web stats
Home » GOOD GOVERNANCE PERSPEKTIF AL-QURAN

GOOD GOVERNANCE PERSPEKTIF AL-QURAN

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Fahmi Salim, Lc., M.A.

Pertanyaan sering muncul: Apakah ada pemerintahan dalam Islam? Jika ada, seperti apa bentuknya? Mengapa Islam harus mengatur pemerintahan?

Jawabannya adalah, Islam membawa aturan dan ajaran yang sempurna, universal, dan komprehensif. Islam tidak hanya mengatur urusan agama, tetapi juga mengatur urusan dunia. Dengan demikian, Islam membawa sebuah konsep peradaban yang utuh, salah satunya adalah al-hukm (pemerintahan).

Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda dalam hadis sahih:

لَا تَنْقُضُنَّ عُرَىٰ الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً

Artinya, Islam memiliki simpul-simpul yang akan terurai satu demi satu di akhir zaman.

Istilah urwah ini merujuk pada ikatan yang kuat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, yakni al-urwatul wutsqa (ikatan yang kokoh).

Namun, di akhir zaman, simpul-simpul Islam ini akan terlepas. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mewanti-wanti bahwa aspek ajaran Islam yang pertama kali akan rusak adalah al-hukm (pemerintahan). Simpul terakhir yang akan rusak adalah shalat. Hal ini menegaskan pentingnya kedudukan pemerintahan dalam Islam.

Dalam kitab Sirah Nabawiyah, Al-Allamah Prof. Dr. Muhammad Said Ramadan Al-Buthi menggambarkan Islam sebagai tubuh manusia. Kepala dari tubuh ini adalah pemerintahan, sedangkan shalat adalah tiang agama. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

“As-shalatu ‘imaduddin.”

Artinya, shalat adalah tiang agama. Jika tiang ini runtuh, maka seluruh bangunan akan ikut runtuh. Pembangunan pondasi yang kuat adalah pekerjaan yang paling utama dalam mendirikan sebuah bangunan, baik itu rumah, masjid, ataupun gedung pencakar langit. Begitu pula dengan agama Islam. Jika pondasinya, yaitu shalat, dikerjakan asal-asalan, maka bangunan Islam tidak akan kokoh.

Pondasi yang kuat akan memungkinkan bangunan-bangunan lain berdiri dengan baik. Ada pintu, tembok, atap, jendela, dan sistem lainnya yang mendukung agar bangunan layak dihuni. Demikian juga dengan agama Islam. Shalat adalah pondasi, sementara hukum dan pemerintahan adalah kepala yang mengatur segala urusan dunia dan akhirat.

Islam adalah agama yang sempurna dan komprehensif, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari hal terkecil hingga urusan pemerintahan. Oleh karena itu, marilah kita berupaya menjaga simpul-simpul Islam agar tidak terlepas, dimulai dari shalat sebagai tiang agama hingga hukum sebagai kepala yang mengatur peradaban.

Oktober kemarin, presiden baru dilantik. Kemudian, pada November kemarin, tepatnya tanggal 2, ada pemilihan kepala daerah. Umat muslim ini harus terus diingatkan, jangan hanya sibuk ribut urusan pilih-memilih. Siapa yang dipilih? Koalisi apa yang dipilih? Calonnya siapa? Memang sosok itu penting, tetapi jika tidak masuk ke substansinya, kita hanya akan mendapatkan kulit-kulitnya saja dari siklus lima tahunan ini.

Beberapa di antara mereka yang menjadi pemimpin atau kepala pemerintahan yang sukses tentu memiliki konsep yang jelas. Al-Qur’an menyebutkan konsep ini ketika menyebut nama Nabi Adam, yaitu: “Inni ja’ilun fil ardhi khalifah” (Aku jadikan manusia di atas muka bumi ini sebagai khalifah). Ketika menyebut Nabi Ibrahim Alaihis Salam, Allah berfirman: “Inni ja’iluka linnaasi imaama” (Aku jadikan kamu, wahai Ibrahim, sebagai pemimpin bagi seluruh manusia).

Dalam surat Al-Furqan di halaman terakhir, doa yang diajarkan oleh Allah melalui sifat ‘ibadurrahman adalah sebagai berikut: “Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” Doa ini sangat penting. Tidak cukup hanya memohon agar anak-anak dan pasangan hidup kita menjadi penyejuk hati, tetapi juga harus berdoa agar mereka menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.

Ketika menikah, semangat awal mungkin hanya sekadar ingin menjaga kemaluan (hifzhul furuj) atau menyalurkan hasrat seksual dengan cara yang halal. Ini tentu benar, namun salah satu maqashid syariah yang sering dilupakan adalah membangun kepemimpinan. Mengapa di negara-negara mayoritas muslim, dari Indonesia hingga Maroko, yang memimpin justru kebanyakan adalah orang-orang fasik, sekuler, atau yang jauh dari agama? Bahkan jika pemimpinnya baik, tetap saja pengamalan ajaran agamanya tidak tampak. Ini terjadi karena umat Islam sering kali tidak mendidik generasi mudanya dengan konsep kepemimpinan.

Inilah kelemahan kita. Ketika membangun rumah tangga, kita tidak mempersiapkan generasi pemimpin. Tujuan pernikahan sering kali hanya berhenti pada sekadar bersenang-senang, menyalurkan hasrat seksual, atau melanjutkan keturunan. Tidak ada kaderisasi kepemimpinan di dalamnya.

Coba lihat kalangan kiri. Jika kita amati politik nasional di Indonesia, partai-partai dominan dari pusat hingga daerah berasal dari kalangan dengan ideologi kiri. Partai terbesar dan partai kedua terbesar pun memiliki ideologi yang serupa, meskipun ada sedikit embel-embel religius. Sayangnya, religiusitas itu hanya sebatas slogan. Substansi keagamaan yang ditegakkan tidak menyentuh esensinya.

Ini kelemahan kita sebagai umat Islam. Banyak yang memahami konsep kehidupan dan pernikahan tanpa didasari ilmu yang cukup. Saya tidak mengatakan tidak berilmu, tetapi kita kurang memperdalam pemahaman agama. Maka dari itu, penting bagi kita untuk terus belajar dan meningkatkan kapasitas diri.

Ironisnya, banyak majelis-majelis taklim atau tabligh akbar yang isinya hanya sekadar hiburan. Majelis yang diharapkan memberikan ketenangan dan keteladanan justru berubah menjadi panggung hiburan. Ada yang mengisinya dengan canda tawa atau guyonan yang tidak mendidik, mirip seperti stand-up comedy. Lebih baik menjadi pelawak saja jika itu tujuannya. Sebab, jika berdakwah, ada etika dan tanggung jawab moral yang harus dijaga.

Selain itu, kelemahan umat Islam adalah suka ribut. Perbedaan kecil sering kali membuat umat ini saling berpecah belah. Sementara itu, kalangan sekuler dan kiri justru solid. Mereka fokus pada penggarapan pemilih dan rakyat, sehingga mereka bisa merebut kekuasaan. Umat Islam seharusnya lebih cerdas dalam hal ini. Rebut kekuasaan terlebih dahulu, baru ribut belakangan. Jika pun ada perbedaan, jangan sampai memecah belah persatuan umat. Inilah yang menjadi mukadimah.

Apa saja prinsip pemerintahan yang baik dalam Islam? Dalam terminologi Islam, prinsip ini sering disebut arrasyidun, yaitu Khulafaur Rasyidun, para khalifah yang baik, lurus, terbimbing, dan melaksanakan perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala serta tegak lurus dalam ajaran agama Islam. Inilah yang disebut al-hukmur rasyid. Bagaimana kita menegakkan pemerintahan yang baik? Apa syaratnya dalam Islam?

Dalam Islam, syarat utama pemerintahan yang baik adalah adanya al-adalah atau keadilan. Keadilan ini adalah prinsip utama dalam pemerintahan. Seorang ulama besar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pernah menyatakan: Innallaha yansuru ad-daulah al-adilah wa in kanat kafirah—Allah akan menolong pemerintahan yang adil meskipun pemimpinnya orang kafir. Jika suatu negara mayoritas penduduknya kafir, tetapi pemimpinnya adil, maka Allah akan menolong negara tersebut. Keadilan akan melahirkan kesejahteraan, kemakmuran, tertib hukum, tertib sosial, dan ekonomi yang baik. Korupsi bisa diminimalkan bahkan dihapuskan. Sistem pemerintahan akan berjalan dengan baik, meskipun bukan negara Islam. Mengapa? Karena mereka menegakkan keadilan.

Keadilan adalah prinsip yang universal. Tidak hanya orang Islam yang bisa berlaku adil, tetapi orang kafir pun bisa berlaku adil. Contoh dalam sejarah adalah Raja Najasyi, seorang raja yang dipuji oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beliau memberikan perlindungan politik kepada para sahabat yang berhijrah pertama kali sebelum ke Madinah. Nabi menyebut Raja Najasyi sebagai raja yang adil, yang tidak akan melanggar hak-hak orang lemah. Dari sini Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menetapkan patokan bahwa keadilan adalah asas pemerintahan. Kata Ibnu Taimiyah, Allah pasti akan menolong, memuliakan, dan memajukan negara serta pemerintahan yang menegakkan keadilan, meskipun pemimpinnya orang kafir.

Kemudian, syarat berikutnya adalah iman. Beriman itu penting, seorang pemimpin harus beriman. Namun, keimanan saja tidak cukup jika tidak diiringi dengan keadilan. Banyak pemimpin mengaku beriman, beragama Islam, tetapi tidak adil. Mereka tidak menerjemahkan keimanan tersebut dalam bentuk keadilan, ketertiban hukum, menjauhi korupsi, dan sebagainya. Akibatnya, pemimpin seperti ini hanya saleh secara ritual, tetapi tidak saleh secara sosial dan kepemimpinan. Kepemimpinan yang saleh adalah kepemimpinan yang adil.

Al-Qur’an memerintahkan kita untuk berlaku adil. Dalam salah satu ayat-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Inna Allaha ya’murukum an tu-addul amanati ila ahliha wa idza hakamtum baynan nasi an tahkumu bil ‘adl—Sungguh, Allah memerintahkan kamu untuk menunaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Ayat ini ditujukan kepada para pemimpin agar mereka berlaku adil ketika memerintah.

Keadilan ini harus diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti keadilan sosial dan keadilan ekonomi. Semakin kita menghayati dan mengamalkan ajaran Al-Qur’an, maka kita akan menjadi saleh, tidak hanya secara spiritual tetapi juga secara duniawi. Seorang muslim tidak boleh hanya saleh untuk akhirat saja, tetapi juga harus saleh di dunia. Oleh karena itu, kita selalu memohon kebaikan dunia dan akhirat dalam doa: Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah wa qina adzabannar—Ya Allah, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat.

Kebaikan di dunia mencakup kemakmuran, kesejahteraan, keadilan sosial, dan keadilan ekonomi. Hal ini membutuhkan undang-undang yang adil untuk menegakkan kebenaran dan keseimbangan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an: Kunu qawwamina lillahi syuhadaa bil qisth—Jadilah kamu penegak kebenaran karena Allah, menjadi saksi yang adil.

Penegakan kebenaran ini tidak hanya dengan melaksanakan salat, puasa, zakat, haji, dan umrah, tetapi juga dengan menjadi penegak aturan yang benar. Penegak aturan ini adalah para penyelenggara negara, aparat hukum, dan masyarakat yang aktif memperbaiki bangsa dan negara. Dalam ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: Wa kadzalika ja’alnakum ummatan wasatha—Dan demikianlah Kami jadikan kamu sebagai umat yang adil dan pilihan (wasath).

Surah Al-Baqarah ayat 143 ini membahas tentang keutamaan umat Islam. Ayat ini terletak tepat di tengah-tengah Al-Baqarah, yang berjumlah 286 ayat. Setengah dari jumlah tersebut adalah 143. Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut umat Islam sebagai umat terbaik yang memiliki kewajiban menjadi saksi, penegak aturan, dan penyelenggara negara. Inilah yang menjadi keistimewaan umat Islam. Sebagai umat pilihan, kita harus aktif berperan dalam memperbaiki bangsa dan negara dengan menegakkan keadilan di semua lini kehidupan.

Kenapa kebaikan Islam itu tidak bisa dilihat sempurna hanya dengan melihat banyaknya masjid? Kadang kita melihat sebuah negeri yang muslim, lalu berpikir negeri ini baik karena banyak masjid, orang-orang rajin salat, jemaah salat Jumatnya penuh. Namun, kebaikan Islam itu tidak hanya sebatas itu. Kebaikan Islam akan tampak ketika muncul dalam etalase besar yang bernama negara.

Jangan tertipu, apakah Indonesia ini baik? Jika kita lihat dari sudut pandang Human Development Index atau indeks pembangunan manusia dan indeks korupsi, apakah kita sudah baik? Betul, Indonesia memiliki ratusan ribu masjid dan musala, Islamic Center ada di mana-mana. Bahkan, setiap pemilu, gubernur, wali kota, dan bupati kerap berlomba-lomba menyumbang dan memanfaatkan simbol-simbol Islam. Namun, itu semua belum mencerminkan umat Islam sebagai syuhada.

Kata syuhada adalah bagaimana menjadikan umat Islam ini sebagai umat terbaik, umat yang paling adil, umat yang menegakkan aturan-aturan Allah di muka bumi sesuai dengan nilai-nilai wahyu. Maka, untuk mencapai itu, umat Islam harus menjadi penyelenggara negara. Tidak bisa tidak. Ajaran Islam harus diterapkan dalam sistem, praktik, dan aturan-aturan bernegara. Hanya dengan demikian kita bisa menjadi umatan wasatan yang disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah ﷺ dan Khulafaur Rasyidin telah mempraktikkan hal ini. Mereka bukan hanya ahli ibadah, tetapi juga penyelenggara negara yang menegakkan nilai-nilai Allah. Rasulullah ﷺ adalah contoh terbaik, wa kaana rasulu ‘alaikum syahida—Rasulullah adalah saksi yang menjadi teladan bagi kita.

Maka, jika kita ingin melihat praktik bernegara yang benar, lihatlah Rasulullah ﷺ. Jangan menilai suatu negeri hanya karena simbol-simbol Islam seperti banyaknya masjid atau simbol agama lain yang kasat mata. Misalnya, jika kita melihat daftar negara dengan indeks pembangunan manusia atau indeks kebahagiaan tertinggi, apakah ada negara Islam di dalamnya? Tidak ada. Jika kita lihat indeks korupsi dunia, apakah ada negara Islam dalam daftar 10 besar yang terendah? Tidak ada. Ini adalah dosa kolektif kita. Ada ajaran Islam yang belum kita laksanakan dan selenggarakan, yakni menjadikan negara berdasarkan nilai-nilai wahyu Allah.

Banyak orang yang memanfaatkan Islam sebagai kedok. Menjelang pemilu, isu agama sering kali dimainkan. Jika lawannya non-muslim, barulah dipakai isu pemimpin harus muslim. Benar, syarat pemimpin harus muslim, tetapi jika muslim tersebut tidak amanah, tidak memiliki prestasi, atau tidak membawa kemajuan, maka umat akan membandingkan dengan non-muslim yang memiliki prestasi lebih baik. Ini realitas, ini fakta. Jangan sampai agama kita tercemar karena kita tidak menjadikan diri kita penegak kebenaran dan saksi yang bertindak adil.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 247, Allah menceritakan tentang pemimpin Bani Israil, Thalut. Thalut direkomendasikan Allah sebagai pemimpin meskipun ia tidak memiliki harta kekayaan. Namun, ia memiliki dua syarat utama: kuat fisiknya dan luas ilmunya. Ini adalah kriteria pemimpin yang seharusnya kita ikuti. Sama seperti kisah Nabi Yusuf dalam Surat Yusuf ayat 55-56, ketika ia mengusulkan dirinya sebagai bendahara negara: “Inni hafizun ‘alim”. Yusuf memiliki kemampuan menjaga aset negara dan memiliki ilmu manajerial yang mumpuni.

Pemerintahan yang baik dalam Islam adalah pemerintahan yang efektif, memiliki akuntabilitas, dan transparansi. Jabatan adalah amanah, dan amanah harus bisa dipertanggungjawabkan di dunia maupun di hadapan Allah. Dalam Islam, pemimpin tidak boleh berjalan semaunya. Harus ada kontrol dari rakyat melalui mekanisme yang adil. Pemerintah juga harus mengatur anggaran dengan bijak dan merumuskan undang-undang yang berlandaskan keadilan.

Prinsip akuntabilitas dalam Islam adalah luar biasa. Setiap kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan. Rakyat harus bisa mengawasi jalannya pemerintahan dan proses legislasi. Pemerintah harus menjalankan undang-undang, mendengar aspirasi rakyat, dan mengontrol anggaran agar menciptakan rasa keadilan.

Rasulullah ﷺ mengajarkan prinsip musyawarah. Bayangkan, Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi yang dibimbing oleh wahyu, beliau tetap bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya dalam urusan sosial. Jika Rasulullah saja melakukan musyawarah, maka pemimpin yang tidak dibimbing wahyu tentu lebih wajib untuk bermusyawarah. Pemimpin tidak boleh diktator atau memutuskan sesuatu secara sepihak.

Kita semua punya tanggung jawab untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bernegara. Islam tidak hanya berbicara soal ibadah ritual, tetapi juga soal keadilan sosial, ekonomi, dan kesejahteraan umat. Pemerintah yang baik dalam pandangan Islam adalah pemerintah yang mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, yakni sandang, pangan, dan papan. Tidak boleh ada rakyat yang kelaparan, kehausan, atau tidak memiliki tempat berteduh.

Prinsip-prinsip ini sudah disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti dalam Surat Thaha ayat 114 yang berbicara tentang kehidupan Nabi Adam di surga. Adam tidak kelaparan, tidak kehausan, dan tidak telanjang. Ini menunjukkan tiga kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi: makanan, minuman, dan tempat tinggal. Jika ini tidak terpenuhi, maka pemerintahan tersebut belum bisa disebut pemerintahan yang baik.

Oleh karena itu, pemimpin harus menggunakan kekuasaannya untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat, memperhatikan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan pembangunan manusia. Jangan sampai umat Islam disebut sebagai umat terbaik tetapi tertinggal dalam berbagai aspek kehidupan. Semua ini akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Insyaallah, ada keadaan dan etika yang harus kita junjung tinggi, sebagaimana adab yang perlu kita perhatikan. Mengutip ucapan presiden kita, tidak ada satu tentara atau kekuatan apa pun yang dapat menciptakan masyarakat yang beradab tanpa nilai-nilai etika. Keadaban dalam Islam menuntut seorang pemimpin untuk mencerminkan nilai-nilai luhur dan moralitas yang diajarkan dalam agama. Pemimpin harus menjadi uswah, atau teladan, sebagaimana disebutkan dalam Surah Al-Ahzab ayat 21.

Selain kepatuhan terhadap syariah, perlindungan terhadap hak asasi manusia juga harus dijaga dengan baik. Ini bertujuan agar kehidupan umat Islam terbimbing oleh nilai-nilai ajaran Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.

Tujuan pernikahan dalam Islam bukan hanya untuk ibadah, reproduksi, atau menyalurkan hasrat seksual yang halal, tetapi juga untuk melahirkan calon-calon pemimpin umat yang saleh. Jika umat Islam tidak mampu melahirkan pemimpin yang saleh, maka mereka akan mengalami penderitaan dan kesengsaraan. Keluargalah yang menjadi akar dari semua itu.

Visi menikah haruslah seperti yang dicontohkan oleh Salahuddin Al-Ayyubi. Ayahnya, Najmuddin Ayub, seorang bangsawan dari Damaskus, ketika akan menikah ditawari banyak calon istri dari kalangan bangsawan. Namun, Najmuddin memilih calon istri bukan berdasarkan kekayaan atau status sosial, melainkan kriteria yang mulia. Ia mencari perempuan yang bercita-cita mendidik dan merawat anak-anak agar kelak mampu membebaskan Yerusalem, Baitul Maqdis.

Sebuah dialog terjadi antara Najmuddin Ayub dan gurunya, disaksikan oleh seorang perempuan dari balik tirai. Najmuddin menyampaikan bahwa ia ingin menikah dengan perempuan yang memiliki cita-cita mulia, yaitu mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi pembebas Baitul Maqdis. Perempuan itu pun ternyata memiliki cita-cita serupa: mencari calon suami yang memiliki tujuan mulia, yakni mendidik anak-anaknya untuk membebaskan Yerusalem.

Cita-cita mulia inilah yang kemudian mempertemukan mereka. Dari pernikahan tersebut lahirlah Salahuddin Al-Ayyubi, sosok pemimpin yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis. Salahuddin dibina dan ditempa oleh pamannya, Nuruddin Zanki, yang tidak memiliki anak. Nuruddin menjadikan Salahuddin sebagai anak angkat dan mendidiknya dengan penuh kesungguhan. Salahuddin pun digembleng di Baghdad hingga menjadi pemimpin yang tangguh.

Patut dicatat bahwa status Salahuddin pada masa itu hanyalah sultan atau gubernur, sementara khalifah berada di Baghdad dan tidak memberikan bantuan berarti. Namun, perjuangan Salahuddin membuktikan bahwa pembebasan Baitul Maqdis tidak bergantung pada sistem kekhalifahan semata, melainkan pada tekad, kepemimpinan, dan cita-cita mulia yang diwariskan sejak dini.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00