اِنَّ الَّذِيْنَ يُلْحِدُوْنَ فِيْٓ اٰيٰتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَاۗ اَفَمَنْ يُّلْقٰى فِى النَّارِ خَيْرٌ اَمْ مَّنْ يَّأْتِيْٓ اٰمِنًا يَّوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗاِعْمَلُوْا مَا شِئْتُمْ ۙاِنَّهٗ بِمَا تَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari tanda-tanda (kebesaran) Kami, (mereka) tidak tersembunyi dari Kami. Apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka itu lebih baik ataukah yang datang pada hari Kiamat dengan aman sentosa? Lakukanlah apa yang kamu kehendaki! Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
“Innalladzina yulhiduna fi ayatina la yakhfauna ‘alaina”
(Sesungguhnya orang-orang yang ilhad terhadap ayat-ayat Kami tidak tersembunyi dari Kami). Penegasan ini menunjukkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui dan Maha Menyaksikan. Tidak ada yang tersembunyi sedikit pun dari pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala, termasuk perbuatan orang-orang yang ilhad, yaitu mereka yang mengingkari, menyangkal, meragukan, atau bahkan mentahrif (merubah makna) ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyimpangkan kandungan maknanya.
Allah menegaskan: “La yakhfauna ‘alaina” (Mereka tidak tersembunyi dari Kami). Allah tetap menyaksikan mereka dengan kekuasaan-Nya. Lalu, muncul pertanyaan retoris dalam ayat tersebut:
“Afaman yulqo finnaari khairun amman ya’ti aminan yaumal qiyamah?”
(Apakah orang yang dilemparkan ke dalam neraka karena ilhadnya itu lebih baik daripada yang datang pada hari kiamat dengan aman?).
Kemudian Allah berfirman: “Ikmalu ma syi’tum” (Lakukanlah sesuka kalian), sebuah penegasan bahwa Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan. Kata-kata ini merupakan bentuk tahdid (ancaman) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
“Idza lam tastahi fasna’ ma syi’ta” (Jika engkau tidak memiliki rasa malu, maka lakukanlah sesukamu).
Ungkapan ini dalam bahasa sehari-hari bisa diartikan seperti seorang ayah yang menegur anaknya dengan berkata, “Terserah kamu.” Namun, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyatakan hal ini, konsekuensinya jauh lebih berat. Ini bukan sekadar ekspresi kekecewaan, tetapi sebuah ancaman serius.
Allah berfirman: “Innallaha bima ta’maluna bashir” (Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan). Ini menegaskan bahwa apapun yang dilakukan manusia, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, semuanya dalam pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Penting bagi setiap hamba Allah untuk memiliki muraqabatullah (kesadaran bahwa dirinya selalu diawasi oleh Allah). Keyakinan bahwa Allah itu Al-Bashir (Maha Melihat) atas apa yang dilakukannya, menjadi tameng yang menjaga seseorang dari perbuatan dosa.
Meski manusia atau keluarganya tidak menyaksikan apa yang dia perbuat, atau atasan dan bawahannya tidak mengetahuinya, jika dia memiliki muraqabatullah, maka dia akan terjaga kapanpun dan di mana pun. Inilah bentuk ketakwaan tertinggi, yaitu takwallah fis sirri wal ‘alaniyah (takut kepada Allah dalam kesendirian maupun dalam keramaian). Jika seseorang mampu mencapai level ini, maka ketakwaannya telah sempurna. Ditegaskan dalam sebuah nasihat: “La taj’alullah ahwanan nadzirina ilaik” (Janganlah kalian meremehkan pandangan Allah). Sebuah syair juga menyebutkan:
“Utamakan pandangan Allah daripada pandangan manusia.”
Seringkali manusia merasa diawasi oleh manusia dan bersikap jaim (jaga image) di hadapan mereka, tetapi saat sendiri, dia melanggar larangan Allah. Ini adalah bentuk ketidakpedulian terhadap pengawasan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzubillah.
Allah memperingatkan dalam firman-Nya: “Ikmalu ma syi’tum, innahu bima ta’maluna bashir” (Lakukanlah sesukamu, sesungguhnya Dia Maha Melihat terhadap apa yang kalian kerjakan).
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menyinggung orang-orang yang ilhad terhadap ayat-ayat-Nya, Dia kemudian berbicara tentang orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an secara keseluruhan:
“Innalladzina kafaru bidzikri lamma ja’ahum” (Sesungguhnya orang-orang yang kufur terhadap peringatan ketika ia datang kepada mereka).
Al-Qur’an adalah kitab suci yang mulia, sebagaimana ditegaskan dalam ayat:
“Wa innahu la kitabun ‘aziz” (Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia).
Menurut tafsir Ibnu Katsir dalam Tafsirul Qur’anil Adzim, yang dimaksud dengan adz-dzikr (peringatan) dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an. Ini karena salah satu nama lain dari Al-Qur’an adalah adz-dzikr. Nama-nama lain dari Al-Qur’an meliputi: An-Nur (cahaya), Al-Furqan (pembeda antara yang haq dan yang batil), Asy-Syifa (obat), Al-Huda (petunjuk), dan nama-nama lainnya.
Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak zikir kepada Allah, baik melalui lafzul jalalah maupun Asmaul Husna-Nya. Dengan memahami dan mengamalkan kandungannya, seorang mukmin akan mendapatkan petunjuk yang sempurna dan kehidupan yang penuh keberkahan.
Apa itu berulang kali? Ya, seringkali disebut dalam Al-Qur’anul Karim. Maka, ketika kita membaca Al-Qur’an, pada hakikatnya kita sedang berzikir, yaitu mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena ayat-ayat Al-Qur’an itu berisi deskripsi tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Setiap penjelasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menyebut nama-Nya, baik dalam bentuk lafdzul jalalah maupun Asmaul Husna-Nya.
Al-Qur’an di sisi lain juga merupakan pelajaran yang harus diambil hikmahnya oleh orang-orang yang beriman. Dalam firman Allah disebutkan:
“Wa innahu la kitabun ‘aziz” (Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia).
Ibnu Katsir menjelaskan, makna ‘aziz dalam ayat tersebut adalah la yuraamu ay ya’tiya ahadun bimitlih, yaitu tidak ada seorang pun yang mampu mendatangkan sesuatu yang sebanding dengan Al-Qur’an. Kewibawaan dan kemuliaan Al-Qur’an tidak dapat ditandingi. Jika ada yang mampu menirunya, maka Al-Qur’an tidak lagi memiliki keistimewaan. Namun, kenyataannya, tidak ada satu pun yang mampu mendatangkan kitab yang serupa dengannya.
Menurut Imam Al-Qurtubi, adz-dzikr di dalam ayat ini mengandung makna bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat pelajaran dan hukum-hukum yang dibutuhkan oleh manusia. Namun, ada hal menarik yang disampaikan oleh Al-Qurtubi terkait struktur kalimat ayat ini:
“Innalladzina kafaru bidzikri lamma jaahum wa innahu la kitabun ‘aziz”
(Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika ia datang kepada mereka, dan sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah kitab yang mulia).
Jika diperhatikan, ayat ini seolah memiliki struktur yang kurang lengkap. Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa khabar (keterangan) pada kalimat ini bersifat mahzuf (dihilangkan), karena maknanya sudah sangat jelas. Menurut beliau, takdir (pelengkap) kalimat ini adalah: “Innalladzina kafaru bidzikri lamma jaahum halikun atau mu’addzabun” (Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari Al-Qur’an ketika ia datang kepada mereka adalah orang-orang yang binasa atau akan diazab).
Ketika Allah menyebut Al-Qur’an sebagai kitabun ‘aziz (kitab yang mulia), para ulama memberikan beberapa penafsiran. Selain apa yang disampaikan oleh Ibnu Katsir, Imam As-Sa’di menjelaskan bahwa makna ‘aziz adalah mani’un min ay yarhamu ahadun bihi (terjaga dari upaya siapapun untuk mengubah atau mencampuri isinya).
Pada masa sepeninggal Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, pernah muncul nabi-nabi palsu seperti Musailamah Al-Kadzab yang mencoba menandingi Al-Qur’an. Mereka membuat-buat ayat dengan gaya bahasa menyerupai Al-Qur’an, namun tetap tidak sebanding. Sebagai contoh, mereka menciptakan surah tentang gajah dengan bunyi:
“Al-fil, anfuhu thawil” (Gajah, hidungnya panjang).
Hal ini menunjukkan kelas Al-Qur’an yang jauh lebih tinggi dibandingkan ciptaan manusia. Sehebat apapun kemampuan seni, sastra, atau puisi manusia, tidak ada yang mampu menandingi kalam Allah.
Anehnya, di zaman sekarang, masih ada ulama, mubaligh, atau pendidik yang tidak menjadikan kalamullah sebagai pusat dari dakwahnya. Sebaliknya, mereka lebih mengandalkan kutipan dari manusia, entah itu profesor, filsuf, atau tokoh lainnya, yang meskipun bijak, tidak akan pernah bisa menandingi kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Oleh karena itu, bagi kita yang berdakwah, menjadi pendidik, atau menyampaikan risalah Islam, jangan pernah lepas dari Al-Qur’an. Kehormatan (izzah) dalam dakwah dan taklim kita hanya bisa diraih jika kita menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangan utama. Al-Qur’an adalah sumber kebijaksanaan dan petunjuk yang tidak tertandingi.
Apapun kehebatan kita, sepintar apapun kita, secanggih apapun teknologi yang kita gunakan, dan semenakjubkan apapun retorika yang kita miliki, semua itu tidak memiliki izzah (kemuliaan) ketika kita berlepas dari kitabun ‘aziz (kitab yang mulia). Ini sangat penting, karena di dalam ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala terdapat izzah yang agung.
Imam As-Sa’di menjelaskan bahwa salah satu makna aziz adalah mani’un min ayyuharrifahu ahadun, yaitu terjaga, tertahan, dan terhalangi dari siapapun yang ingin mengubah ayat-ayat Al-Qur’an atau yang berniat mendatangkan keburukan terhadapnya. Ini karena Al-Qur’an adalah kalamullah (firman Allah).
Khusus untuk Al-Qur’an, Allah memberikan keistimewaan berupa penjagaan yang mutlak. Berbeda dengan kitab-kitab suci sebelumnya seperti Injil, Taurat, dan Zabur, yang telah mengalami perubahan atau tahrif, Al-Qur’an dijaga langsung oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya:
“Inna nahnu nazzalna az-zikra wa inna lahu lahafizhun” (Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami pula yang akan menjaganya).
Dalam ayat ini, Allah menggunakan dua penekanan (taukid): inna dan lahu lahafizhun, yang menunjukkan bahwa penjagaan ini bersifat mutlak dan pasti. Al-Qur’an adalah kitab yang absolut dalam kebenaran, keaslian, dan keotentikannya. Sudah lebih dari 1.400 tahun, Al-Qur’an tetap terjaga dalam keaslian dan keotentikannya. Jika ada kesalahan cetak dari penerbit, akan ada banyak orang yang mengingatkan. Bahkan musuh-musuh Allah yang mencoba mengubah satu atau dua ayat Al-Qur’an, pasti akan diketahui. Hal ini karena Al-Qur’an sampai kepada kita melalui jalan mutawatir, yang berarti disampaikan oleh banyak orang dari generasi ke generasi, sehingga mustahil ada perubahan. Allah juga memudahkan umat manusia untuk menghafal Al-Qur’an. Ribuan, bahkan jutaan manusia, termasuk anak-anak kecil yang tidak memahami bahasa Arab, mampu menghafalnya. Ini adalah bagian dari penjagaan Allah terhadap kitab-Nya. Di antara makna aziz adalah bahwa Al-Qur’an tidak dapat diubah. Jika ada yang mencoba mengubah ayat Al-Qur’an, usaha tersebut akan langsung diketahui, karena Al-Qur’an banyak terpatri dalam dada para huffadzul Qur’an (penghafal Al-Qur’an). Para penghafal ini adalah orang-orang yang Allah pilih untuk menjaga kitab-Nya.
Allah berfirman:
“La ya’tihil batilu min baini yadaihi wa la min khalfihi” (Tidak akan datang kepadanya kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang).
Al-Imam Al-Baghawi menukil beberapa pendapat salafus saleh tentang makna kebatilan (al-batil). Salah satu pendapat menyebutkan bahwa al-batil di sini adalah setan. Setan tidak mampu mendekati Al-Qur’an, baik untuk menambahkan, mengurangi, maupun mengubahnya.
Ketika Al-Qur’an diturunkan, setan berusaha menyentuhnya atau mengganggunya, namun Allah mengusir mereka dengan panah-panah api. Ini sesuai dengan makna ayat lain:
“La yamassuhu illa al-muthaharun” (Tidak ada yang menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan).
Ayat ini memiliki beberapa makna:
Menurut pendapat ulama di Indonesia, muthaharun berarti orang-orang yang bersuci. Karena itu, mushaf Al-Qur’an tidak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci dari hadas besar maupun kecil.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menafsirkan bahwa muthaharun adalah hati yang bersih. Hanya hati yang bersih yang dapat merasakan, memahami, dan menikmati makna Al-Qur’an.
Tafsir lain menyebutkan bahwa ayat ini relevan saat nuzulul Qur’an (proses turunnya Al-Qur’an). Tidak ada yang bisa menyentuh Al-Qur’an kecuali para malaikat yang membawanya, seperti Malaikat Jibril yang menurunkannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Setan dan iblis tahu bahwa Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi petunjuk bagi manusia. Mereka berusaha menghalangi misi Al-Qur’an karena kitab ini dapat menghambat rencana mereka untuk menyesatkan manusia. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjaga kitab-Nya dengan sempurna, menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman yang tetap suci hingga akhir zaman.
Di saat Iblis telah berjanji di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Pasti aku akan sesatkan mereka”, tidak akan ada yang tersesat selama mereka berpegang teguh kepada al-huda (petunjuk), yaitu Al-Qur’anul Karim. Karena itu, Iblis berusaha untuk menyentuh, mengurangi, atau menambahkan sesuatu dari ayat-ayat Al-Qur’an. Namun, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“La ya’tihil batilu min baini yadaihi wa la min khalfihi” (Tidak akan datang kebatilan kepada Al-Qur’an, baik dari depan maupun dari belakang).
Makna pertama dijelaskan oleh Az-Zujaj, bahwa ayat ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an terjaga dari upaya pengurangan atau penambahan. Al-Qur’an ini tidak akan pernah bisa dikurangi atau ditambahi. Makna ini mirip dengan penjelasan sebelumnya tentang makna Aziz yang dijelaskan oleh As-Sa’di, yaitu bahwa Al-Qur’an tidak bisa diselewengkan atau dirusak.
Adapun makna kedua, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Baghawi, al-batil dalam ayat ini merujuk kepada setan. Setan tidak dapat mendekati Al-Qur’an untuk menambahkan, mengurangi, atau merusaknya.
Makna lainnya yang dijelaskan oleh Muqatil adalah bahwa al-batil berarti pendustaan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, baik oleh kitab-kitab terdahulu maupun oleh kitab-kitab yang datang setelahnya. Kitab-kitab Allah sebelumnya, seperti Injil dan Zabur, justru mengisyaratkan kedatangan Nabi terakhir dan mengkonfirmasi kebenaran Al-Qur’an. Tidak ada kitab lain setelah Al-Qur’an yang dapat membatalkan, meratifikasi, atau mengubah isinya.
Allah menutup ayat ini dengan firman-Nya: “Tanzilun min hakimin hamid” (Al-Qur’an diturunkan oleh Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji).
As-Sa’di memberikan penjelasan yang luar biasa tentang keistimewaan Al-Qur’anul Karim, yang diturunkan oleh Dzat Yang Maha Hakim dan Maha Hamid. Allah Maha Bijaksana dalam penciptaan dan perintah-Nya, menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.
Hikmah (kebijaksanaan) bermakna wada’u asy-syai’ fi mahallihi, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hikmah tidak berarti lemah atau loyo. Orang yang bijaksana tahu kapan harus bersikap lembut dan kapan harus bersikap tegas. Waktunya lembut, ia lembut. Waktunya keras, ia keras. Waktunya melawan, ia melawan. Waktunya mengalah demi kemaslahatan, ia mengalah.
Sayangnya, sering kali makna hikmah mengalami distorsi. Ada anggapan bahwa sikap bijaksana adalah sikap pasif, diam, atau menerima segala sesuatu tanpa tindakan. Padahal, hikmah adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya.
Contoh hikmah dapat dilihat pada sikap Abu Bakar Ash-Shiddiq. Beliau dikenal sebagai sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang sangat lembut hatinya. Namun, saat dibutuhkan keberanian, beliau menunjukkan sikap tegas dan bijaksana. Misalnya:
Peristiwa Isra’ Mi’raj: Ketika banyak orang mendustakan Rasulullah, Abu Bakar dengan tegas membenarkan Rasulullah hingga mendapat gelar Ash-Shiddiq.
Hijrah Rasulullah: Abu Bakar menemani Rasulullah dalam hijrah dan melibatkan keluarganya dalam misi mulia tersebut.
Ketika Rasulullah Wafat: Banyak sahabat tidak percaya Rasulullah telah wafat, termasuk Umar bin Khattab. Abu Bakar dengan tegas menyampaikan:
“Barang siapa menyembah Muhammad, ketahuilah bahwa Muhammad telah wafat. Namun, barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan pernah mati.”
Beliau juga membacakan ayat Al-Qur’an yang menyadarkan para sahabat.
Memerangi Kaum Murtad: Setelah Rasulullah wafat, Abu Bakar memerangi kaum yang murtad (qitalul murtaddin) dan yang menolak membayar zakat, meskipun Umar bin Khattab awalnya tidak setuju. Dengan tegas Abu Bakar menjawab: “Apakah engkau pemberani di masa jahiliah, namun pengecut di masa Islam?”
Al-Qur’an adalah kitab yang penuh dengan hikmah dan kemuliaan. Ia diturunkan untuk menjadi petunjuk hidup yang memberikan izzah (kemuliaan) kepada siapa saja yang berpegang teguh padanya. Sebagai umat Islam, kita seharusnya menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam kehidupan, pendidikan, dan dakwah kita.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang senantiasa menjaga dan mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.