Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
۞ اِلَيْهِ يُرَدُّ عِلْمُ السَّاعَةِ ۗوَمَا تَخْرُجُ مِنْ ثَمَرٰتٍ مِّنْ اَكْمَامِهَا وَمَا تَحْمِلُ مِنْ اُنْثٰى وَلَا تَضَعُ اِلَّا بِعِلْمِهٖ ۗوَيَوْمَ يُنَادِيْهِمْ اَيْنَ شُرَكَاۤءِيْۙ قَالُوْٓا اٰذَنّٰكَ مَا مِنَّا مِنْ شَهِيْدٍ ۚ وَضَلَّ عَنْهُمْ مَّا كَانُوْا يَدْعُوْنَ مِنْ قَبْلُ وَظَنُّوْا مَا لَهُمْ مِّنْ مَّحِيْصٍ
Hanya kepada-Nya pengetahuan tentang hari Kiamat itu dikembalikan.674) Tidak ada sama sekali buah-buahan yang keluar dari kelopaknya dan tidak seorang perempuan pun yang mengandung dan melahirkan, melainkan semuanya dengan sepengetahuan-Nya. Pada hari ketika Dia (Allah) menyeru mereka, “Di manakah sekutu-sekutu-Ku itu?”675) Mereka menjawab, “Kami menyatakan kepada-Mu bahwa tidak ada seorang pun di antara kami yang dapat memberi kesaksian (bahwa Engkau mempunyai sekutu).” Hanya Allahlah yang mengetahui kapan datangnya hari Kiamat itu. Yang dimaksud dengan sekutu-sekutu-Ku adalah berhala-berhala yang mereka anggap sebagai sekutu Allah. Lenyaplah dari mereka apa yang dahulu selalu mereka sembah dan mereka pun mengetahui bahwa tidak ada tempat untuk menghindar (dari azab Allah) bagi mereka.
Pada ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan, “Ilaihi yuraddu ilmus sa’ah”, yang berarti: Kepada-Nya dikembalikan ilmu tentang hari Kiamat. Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa pengetahuan tentang hari Kiamat hanya ada pada-Nya.
Para ulama, di antaranya Ibnu Katsir rahimahullah, menjelaskan makna “La ya’lamuha ahadun siwahu”, yaitu tidak ada yang mengetahui tentang hari Kiamat kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang merupakan Sayyidul Basyar (manusia paling mulia) sekaligus Khatamul Anbiya wal Mursalin (penutup para nabi dan rasul). Ketika beliau bertanya kepada Jibril ‘Alaihissalam, yang merupakan Sayyidul Malaikah (pemimpin para malaikat), tentang hari Kiamat, Jibril menjawab, “Maal mas’ul ‘anha bi a’lama minas sa’il”, yang artinya: Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.
Hal ini menegaskan bahwa bahkan makhluk semulia Jibril, yang merupakan malaikat paling senior dan perantara wahyu, tidak mengetahui kapan hari Kiamat akan terjadi. Semua ilmu itu hanya ada pada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pengetahuan tentang hari Kiamat, yang tidak diberikan kepada makhluk, memiliki hikmah besar. Di antaranya adalah agar manusia senantiasa beramal tanpa bergantung pada waktu tertentu. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang kapan terjadinya Kiamat, beliau tidak memberikan jawaban pasti, melainkan hanya menyebutkan isyarat-isyarat. Salah satu isyarat tersebut adalah bahwa Kiamat akan terjadi pada hari Jumat. Namun, Jumat yang mana tidak diketahui. Setiap pekan ada hari Jumat, tetapi kapan persisnya hanya Allah yang mengetahui.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga menyebutkan tanda-tanda Kiamat, atau Alamatus Sa’ah, yang terbagi menjadi tanda-tanda kecil (Asratus Sa’ah As-Sughra) dan tanda-tanda besar (Asratus Sa’ah Al-Kubra). Tanda-tanda kecil, misalnya, adalah semakin terasa sempitnya waktu (Taqorubuz Zaman), banyaknya gempa bumi (Kathratuz Zilzal), dan maraknya zina (Kathratuz Zina). Tanda-tanda ini semakin sering terlihat di zaman ini.
Adapun tanda-tanda besar, di antaranya adalah munculnya Imam Mahdi, turunnya Nabi Isa ‘Alaihissalam, dan terbitnya matahari dari barat. Namun, meskipun tanda-tanda ini telah disebutkan, manusia tetap tidak dapat memastikan kapan persisnya Kiamat akan terjadi.
Beberapa peristiwa seperti kemunculan Pasukan Panji Hitam sering menjadi bahan polemik. Sebagian pihak mengaitkan pasukan ini dengan kelompok tertentu, tetapi hal itu tidak dapat dipastikan. Isyarat-isyarat yang ada tetap harus ditafsirkan dengan hati-hati.
Hikmah dari ketidaktahuan waktu Kiamat adalah agar manusia terus beramal dan tidak bersikap santai. Jika waktu Kiamat sudah diketahui secara pasti, misalnya ditentukan pada tahun tertentu, manusia cenderung menunda amal dengan dalih masih ada waktu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Seandainya besok terjadi hari Kiamat, dan di tanganmu ada benih kurma, maka tanamlah.” Meskipun tampaknya tidak ada manfaat karena Kiamat sudah dekat, hal ini menunjukkan bahwa manusia tetap harus beramal tanpa memikirkan apakah Kiamat akan terjadi besok, lusa, atau ribuan tahun lagi.
Sebagai Muslim, penting untuk senantiasa mempersiapkan diri dengan amal shalih, memperbanyak ibadah, dan tidak pernah merasa aman dari kedekatan hari Kiamat. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah mengingatkan bahwa Kiamat itu dekat. “Innahum yarawnahu ba’ida wa narahu qariba,” artinya: Mereka melihatnya jauh, tetapi Kami melihatnya dekat.
Isyarat-isyarat itu penting untuk mengingatkan kita, memberikan tazkirah bahwa Kiamat semakin dekat. Hal ini mendorong kita untuk semakin bersiap-siap dan lebih semangat lagi dalam beramal, bukan membuat kita loyo atau putus asa. Isyarat-isyarat tanda-tanda tersebut penting sebagai kompas dan peta bagi kita dalam berjuang, berdasarkan nubuat-nubuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang akhir zaman.
Perjuangan itu harus memiliki peta dan kompas. Di antara kompas perjuangan kita, selain Al-Qur’an dan As-Sunnah, adalah nubuwat-nubuwat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang akhir zaman. Namun, kita tidak boleh terburu-buru mengklaim, misalnya, “Oh, Kiamat sebentar lagi,” atau, “Yang dimaksud Pasukan Panji Hitam itu adalah kelompokku,” sementara kelompok lain tidak termasuk karena panjinya berwarna kuning, hijau, atau oranye. Sikap seperti itu tidak penting.
Ikhwah, fah arsyadakumullah, yang perlu kita pahami adalah adanya hikmah besar dari dijadikannya ilmu tentang Kiamat sebagai misteri yang hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala ketahui. Bahkan, Ibnu Katsir rahimahullah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertanya kepada Malaikat Jibril ‘Alaihissalam tentang Kiamat. Jibril menjawab, “Mal mas’ul ‘anha bi a’lama minas sa’il.” Artinya: Yang ditanya tidak lebih mengetahui daripada yang bertanya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan kebesaran ilmu-Nya dengan firman-Nya:
“Dan tidak ada buah-buahan yang keluar dari kelopaknya, dan tidak seorang perempuan pun yang mengandung atau melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya.”
Di sini, sebagian ulama mengartikan “perempuan” secara spesifik sebagai manusia, sedangkan ulama lainnya memahaminya lebih luas mencakup semua makhluk betina, termasuk hewan-hewan. Setiap kehamilan dan kelahiran hanya terjadi dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagai contoh, jika kita menanam bunga, apakah kita tahu kapan tepatnya bunga itu keluar dari kelopaknya? Meskipun bunga itu kita tanam sendiri, pengetahuan kita sangat terbatas. Kita hanya tahu secara umum, misalnya, “Kemarin belum keluar, sekarang sudah mekar.” Detail waktu, seperti jam, menit, atau detiknya, hanya Allah yang mengetahuinya. Bahkan jika kita menggunakan kamera untuk memantau proses tersebut, tetap saja kita harus mencermati dengan sangat teliti untuk mengetahui momen pastinya. Semua itu menunjukkan betapa luasnya ilmu Allah dan betapa terbatasnya pengetahuan manusia.
Begitu pula dengan kehamilan, baik manusia maupun hewan. Sebelum ada teknologi seperti USG, orang hanya bisa menduga jenis kelamin bayi. Dulu, dukun beranak sering mencoba meraba atau memperkirakan jenis kelamin bayi, tetapi hasilnya tidak pasti. Bahkan dengan teknologi modern seperti USG, hasilnya bisa meleset. Ada kasus, misalnya, seorang teman yang berdasarkan USG diprediksi akan memiliki bayi perempuan. Segala perlengkapan bayi, seperti pakaian berwarna merah muda, boneka, dan popok bergambar bunga, sudah disiapkan. Namun, ketika lahir, ternyata bayi tersebut laki-laki.
Artinya, meskipun ada alat bantu teknologi, pengetahuan kita tetap terbatas dan bisa salah. Ilmu yang benar-benar pasti hanyalah ilmu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua yang terjadi, baik proses keluarnya buah, kehamilan, atau kelahiran, terjadi dengan izin dan kekuasaan-Nya. Ini menunjukkan betapa Maha Mengetahui Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebaliknya, betapa bodohnya kita sebagai manusia.
Marilah kita memahami bahwa hikmah dari misteri waktu Kiamat adalah untuk mendorong kita terus beramal dan tidak terlalu sibuk memikirkan kapan persisnya Kiamat akan terjadi. Hal ini juga mengajarkan kita untuk selalu bergantung pada Allah Subhanahu wa Ta’ala, Sang Pemilik segala ilmu.
Dan pada hari ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggil mereka: “Di manakah sekutu-sekutu itu?”
Allah Maha Mengetahui apa yang akan terjadi dan apa yang akan dialami oleh orang-orang musyrik. Bahwasanya nanti, di akhirat, orang-orang musyrik itu akan menjawab pertanyaan Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala bertanya kepada mereka:
“Aina syuraka’i? Di manakah sekutu-sekutu itu? Sekutu-sekutu yang kalian buat dulu di dunia? Engkau menyekutukan Aku dengan Lata, engkau menyekutukan Aku dengan Uzza, engkau menyekutukan Aku dengan pohon ini, pohon itu, punden ini, punden itu, thaghut ini, thaghut itu. Wahai para musyrikun, kalian menyembah mereka dan meninggalkan ibadah kepada-Ku.”
Kemudian orang-orang musyrik itu menjawab: “Qalu: Adzannaka ma minna min syahid,”
yang berarti: “Kami menyatakan kepada-Mu, wahai Rabb kami, bahwa tidak ada seorang pun dari kami yang dapat memberikan kesaksian tentang mereka.”
Menurut para mufasir, adzannaka bisa juga dibaca a’annaka atau a’mannaka. Maksudnya, mereka mengakui bahwa keyakinan mereka itu adalah keyakinan yang salah. Mereka mengakui kebatilan ketuhanan sekutu-sekutu tersebut dan persekutuan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dalam kondisi ini, orang-orang musyrik berkata: “Faqulna an qad rojana ila butlani ‘ibadatiha wa tabar’na minha,” yang berarti:
“Kami telah kembali kepada kebenaran dan mengakui kebatilan penyembahan kepada mereka. Kami juga berlepas diri dari mereka.” Ibnu Katsir menjelaskan tentang ayat wadhal lahum ma kanu yada’una min qablu,
yaitu bahwa sekutu-sekutu mereka, thaghut-thaghut mereka, pemimpin-pemimpin mereka, dan semua yang mereka taati di dunia telah lenyap. Sekutu-sekutu itu tidak memberikan manfaat apapun, tidak mampu melindungi, dan tidak bisa membela mereka dari azab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka yang dulu menyembah berhala, punden, dan sesembahan selain Allah di dunia, kini sadar bahwa semua itu tidak ada artinya. Dalam tafsir Al-Baghawi, kata ma yada’una diartikan sebagai ma ya’buduna, yaitu apa-apa yang mereka sembah dulu. Doa kepada selain Allah adalah bentuk syirik, karena doa adalah inti dari ibadah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Ad-du’a mukkhul ibadah.” “Doa adalah inti dari ibadah.”
Maka, jika ada seorang muslim yang masih berdoa kepada pohon, punden, penunggu, atau makhluk lainnya, ia telah menyekutukan Allah. Sebaliknya, seorang hamba yang senantiasa meminta dan berdoa kepada Allah menunjukkan kesempurnaan ubudiyahnya (penghambaan).
Para salafus shalih memberikan teladan tentang betapa pentingnya doa. Dalam segala urusan, kecil maupun besar, mereka selalu meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala terlebih dahulu sebelum berikhtiar. Ketika garam habis di dapur, mereka tidak langsung pergi membeli atau meminjam ke tetangga. Sebelum itu, mereka berdoa kepada Allah.
Ketika sandal mereka putus, mereka tidak langsung menjahit atau membeli yang baru. Mereka berdoa kepada Allah terlebih dahulu. Ini menunjukkan bahwa mereka memahami segala sesuatu berasal dari Allah, termasuk urusan kecil seperti garam atau sandal.
Sebaliknya, jika seseorang tidak merasa perlu berdoa kepada Allah, baik dalam perkara besar maupun kecil, maka penghambaan (ubudiyah)-nya kepada Allah menjadi tidak sempurna. Perasaan butuh kepada Allah (iftikar ilallah) adalah salah satu amalan hati (a’malul qulub) yang sangat tinggi nilainya.
Di akhirat kelak, orang-orang musyrik itu menyadari bahwa sesembahan mereka tidak lagi dapat memberikan manfaat. Segala harapan mereka telah sirna. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat wadhalla ‘anhum ma kanu yada’una min qablu, menunjukkan bahwa berhala-berhala, thaghut-thaghut, dan pemimpin-pemimpin mereka lenyap begitu saja.
Dalam tafsir Al-Baghawi, mahis diartikan sebagai mahrab, yaitu tempat untuk kabur. Mereka menyadari bahwa tidak ada tempat untuk melarikan diri dari azab Allah. Semua yang mereka andalkan di dunia telah hilang dan tidak bisa memberikan perlindungan.
Orang-orang musyrik yang dulunya menyekutukan Allah kini tidak memiliki jalan keluar dari azab-Nya. Maka, sebagai seorang muslim, penting bagi kita untuk selalu memohon dan bergantung kepada Allah dalam segala urusan, baik kecil maupun besar. Berdoa kepada Allah adalah bentuk penghambaan yang sempurna, sedangkan tidak berdoa menunjukkan lemahnya rasa butuh kepada-Nya.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita hamba-hamba yang senantiasa berdoa dan menjauhi perbuatan syirik. Wallahu a’lam bish-shawab.