibah serta rintangan yang dihadapi. Inilah pentingnya membaca sirah, bukan hanya sirah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, tetapi juga kisah-kisah para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.
Banyak karya ulama yang dapat kita baca untuk mendapatkan pelajaran ini. Salah satunya adalah karya Imam Adz-Dzahabi, Siyar A’lamin Nubala, yang berisi kisah para ulama dan tokoh mulia. Ada kisah para salafus salih yang sangat luar biasa, seperti seseorang yang wafat ketika membaca Al-Qur’an karena terlalu mendalami maknanya hingga menangis dan terguncang.
Selain itu, kita juga bisa membaca kisah-kisah perjuangan kontemporer, seperti Aam al-Haqah wa al-Akwah (yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Bahkan, sejarah pahlawan kita sendiri, seperti Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien, bisa menjadi inspirasi. Film Cut Nyak Dien menggambarkan perjuangan seorang perempuan yang mempertahankan negaranya hingga akhir hayat.
Sirah-sirah dan cerita-cerita seperti itu penting untuk kita renungkan. Untuk apa? Untuk meringankan beban kita dan menguatkan hati kita. Inilah cara Allah Subhanahu wa Ta’ala menguatkan Nabi-Nya. Maka, cara itu juga yang harus kita tempuh: untuk menguatkan diri kita, teman seperjuangan kita, anak-anak didik kita, dan generasi penerus kita dalam perjuangan.
“Inna rabbaka ladzu maghfiratin wa dhi iqabin alim.” (Sesungguhnya Tuhanmu adalah Pemilik ampunan, dan juga Pemilik azab yang pedih).
Ayat ini penting, karena menunjukkan keseimbangan sifat Allah. Di satu sisi, Allah Maha Pengampun, tetapi di sisi lain, azab-Nya pedih. Ini menggambarkan keseimbangan antara targhib (motivasi) dan tarhib (peringatan). Harapan bahwa Allah Maha Pengampun harus diimbangi dengan kesadaran bahwa azab-Nya juga nyata.
Mengapa ini penting? Karena orang yang hanya berlebihan berharap pada rahmat Allah bisa terjerumus ke dalam pemikiran murjiah, yang terlalu optimis sehingga mengabaikan ancaman azab. Sebaliknya, orang yang terlalu takut pada Allah tanpa diimbangi harapan bisa menjadi seperti khawarij, yang berlebihan dalam ketakutan dan menganggap dosa-dosa kecil pun tidak terampuni.
Para ulama, seperti As-Sa’di, menjelaskan bahwa makna dzul maghfirah adalah Allah memiliki ampunan yang agung. Dengan ampunan-Nya, Allah menghapus dosa siapa pun yang mau meninggalkan dosa, bertaubat, dan kembali kepada-Nya. Sebaliknya, Allah adalah dzul iqabin alim (Pemilik azab yang pedih), bagi siapa? Liman asarra wastakbara (bagi orang yang keras kepala dan sombong). Mereka tetap teguh dalam dosa dan kemaksiatan tanpa mau memperbaiki diri atau bertaubat.
Inilah poin penting dalam tarbiyah: keseimbangan antara targhib dan tarhib. Keduanya harus berjalan seiring, atau disebut at-talaazum bainahuma.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Walau ja’alnahu qur’anan a’jamiyyan laqalu laula fussilat ayatuhu.”
(Dan sekiranya Kami jadikan Al-Qur’an itu dalam bahasa selain Arab, mereka pasti akan berkata, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan?”).
Menurut Imam Al-Baghawi, ayat ini turun terkait ejekan kaum musyrik terhadap seorang budak bernama Yasar, seorang Yahudi non-Arab yang memeluk Islam. Orang-orang musyrik mempertanyakan bagaimana Al-Qur’an, kitab yang diturunkan kepada Nabi berbahasa Arab, bisa dimengerti oleh orang non-Arab. Allah menjawab bahwa Al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab yang fasih, sesuai dengan Nabi-Nya yang berbahasa Arab.
Dalam ayat ini, terdapat bacaan istimewa yang disebut tashil, yaitu cara pengucapan huruf hamzah kedua menjadi setengah jelas. Contohnya pada kata a’jamiyyun. Bacaan ini unik karena hanya muncul di Surah Fusilat ayat 44. Allah berfirman:
“Qul huwa lilladzina amanu hudan wa syifa’.” (Katakanlah, “Al-Qur’an itu bagi orang-orang yang beriman adalah petunjuk dan penyembuh.”).
Al-Qur’an adalah petunjuk (hudan). Maka, ketika kita membaca, menghafal, atau mendengar Al-Qur’an, niatkan untuk mengambil petunjuk darinya. Tujuan membaca Al-Qur’an bukan hanya untuk mendapatkan pahala, meskipun itu baik, karena Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa membaca satu huruf dari Al-Qur’an, maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kebaikan.”
Namun, tujuan yang lebih utama adalah untuk mendapatkan ilmu dan petunjuk, kemudian mengamalkannya. Al-Qur’an juga disebut sebagai penyembuh (syifa’), baik untuk penyakit hati maupun penyakit tubuh.
Salah satu tilawah yang harus kita hadirkan ketika membaca Al-Qur’an adalah menjadikannya sebagai sarana untuk mengobati diri. Implementasi amalnya adalah ketika kita membaca Al-Qur’an, selain berniat untuk mendapatkan pahala dan ilmu, kita juga niatkan untuk berobat. Misalnya, jika kita memiliki kolesterol tinggi, asam urat, atau penyakit lainnya, cobalah mengobati diri dengan membaca Al-Qur’an.
Ingatlah bahwa Al-Qur’an adalah hudan wa syifa’ (petunjuk dan penyembuh). Ketika kita atau anak kita sakit, seperti demam, cobalah terlebih dahulu membacakan Al-Qur’an sebelum mencoba obat lain. Jika kita yakin dengan firman Allah bahwa Al-Qur’an adalah penyembuh, jangan langsung memberikan obat seperti parasetamol. Bacakan terlebih dahulu surat Al-Fatihah.
Al-Fatihah memiliki dalil khusus sebagai obat yang sangat mujarab, terutama untuk demam (huma). Sebelum menggunakan obat lain, rukyahkan diri sendiri atau anak dengan membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah). Syukur-syukur bisa ditambah dengan ayat-ayat Al-Qur’an lainnya. Jika kita tidak terbiasa melakukannya, hal ini dapat mencerminkan kurangnya keyakinan kita terhadap firman Allah bahwa Al-Qur’an adalah syifa’.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Walladzina la yu’minuna fi adzanihim waqrun wahuwa ‘alaihim ‘ama.” (Dan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada sumbatan, dan Al-Qur’an itu menjadi kegelapan bagi mereka).
Mereka seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh. Ayat ini menggambarkan metode pendidikan melalui permisalan (darb al-amtsal), yaitu menyampaikan pesan dengan membuat perumpamaan. Allah memberikan perumpamaan tentang orang-orang yang tidak mau beriman kepada Al-Qur’an. Mereka seperti orang yang telinganya tersumbat sehingga tidak mendengar, atau seperti orang buta yang tidak dapat melihat apa-apa.
Allah juga menambahkan permisalan lain: ulaika yunaduna min makanin ba’id (mereka itu seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh). Bagaimana jika kita dipanggil dari kejauhan? Tentu sulit mendengar, apalagi jika suasana ramai. Hal ini menunjukkan ketidakjelasan pesan yang diterima oleh mereka.
Menurut Imam Al-Baghawi, mereka tidak mendengar dan tidak memahami, seperti orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh. Mereka memiliki manfaat yang sangat sedikit dari apa yang diajarkan kepada mereka. Bahkan, ini bukan hanya berlaku bagi orang kafir saja, tetapi juga bagi siapa saja yang memiliki sedikit manfaat dari Al-Qur’an. Mereka tidak tercerahkan oleh Al-Qur’an dan enggan mengambil petunjuk darinya.
Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Baghawi, intifa’ bimayu’adun bih (sedikitnya manfaat yang mereka peroleh) membuat mereka seperti dipanggil dari tempat yang jauh, sehingga mendengar hanya samar-samar. Na’udzubillah, semoga kita tidak termasuk golongan tersebut. Kita akhiri dengan doa penutup majelis: Subhanakallahumma wabihamdika, ashadu an la ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik. Semoga bermanfaat.