Oleh: Dr. Adi Hidayat, Lc., M.A.
Di antara catatan-catatan yang didokumentasikan oleh para ulama terkait dengan aspek pencarian guru yang baik, terdapat pengalaman Imam Hasan Al-Bashri yang kemudian dicantumkan oleh para ulama dan dikutip oleh generasi ulama setelahnya. Hadratus Syekh Muhammad Hasyim bin Asy’ari mengambil bagian dari catatan tersebut dan menuangkannya dalam kitab beliau. Teks inilah yang tadi kita bacakan.
Imam Hasan Al-Bashri, sosok yang diasuh oleh istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dibimbing oleh para sahabat, dan didoakan oleh Umar bin Khattab Radhiallahu Ta’ala Anhu, memiliki wasiat atau pesan kuat bagi para penuntut ilmu yang ingin mencari guru. Perhatikan kalimat berikut. Beliau menyampaikan: “Sungguh, hukum umat bagi ilmu itu mautul qalbi, yakni wafatnya hati atau matinya hati.”
Maksud dari “matinya hati” ini adalah ilmu yang tidak bermanfaat karena hati pengajar telah mati. Ilmu yang seharusnya membawa keberkahan justru menjadi terhukum. Hal ini terjadi jika pengajar memiliki hati yang mati, meskipun ia memiliki ilmu dan mengajar.
Matinya hati seorang pengajar adalah ketika orientasinya bukan akhirat, melainkan dunia. Imam Hasan Al-Bashri menjelaskan bahwa hati yang mati adalah kondisi di mana pengajar menuntut dunia dengan menampakkan amalan akhirat. Ini menjadi peringatan keras bagi para ustaz, kiai, pengajar, atau bahkan guru di sekolah-sekolah. Mereka yang diberi amanah ilmu tetapi hatinya mati, ilmunya tidak layak diambil.
Ambillah contoh: seorang ustaz mengajar Al-Qur’an, tetapi yang ia cari adalah tarifnya. Ada ustaz yang datang ke akad nikah, misalnya, dengan dalih mengaji, tetapi hatinya sudah mempertimbangkan ongkos bensin, waktu, atau bahkan tarif dua digit. Ini adalah ciri mautul qalbi—ilmu yang terhukum karena niatnya mencari dunia. Sehingga, ilmu yang disampaikan tidak sampai ke hati, apalagi memberi pengaruh pada muridnya.
Keadaan ini juga berlaku di sekolah-sekolah Islam. Ketika murid-murid tidak berkembang sebagaimana mestinya, maka yang harus dicek pertama kali adalah gurunya. Bagaimana niat gurunya? Bagaimana cara gurunya mengajar? Jika pengajar datang hanya untuk mencari amplop, gaji, atau sekadar menuntut dunia, maka keberkahan ilmu tidak akan ada. Ini berlaku di masjid-masjid juga, di mana ustaz yang datang untuk mengajar memiliki niat duniawi, bukan untuk mencari keridaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Dalam Al-Qur’an, peringatan ini sangat jelas. Para nabi dan rasul memiliki manhaj (metode) yang tegas dalam menyampaikan ilmu. Firman Allah dalam Surat Asy-Syu’ara ayat 128–145: “Aku tidak meminta upah dari kalian. Upahku hanya dari Allah, Tuhan semesta alam.” Para nabi tidak pernah berpikir tentang honor atau gaji dari manusia, karena mereka yakin bahwa Allah yang memberi rezeki. Tugas mereka hanyalah menyampaikan ilmu dengan ikhlas.
Maka dari itu, jika ada seorang pengajar yang meminta kompensasi materi di awal sebelum menyampaikan ilmunya, itu adalah tanda mautul qalbi. Ilmunya terhukum, tidak membawa keberkahan, dan hanya memberikan ketenangan sesaat bagi yang mendengarkan.
Fenomena ini sering terjadi. Ustaz atau guru tampil dengan pakaian akhirat, berbicara tentang akhirat, tetapi hatinya tertuju pada dunia. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an, “Janganlah engkau memberi sesuatu dengan berharap mendapat balasan lebih banyak” (QS. Al-Muddatstsir: 6). Ini adalah peringatan keras bagi pengajar yang menjadikan dunia sebagai tujuan utamanya.
Masalah lain yang juga perlu diperhatikan adalah thaolabul jah, yakni mencari popularitas. Dalam Surat Al-Ghasyiyah, Allah mengingatkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Tugasmu hanya untuk mengingatkan. Engkau bukanlah penguasa mereka.” Bahkan Nabi saja diingatkan agar tidak memonopoli atau memaksakan pengajaran. Ini menjadi peringatan juga bagi para pengajar agar tidak memaksakan murid atau jamaah untuk belajar hanya pada dirinya.
Dengan demikian, jika kita ingin mencari ilmu yang berkah dan pengajar yang baik, carilah sosok yang mengajarkan ilmu tanpa berharap kompensasi duniawi. Carilah guru yang hatinya hidup, niatnya lurus untuk akhirat, dan tujuannya semata-mata mencari rida Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Di sisi lain, para murid juga harus memperbaiki diri agar ilmu yang diberikan oleh guru yang baik dapat bermanfaat dan membawa keberkahan.