Oleh:Dr. Hakimuddin Salim Lc., M.A.
وَلَوْ جَعَلْنٰهُ قُرْاٰنًا اَعْجَمِيًّا لَّقَالُوْا لَوْلَا فُصِّلَتْ اٰيٰتُهٗ ۗ ءَاَ۬عْجَمِيٌّ وَّعَرَبِيٌّ ۗ قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ
Seandainya Kami menjadikannya (Al-Qur’an) bacaan dalam bahasa selain Arab, niscaya mereka akan mengatakan, “Mengapa ayat-ayatnya tidak dijelaskan (dengan bahasa yang kami pahami)?” Apakah patut (Al-Qur’an) dalam bahasa selain bahasa Arab, sedangkan (rasul adalah) orang Arab? Katakanlah (Nabi Muhammad), “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman, sedangkan orang-orang yang tidak beriman, pada telinga mereka ada penyumbat dan mereka buta terhadapnya (Al-Qur’an).673) Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”( Fussilat ayat 44)
Pada pekan yang lalu, kita telah menjelaskan bagaimana orang-orang kafir mengolok-olok Rasulullah ﷺ dan para mad’u (obyek dakwah) beliau. Di antara mereka adalah Yasar, seorang budak dari Jabir al-Hadrami. Yasar adalah seorang a’jami, yaitu non-Arab, atau menurut sebagian mufasir, seorang Yahudi. Hal ini menunjukkan adanya rasisme pada masa itu di kalangan masyarakat Arab terhadap orang non-Arab.
Ketika Rasulullah ﷺ berdakwah kepada Yasar, orang-orang Quraisy mengejeknya. Mereka mempertanyakan, “Mengapa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab? Mengapa tidak dalam bahasa lain, mengingat yang didakwahi adalah seorang a’jami?” Pertanyaan ini bukanlah bentuk rasa ingin tahu yang tulus, tetapi lebih sebagai bentuk cemoohan terhadap Rasulullah ﷺ.
Allah ﷻ menjawab ejekan mereka melalui firman-Nya dalam Surah Fussilat ayat 44. Ayat tersebut menegaskan bahwa jika Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa selain Arab, mereka tetap akan mencemooh dengan mengatakan, “Mengapa tidak dijelaskan kepada kami dalam bahasa yang kami pahami?”
Sikap ini menunjukkan bahwa orang-orang kafir yang menolak kebenaran sebenarnya tidak peduli dengan bagaimana kebenaran itu disampaikan. Mereka hanya mencari alasan untuk menolak dan terus berada dalam keingkaran. Sebagaimana sifat orang-orang yang memang tidak mau beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, apa pun yang dilakukan untuk menjelaskan kebenaran kepada mereka akan selalu mereka olok-olok dan tolak.
Dalam Surah Fussilat ayat 44, terdapat bacaan khusus yang dikenal dengan istilah tashil. Bacaan ini menjadi unik karena hanya ditemukan dalam ayat tersebut, tidak ada dalam ayat lain di seluruh Al-Qur’an.
Pada kata “a’jamiyyun” (non-Arab), biasanya dibaca dengan tegas “a a’jamiyyun”. Namun, dalam bacaan tashil, Hamzah yang kedua dibaca dengan cara yang lebih ringan atau samar, menjadi “aa’jamiyyun”.
Cara melafalkan Hamzah yang musahala ini adalah pertengahan antara alif dan hamzah, sehingga terdengar seperti “Aa” bukan “A A”. Contohnya: Bacaan biasa: “a a’jamiyyun”, Bacaan tashil: “aa’jamiyyun”
Bacaan tashil ini menunjukkan kekhasan dan keindahan Al-Qur’an, serta menjadi salah satu tanda mukjizat bahasa Al-Qur’an. Mushaf Al-Qur’an biasanya menandai bacaan ini dengan catatan di bawah teksnya untuk memudahkan pembaca memahami cara bacanya.
Allah ﷻ tidak menjawab ejekan orang kafir Quraisy dengan memberikan penjelasan teknis tentang alasan Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Sebaliknya, Allah mengalihkan perhatian mereka kepada fungsi utama Al-Qur’an, yaitu sebagai petunjuk (huda) dan penyembuh (syifa’) bagi orang-orang beriman.
Pendekatan ini dalam ilmu balaghah disebut sebagai uslubul hakim, yaitu cara menjawab pertanyaan atau permasalahan dengan mengarahkan fokus kepada hal yang lebih penting dan relevan.
Sebagai contoh, dalam Surah Al-Baqarah ayat 189, Allah ﷻ menjawab pertanyaan tentang hilal (bulan sabit). Orang-orang bertanya kepada Rasulullah ﷺ tentang apa itu hilal. Namun, Allah tidak menjawab dengan definisi teknis tentang hilal, melainkan langsung menjelaskan fungsinya sebagai penanda waktu dan musim haji:
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah, itu adalah penunjuk waktu bagi manusia dan bagi ibadah haji.”
Jawaban seperti ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hal yang lebih penting dari definisi atau detail teknis adalah manfaat dan hikmah dari suatu hal.
Pendekatan uslubul hakim dapat kita terapkan dalam mendidik anak-anak, berdakwah, atau memberikan jawaban atas pertanyaan jamaah.
Kadang, ada pertanyaan yang tidak relevan atau kurang penting, baik dari anak-anak di rumah, siswa di kelas, maupun jamaah dalam pengajian. Sebagai pendidik atau da’i, kita tetap menjawab pertanyaan tersebut untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka. Namun, kita juga menambahkan penjelasan yang lebih bermanfaat dan relevan untuk kehidupan mereka.
Misalnya, jika anak bertanya sesuatu yang remeh, kita dapat menjawab pertanyaan tersebut sambil memberikan nilai-nilai yang lebih penting. Begitu pula dalam dakwah, seorang muballigh dapat memanfaatkan pertanyaan jamaah untuk menyampaikan hikmah yang lebih luas.
Al-Qur’an disebut sebagai petunjuk (huda) dan penyembuh (syifa’). Namun, fungsi ini hanya dapat dirasakan jika kita memahami isi kandungannya. Membaca Al-Qur’an tanpa memahami maknanya ibarat memiliki buku petunjuk tetapi tidak pernah digunakan.
Sebagai umat Islam, kita harus berusaha mempelajari tafsir Al-Qur’an, menghayati isinya, dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, Al-Qur’an benar-benar menjadi petunjuk yang memberikan arah dan penyembuh bagi hati yang gelisah.
Ketika kita memiliki buku manual atau buku panduan, tetapi kita tidak memahami isi kandungan di dalamnya, maka meskipun dibaca berulang kali, manfaatnya tidak akan maksimal. Misalnya, jika buku manual itu ditulis dalam bahasa Prancis—yang notabene menggunakan huruf Latin seperti huruf kita—kita mungkin bisa membaca huruf-hurufnya, tetapi jika tidak memahami maknanya, apakah kita dapat mengambil manfaat atau petunjuk dari buku tersebut? Tentu saja tidak. Sebab, kita tidak berusaha memahaminya, bahkan mungkin enggan membuka kamus bahasa Prancis untuk mengetahui artinya.
Begitu pula dengan Al-Qur’an. Jika kita ingin menjadikannya sebagai petunjuk, maka kita harus memahaminya, mentadabburinya, membuka terjemahannya, atau bahkan lebih baik lagi jika kita mempelajari bahasa Arab untuk memahami mufradat-mufradatnya. Kita juga perlu merujuk kepada tafsir para ulama, atau setidaknya membaca terjemahan Al-Qur’an. Dengan begitu, kita bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Kalau hanya membaca Al-Qur’an secara berulang-ulang tanpa memahami maknanya, maka manfaatnya sebagai petunjuk tidak akan terasa. Memang benar, membaca Al-Qur’an mendatangkan pahala yang besar, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ: “Barang siapa membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu pahala, dan satu pahala dilipatgandakan menjadi sepuluh.” Namun, tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an bukanlah sekadar untuk dibaca atau dihafal saja.
Menghafal Al-Qur’an memang memiliki keutamaan yang luar biasa. Namun, sekali lagi, tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an adalah agar dijadikan sebagai huda (petunjuk). Jika hanya membaca atau menghafalnya tanpa memahami dan mengamalkan isinya, maka Al-Qur’an tidak bisa menjadi petunjuk hidup kita.
Tujuan Membaca Al-Qur’an
Ada beberapa tujuan yang seharusnya kita hadirkan dalam membaca Al-Qur’an:
- Tilawah untuk Memahami dan Mengamalkan Ilmu
Membaca Al-Qur’an dengan tujuan memahami isi kandungannya agar kita mendapatkan ilmu darinya, kemudian mengamalkannya. Misalnya, seperti membaca buku resep masakan. Buku resep itu tidak sekadar dibaca sambil rebahan hingga tamat, melainkan harus dibawa ke dapur untuk dipraktikkan. Demikian pula dengan Al-Qur’an; membacanya bukan hanya untuk memperoleh pahala, tetapi juga untuk dipahami dan diamalkan. - Tilawah untuk Munajat dan Mendekatkan Diri kepada Allah
Membaca Al-Qur’an dengan tujuan bermunajat dan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ. Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah yang menjadi sarana bagi hamba-Nya untuk merasakan kedekatan dengan-Nya. Dengan membaca Al-Qur’an, seolah-olah kita mendengar Allah berbicara langsung kepada kita. - Tilawah untuk Mengobati Hati dan Tubuh
Membaca Al-Qur’an juga bisa menjadi sarana penyembuhan. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam As-Sa’di, Al-Qur’an adalah syifa’ lil asqam al-qalbiyyah wal asqam al-badaniyyah (penyembuh bagi penyakit hati dan penyakit fisik).
Jika kita atau keluarga sedang sakit, sebelum menggunakan obat-obatan, kita dapat mencoba meruqyah dengan membacakan Al-Fatihah. Banyak riwayat sahih yang menyebutkan keutamaan Al-Fatihah sebagai obat, khususnya untuk penyakit demam. Maka, membaca Al-Qur’an dengan niat sebagai penyembuh adalah salah satu bentuk pengamalan keyakinan kita terhadap Al-Qur’an.
Allah ﷻ menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa ada orang-orang yang enggan menerima kebenaran Al-Qur’an. Dalam telinga mereka seolah-olah ada sumbatan, sehingga mereka tidak mampu mendengar dan memahami petunjuk yang disampaikan. Allah memberikan permisalan bahwa mereka seperti orang yang dipanggil dari tempat yang jauh; suara panggilan itu terdengar, tetapi tidak bisa mereka tangkap maknanya.
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan: “Walaqad ataina”, dan sungguh telah Kami berikan “Musa”, kepada Nabi Musa, “Alkitab”, kitab suci. Kitab suci Nabi Musa adalah Taurat. Taurat itu “ukhtulifa”, yakni diperselisihkan. Penjelasan dari Al-Imam Al-Baghawi adalah “wa uktulifa”, maksudnya ada yang membenarkannya, yakni para pengikut Nabi Musa yang membenarkan apa yang Allah berikan kepada Nabi Musa dari kitab suci, yaitu Taurat. Ada yang membenarkannya dan mengimaninya, tetapi ada pula yang mendustakannya.
Sebagaimana kaummu, wahai Muhammad, juga ada yang mengimaninya, ada yang mengkufurinya, ada yang membenarkannya, dan ada yang mendustakannya. Ini menarik. Apa yang dikatakan oleh Al-Imam Al-Qurtubi bahwa “wahua tasliatun lin nabi shallallahu ‘alaihi wasallam”, ini adalah bentuk hiburan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
“La yahzunka ikhtilafuhum fi kitabik”, jangan membuat engkau bersedih atas perselisihan kaummu terhadap kitabmu, yaitu Al-Qur’an. Kaummu ada yang mau beriman, tetapi banyak yang mengkufuri. Ada yang membenarkan, tetapi ada juga yang mendustakan. Jangan membuat engkau bersedih. “Faqad ikhtalafa min qoblihim fi kitabihim”, sungguh, dahulu para Nabi dan Rasul terdahulu juga mengalami hal serupa. Kaum-kaum mereka berselisih; ada yang mengimani, ada yang mengkufuri; ada yang membenarkan, ada yang mendustakan.
Menurut Al-Imam Al-Qurtubi, ini adalah cara Allah untuk menghibur Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika Al-Qur’an yang diturunkan kepadamu dan yang engkau dakwahkan ada yang mengimani, ada yang mengkufuri, ada yang membenarkan, ada yang mendustakan, maka ketahuilah bahwa Nabi Musa juga mengalami hal serupa. Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa juga demikian: ada yang mengimani, ada yang mengkufuri, ada yang membenarkan, dan ada yang mendustakan.
“Walaula kalimatun sabaqat mir rabbika laqudhiya bainahum.” Sekiranya tidak ada keputusan yang terdahulu dari Rabb-mu, maka pasti mereka sudah dibinasakan. Al-Imam Al-Baghawi menjelaskan bahwa “kalimatun sabaqat mir rabbika” adalah keputusan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu ketetapan untuk menunda azab bagi orang-orang yang mendustakan Al-Qur’an.
Umat-umat terdahulu yang mendustakan kitab suci langsung diazab oleh Allah. Namun, berbeda dengan umat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Allah telah menetapkan untuk menunda azab bagi mereka meskipun mendustakan Al-Qur’an. Ketetapan ini adalah bentuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Selain itu, ini juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertobat, serta memberikan peluang kepada para pendakwah untuk terus mengajak mereka kepada kebenaran.
“Wa innahum lafi syakim minhu murib.” Dan sesungguhnya mereka benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam terhadap Al-Qur’an. Murib adalah keraguan yang sangat parah, “syadidusy syak.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala melanjutkan: “Man ‘amila shalihan falinafsih, wa man asaa fa’alaiha.” Barang siapa berbuat kebajikan, maka kebajikan itu untuk dirinya sendiri. Dan barang siapa berbuat keburukan, maka keburukan itu akan kembali kepada dirinya sendiri. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa manfaat dari kebaikan yang dilakukan akan kembali kepada dirinya. Sebaliknya, jika seseorang berbuat buruk, keburukan itu akan kembali kepada dirinya pula.
Kita seringkali ragu untuk berbuat kebaikan, seperti salat, puasa, atau mengeluarkan zakat. Namun, jika kita ingat bahwa kebaikan yang dilakukan itu kembali untuk diri sendiri, maka tidak ada alasan untuk malas melakukannya. Allah tidak memerlukan kebaikan dari kita, sebagaimana Dia tidak dirugikan oleh kemaksiatan kita. Segala kebaikan yang kita lakukan, baik dalam bentuk ibadah maupun amal saleh lainnya, pada akhirnya adalah untuk kepentingan kita sendiri.
Sebagai contoh, dalam hal zakat, infak, atau sedekah, mungkin ada rasa berat atau eman-eman. Namun, perlu diingat bahwa “Man ‘amila shalihan falinafsih.” Segala bentuk kebaikan, baik zakat, infak, maupun sedekah, akan kembali manfaatnya kepada diri kita sendiri. Bahkan, harta yang kita infakkan di jalan Allah itulah yang sejatinya menjadi milik kita yang abadi.
terutama nanti di akhirat. Jika hal ini kita yakini, maka tidak akan ada orang miskin di dunia ini, tidak akan ada fakir di dunia ini, karena orang akan berlomba-lomba mengeluarkan zakat, berlomba-lomba untuk infak, sedekah, dan wakaf. Sebab, mereka sadar bahwa apapun yang mereka keluarkan adalah untuk diri mereka sendiri.
Manusia itu pada dasarnya dilahirkan dalam keadaan memiliki sifat syuh, sifat bakhil atau kikir. Maka ayatnya menyebutkan:
“Barang siapa yang terjaga dari kebakhilan dirinya…”
Tabiat manusia itu egois, memikirkan diri sendiri. Namun, orang yang betul-betul memikirkan dirinya sendiri, yang egois untuk dirinya sendiri, harus memahami ayat ini. Jadi, orang yang berzakat, berinfak, dan bersedekah sebenarnya adalah orang yang egois untuk dirinya sendiri, demi kebaikan dirinya di dunia dan akhirat.
Tidak apa-apa egois, tidak apa-apa ada sifat syuh, tetapi semua itu dalam kerangka keyakinan bahwa:
Man amila shihan faalifsiih“
Barang siapa yang melakukan kebaikan, maka kebaikan itu untuk dirinya sendiri.”
Jangan dikira orang-orang yang giat bersedekah atau berinfak tidak memikirkan diri mereka sendiri. Justru mungkin mereka adalah orang yang paling memikirkan dirinya sendiri dengan cara yang visioner, bukan temporer. Mereka memikirkan, “Bagaimana nanti aku di akhirat? Bagaimana kondisiku di Mahsyar, di hisab, di Mizan, dan di sirat?” Mereka mempersiapkan semua itu untuk diri mereka sendiri.
Sebaliknya, orang-orang yang kufur, orang-orang yang enggan beribadah, keburukan itu kembali kepada dirinya sendiri. Begitu juga orang yang bakhil, yang menahan zakatnya, tidak memberikan pertolongan kepada orang lain, atau bahkan orang-orang yang mengumbar kalimat buruk kepada sesama, seperti menuduh, memfitnah, dan mencemooh. Keburukan-keburukan itu pada dasarnya kembali kepada diri mereka sendiri.
Ikhwah fillah, arsyadakumullah, jika kita meyakini hal ini, maka kita akan berpikir dua kali sebelum berbuat buruk, karena keburukan itu akan kembali kepada diri kita sendiri. Sebaliknya, jika kita diperlakukan buruk oleh orang lain, keyakinan terhadap ayat ini membuat kita lebih santai. Misalnya, ketika ada yang melakukan pembunuhan karakter, menuduh, atau memfitnah, kita tetap tenang. Semua keburukan itu akan kembali kepada pelakunya sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Justru orang-orang yang seperti itu kelak akan menjadi orang yang muflis, orang yang rugi. Mereka harus membayar semua yang telah mereka lakukan. Maka, ini adalah golden way, jalan emas bagi kita untuk hidup bahagia.
Allah subhanahu wa ta’ala tidaklah menzalimi hamba-Nya. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat:
“Dan tidaklah Tuhanmu menzalimi hamba-hamba-Nya.”
Penjelasan para ulama sangat jelas di sini. Allah tidak akan menghukum atau mengazab seorang hamba kecuali karena dosa yang diperbuatnya. Bahkan, Allah tidak akan mengazab seorang pun tanpa terlebih dahulu menegakkan hujjah, yakni memberikan peringatan, mengutus seorang rasul, dan menjelaskan kebenaran kepada mereka.
Ini adalah bentuk keadilan Allah subhanahu wa ta’ala, yang tidak mungkin menzalimi hamba-hamba-Nya. Hal ini bisa kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan pernah berbuat zalim kepada sesama.
Allah saja, yang dalam tanda kutip berhak menzalimi ciptaan-Nya, tidak melakukan itu. Apalagi kita, sesama manusia yang tidak memiliki hak menciptakan satu sama lain. Jika kita harus membalas, balaslah dengan yang setimpal, jangan melebihi batas. Jika mampu memaafkan, itu lebih baik dan lebih dekat kepada takwa.
Dalam mendidik anak pun demikian. Jangan langsung memberikan hukuman tanpa adanya peringatan. Tempuh dulu langkah-langkah seperti iqamatul hujjah, mengingatkan dengan lemah lembut, memberikan nasihat, atau dialog. Jika semua langkah ini telah dilakukan namun tetap melanggar, barulah memberikan hukuman yang mendidik, bukan menyakiti.
Ini adalah contoh bagaimana Allah mendidik hamba-Nya dengan rahmat dan keadilan. Mudah-mudahan kita bisa meneladani sikap ini dalam kehidupan kita.
Kita akhiri dengan kafaratul majelis:
Subhanakallahumma wabihamdika, asyhadu an la ilaha illa anta, astaghfiruka wa atubu ilaik.