Foto: RRI.co.id
YOGYAKARTA – Dalam Pengajian Malam Selasa bertema “Jangan Biarkan Politik Uang Berkembang” yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Aula Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, 9 Desember 2024, Dr. Muhsin Hariyanto, M.Ag., menyampaikan kajian mendalam tentang fenomena politik uang atau money politics. Menurut beliau, meskipun Al-Qur’an tidak secara tegas menyebut istilah risywah (suap), banyak ayat yang mengisyaratkan bahwa praktik tersebut adalah tindakan tercela dan bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Dr. Muhsin menjelaskan, praktik politik uang sulit diberantas karena melibatkan banyak pihak, termasuk mereka yang bertindak sebagai makelar. Dalam kajian politik, fenomena ini sering dihubungkan dengan patronase dan klientelisme. Patron merujuk pada individu atau kelompok yang memanfaatkan kekuasaannya untuk memengaruhi orang lain, sedangkan klientelisme melibatkan imbal balik, seperti janji jabatan atau keuntungan finansial. “Janji-janji ini, seperti pengangkatan komisaris atau posisi tertentu, membuat banyak orang tergiur, terutama yang mengincar keuntungan duniawi,” ujarnya.
Fenomena ini tidak hanya terjadi dalam dunia politik praktis, tetapi juga meluas ke berbagai bidang seperti bisnis, pendidikan, hingga hubungan sosial budaya. Menurut Dr. Muhsin, praktik suap sering kali dilakukan melalui perantara atau makelar. Istilah seperti “makelar politik” dan “Markus” (makelar kasus) menggambarkan fenomena ini. “Praktik-praktik semacam ini sudah lama terjadi dan sulit diberantas karena sering melibatkan hubungan ‘tahu sama tahu’ antara pelaku,” jelasnya.
Lebih jauh, Dr. Muhsin menyoroti bagaimana praktik politik uang berkaitan dengan manipulasi yang sering muncul dalam dunia politik. Ia mencontohkan bagaimana fenomena pencitraan politik yang dibalut dengan gimmick sering digunakan untuk menarik simpati publik. Namun, beliau mengingatkan bahwa politik dalam Islam tidak selalu buruk. Rasulullah Muhammad SAW sendiri menunjukkan bahwa politik dapat menjadi alat untuk mencapai kebaikan, seperti dalam peristiwa Fathu Makkah yang merupakan kemenangan politik berbasis diplomasi unggul melalui Perjanjian Hudaibiyah.
Diplomasi yang Rasulullah contohkan, menurut Dr. Muhsin, seharusnya menjadi rujukan bagi para pemimpin saat ini. Sayangnya, tidak semua tokoh agama atau masyarakat menggunakan pengaruh mereka untuk kebaikan. Sebagian justru dimanfaatkan untuk kepentingan politik tertentu. Bahkan, nama-nama besar yang telah wafat pun sering digunakan untuk menarik simpati melalui cara yang manipulatif, seperti memajang foto-foto bersama.
Fenomena politik uang sering kali berlangsung secara halus dan sulit dilacak. Dr. Muhsin menekankan bahwa lembaga seperti Bawaslu seharusnya memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi praktik ini. Namun, dalam kenyataannya, kasus-kasus politik uang jarang diungkap meskipun menjadi rahasia umum. “Apa yang terlihat tidak ada, belum tentu benar-benar tidak ada. Sebaliknya, apa yang terlihat ada, bisa jadi sebenarnya tidak ada. Semua ini dibalut dengan kepura-puraan politik,” ungkapnya.
Dr. Muhsin mengingatkan bahwa politik uang bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga moral dan etika. Praktik ini tidak hanya merusak tatanan sosial, tetapi juga menciptakan pemimpin yang tidak layak. Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin haruslah amanah dan memiliki kompetensi. Jika urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, Rasulullah SAW bersabda, “Tunggulah saat kehancurannya.” Dengan demikian, melawan politik uang berarti menjaga integritas, keadilan, dan amanah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
