JAKARTA-TABLIGH.ID-Ketua Bidang Tabligh Global dan Kerjasama Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ustadz Fahmi Salim, Lc., M.A., dalam kajian bertema Good Governance dalam Perspektif Islam yang dirilis melalui kanal YouTube @ufsofficialchannel pada 10 Desember 2024, menyampaikan pandangan mendalam tentang visi ideal pernikahan dalam Islam.
Menurut Ustadz Fahmi, pernikahan dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk ibadah, reproduksi, atau penyaluran hasrat seksual yang halal, tetapi juga menjadi sarana penting untuk melahirkan calon-calon pemimpin umat yang saleh. Ia menegaskan, jika umat Islam gagal melahirkan pemimpin-pemimpin saleh, maka umat akan menghadapi penderitaan dan kesengsaraan. Oleh karena itu, keluarga menjadi akar penting dalam pembentukan generasi pemimpin masa depan.
Ustadz Fahmi mencontohkan visi pernikahan yang ideal melalui kisah Salahuddin Al-Ayyubi, sosok pemimpin besar yang membebaskan Yerusalem, Baitul Maqdis. Ayahnya, Najmuddin Ayub, seorang bangsawan dari Damaskus, diberikan banyak tawaran calon istri dari kalangan bangsawan. Namun, Najmuddin tidak memilih calon pendamping hidupnya berdasarkan kekayaan atau status sosial. Ia memilih perempuan yang memiliki cita-cita mulia: mendidik dan merawat anak-anak agar kelak mampu membebaskan Yerusalem.
Kisah ini semakin menarik ketika Najmuddin berdialog dengan gurunya, dan percakapan mereka didengar oleh seorang perempuan dari balik tirai. Najmuddin menyatakan bahwa ia menginginkan istri yang memiliki visi mulia, yakni mendidik anak-anaknya untuk menjadi pembebas Baitul Maqdis. Perempuan itu pun ternyata memiliki tujuan yang serupa, yaitu mencari suami yang memiliki cita-cita mulia demi masa depan generasi penerus.
Pertemuan visi dan cita-cita mulia inilah yang mempertemukan Najmuddin dan calon istrinya. Dari pernikahan mereka, lahirlah Salahuddin Al-Ayyubi. Salahuddin kemudian dibina oleh pamannya, Nuruddin Zanki, seorang pemimpin besar yang tidak memiliki anak. Nuruddin mengangkat Salahuddin sebagai anak dan mendidiknya dengan penuh kesungguhan. Salahuddin ditempa di Baghdad, hingga menjadi seorang pemimpin tangguh yang berhasil membebaskan Yerusalem.
Menariknya, Ustadz Fahmi juga menekankan bahwa pada masa itu Salahuddin hanya berstatus sebagai sultan atau gubernur. Khalifah yang berkedudukan di Baghdad tidak memberikan bantuan berarti. Hal ini menunjukkan bahwa pembebasan Yerusalem tidak semata-mata bergantung pada sistem kekhalifahan, melainkan pada tekad, kepemimpinan, dan cita-cita mulia yang diwariskan sejak dini.
Kisah ini menjadi teladan bagi umat Islam untuk memaknai pernikahan sebagai upaya melahirkan generasi pemimpin yang memiliki visi besar, berakhlak mulia, dan mampu membawa umat menuju kejayaan.