Oleh: K.H. Fathurrahman Kamal, Lc., M.S.I. (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah)
Dakwah sejatinya adalah seruan utama bil qalbi (dengan hikmah, mahabbah, dan rahmah) yang melebihi porsi lisan, bahkan akal sekalipun. Seruan qalbu terwujud nyata dalam lisanul hal, sebab ia merupakan fakta yang bertutur, bukan sekadar uraian naratif yang rentan terhadap kepura-puraan, ambiguitas, bahkan dusta. Karena itu, seni berkata-kata dalam Al-Qur’an berdimensi sakral, dengan ragam sifat dan diksi bermakna seperti: qawlan layyinan (perkataan yang lemah lembut), balighan (efektif, tepat, dan berjejak di hati), ‘azhiman (berimplikasi dosa besar), tsaqilan (sakral dan penuh makna), sadidan (tegas, jujur, berintegritas), ma’rufan (baik), maysuran (mudah dicerna, empatik), dan kariman (mulia).
Dengan demikian, bahasa bukan sekadar alat komunikasi. Pilihan diksi dan kata mengandung makna, paradigma berpikir, dan konsep yang berhubungan erat dengan sikap, tindakan, serta perilaku dalam kehidupan. Wajar bila Islam memberi batasan yang sangat tegas dalam aktivitas komunikasi, bahkan menjadikannya indikator keimanan paripurna kepada Allah Ta’ala dan Hari Akhir, yaitu “berkata baik” atau “diam saja!” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam bercanda dengan kata-kata, termasuk melawak, Islam memberi rambu-rambu yang sangat jelas: menjaga kebenaran substansial, menjauhi dusta, tidak dijadikan kebiasaan, dan semata-mata untuk menyegarkan suasana dalam koridor yang dibolehkan agama. Selain itu, bercanda tidak boleh membangkitkan emosi berlebihan atau menebar ancaman, tidak mengandung celaan yang merendahkan martabat orang lain, harus empati terhadap posisi atau status sosial lawan bicara, tidak mengandung ghibah, serta memperhatikan waktu, situasi, dan kondisi.
Saat ini, kita berada di tengah arus deras disrupsi sosial yang sangat radikal, termasuk dalam persoalan keagamaan. Salah satu problem serius yang dihadapi adalah hegemoni budaya sensasi (sensing culture) yang tak lagi terkontrol, baik secara individu maupun sosial.
Budaya baru yang serba visual dan artifisial menjebak kita. Dalam narasi Al-Qur’an, kondisi ini disebut: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat.” (QS. Ar-Rum: 7). Terlarut dalam budaya serba-artifisial dan sensasional merupakan manifestasi rapuhnya spiritualitas (loss of soul), sekaligus memperkuat paradoks kemanusiaan kita.
Dalam konteks sensing culture, masyarakat terjebak dalam sensasi tanpa alasan dan hampa tujuan. Dunia materi, fasilitas, dan keindahan visual menumpulkan kemampuan berpikir jernih dan mendalam. Akibatnya, seseorang tak lagi mampu membedakan manfaat dari mudarat, atau baik dari buruk. Hilangnya daya nalar mengakibatkan hilangnya empati terhadap penderitaan dan kehancuran martabat orang lain, hingga nilai-nilai kemanusiaan yang autentik pun lenyap. Bagi penyintas sensing culture, kenyamanan dan sensasi pribadi menjadi prioritas, tanpa peduli penderitaan orang lain.
Jika tidak mawas diri, langkah berikutnya adalah kerusakan inti spiritual sebagai energi hakiki kemanusiaan. Penyintas budaya ini cenderung berlaku tidak manusiawi (dehumanisasi).
Oleh karena itu, penting bagi para dai dan muballigh, termasuk pembicara publik, untuk selalu mawas diri, menjaga lisan, serta merawat jiwa (sensing, reasoning, empathy, dan spirituality) agar tetap manusiawi dalam bertutur kata, bersikap, dan memperlakukan mitra dakwah. Dai harus merasakan bahwa orang yang didakwahi adalah bagian dari dirinya sendiri, bukan entitas asing. Inilah makna dari karakteristik kenabian yang perlu diteladani di era disrupsi: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah: 128).
Para dai dan muballigh perlu merawat stamina ruhiyah dengan tazkiyatun nafs (muhasabah dan pensucian jiwa). Spiritualitas yang dihadirkan bukan sekadar berorientasi pada spiritual happiness yang artifisial, tetapi pada bangunan ruhani yang holistik—mencerdaskan akal, mendamaikan batin, serta membugarkan raga.
Mari kita arus-utamakan pendekatan dakwah berbasis hikmah dalam makna konkret bil mahabbah war rahmah. Mulailah dengan menjaga lisan dan bertutur yang positif.
Wallahu a’lam bish-shawab.