web stats
Home » Akhir Yang Baik

Akhir Yang Baik

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Fajar Rachmadani, Lc., M.A.Hum., Ph. D.

Berangkat dari sebuah sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diriwayatkan oleh Al Imam Al-Bukhari, beliau bersabda: “Innamal a’malu bil khawatim.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan bahwa sesungguhnya setiap amalan yang dilakukan oleh manusia tolak ukurnya adalah al-khawatim—tergantung pada akhirnya. Dengan kata lain, baik buruknya amal seseorang, sukses atau gagalnya amal seseorang, termasuk apakah seseorang tergolong orang-orang yang saleh atau orang-orang yang durhaka, semuanya ditentukan oleh cara seseorang mengakhiri amalan yang dia lakukan.

Al-Imam Az-Zarqani dalam Syarah Al-Muwaththa’ menjelaskan bahwa amalan akhir manusia adalah penentu balasan atas amalan tersebut oleh Allah. Barang siapa yang memulai hidupnya dengan amalan buruk, bisa jadi awalnya dia bukan termasuk orang-orang yang saleh. Namun, ketika hidayah Allah datang kepadanya, ia mengganti amalan buruk itu dengan amalan yang baik, lalu Allah wafatkan dia dalam keadaan sedang melakukan amal baik, maka orang tersebut dianggap mati dalam keadaan yang baik, mengakhiri hidupnya dengan akhir yang baik.

Sebaliknya, Imam Az-Zarqani juga menuturkan bahwa ada orang yang sepanjang hidupnya beramal dengan amalan yang baik, tetapi kemudian tertipu oleh dirinya sendiri (magrur). Dia lupa diri, sehingga di ujung kehidupannya melakukan satu amalan keburukan dan meninggal dalam keadaan tersebut. Maka, orang tersebut dianggap mengakhiri hidupnya dengan akhir yang buruk. Hal ini menunjukkan pentingnya sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Innamal a’malu bil khawatim”—tolak ukur keberhasilan seseorang bukanlah kondisi saat ini, tetapi bagaimana keadaannya di saat-saat terakhir menjelang ajal.

Tolak ukur keberhasilan amal kita adalah bagaimana keadaan kita di detik-detik ketika kita akan menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apakah kita menghadap Allah dalam keadaan yang baik, atau sebaliknya—naudzu billah—dalam keadaan buruk? Dalam istilah agama, akhir yang buruk ini disebut dengan su’ul khatimah.

Pada kesempatan kali ini, kita sebagai orang-orang yang beriman perlu menyadari bahwa cita-cita tertinggi seorang mukmin adalah mengakhiri kehidupannya dalam kondisi yang baik. Husnul khatimah adalah tujuan yang paling diinginkan oleh orang-orang yang beriman. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami, berdasarkan hadis-hadis Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan pandangan para ulama, apa saja langkah-langkah yang dapat kita tempuh dan bentuk ikhtiar yang dapat kita lakukan dalam rangka menjemput akhir kehidupan yang baik.

Dan mudah-mudahan setelah kita mengkaji ini, kita semakin bersemangat untuk mengamalkan nasihat-nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta para ulama agar nantinya kita dikaruniai oleh Allah akhir kehidupan yang baik atau husnul khatimah.

Yang pertama, salah satu bentuk ikhtiar kita untuk menjemput husnul khatimah adalah istiqamah dalam amal saleh. Beramal baik saja tentu sudah baik, tetapi akan lebih baik lagi jika seseorang mampu istiqamah dalam melakukan amal yang baik. Istiqamah ini berarti keberlanjutan amal baik yang dilakukan di dunia dengan harapan bahwa nanti di ujung kehidupan, ketika ajal menjemput, kita berada dalam kondisi sedang beramal baik.

Ada satu ungkapan yang disampaikan oleh Al-Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, dan juga oleh Al-Imam As-Sa’di. Ini bukan hadis, tetapi merupakan perkataan para ulama. Kata mereka, “Man ‘asya ‘ala syai’in mata ‘alaihi”. Barang siapa yang di dalam hidupnya mempunyai kebiasaan tertentu, yakni amalan yang terus-menerus dilakukan, maka bisa jadi ia akan meninggal dalam keadaan melakukan kebiasaan tersebut. Ungkapan ini sifatnya umum, bahwa siapa saja yang hidup di atas satu kebiasaan tertentu, maka ia akan mati dalam kebiasaan tersebut.

Dalam kehidupan nyata maupun di dunia maya, kita sering melihat fenomena ini. Misalnya, ada seseorang yang terbiasa melakukan perbuatan maksiat, seperti menyanyi di panggung hiburan sambil melakukan hal yang tidak baik, lalu ajal menjemputnya saat ia melakukan kebiasaan tersebut. Sebaliknya, ada juga orang yang sepanjang hidupnya istiqamah berbuat kebaikan, lalu ajal menjemputnya saat ia sedang dalam ibadah, seperti seorang imam yang meninggal dunia saat memimpin salat atau seorang mubaligh yang wafat ketika menyampaikan kajian.

Fenomena ini menggambarkan bahwa akhir kehidupan seseorang sering kali menjadi representasi dari kebiasaannya selama hidup. Sebagaimana ungkapan Imam Ibnu Katsir, “Man ‘asya ‘ala syai’in mata ‘alaihi”—barang siapa hidup di atas suatu kebiasaan, maka ia akan mati dalam kebiasaan tersebut.

Oleh karena itu, para ulama selalu menasihatkan bahwa jika seseorang ingin menjemput akhir yang baik (husnul khatimah), maka ia harus beramal saleh. Namun, lebih dari itu, amal saleh tersebut harus dilakukan secara istiqamah hingga menjadi kebiasaan. Dengan demikian, kita berharap Allah akan menjemput kita dalam keadaan yang baik, saat kita sedang melakukan amal yang baik, di waktu yang terbaik.

Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ayyuhal Walad memberikan nasihat yang sangat berharga tentang pentingnya istiqamah dalam kebaikan. Kata beliau, sekecil apa pun kebaikan yang dilakukan, jika dilakukan secara istiqamah, itu adalah tanda kebaikan. Al-Imam Al-Ghazali juga mengutip salah satu nasihat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kepada umatnya, yang menyatakan bahwa salah satu tanda bahwa Allah telah berpaling atau murka kepada seorang hamba bukanlah dengan memberikan musibah atau bencana, melainkan dengan menyibukkan hamba tersebut pada sesuatu yang tidak ada gunanya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Min husni islamil mar’i tarkuhu ma la ya’nihi”—tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat. Sebaliknya, jika seseorang gandrung terhadap sesuatu yang tidak bermanfaat, itu adalah tanda bahwa Allah telah mulai menjauh darinya.

Lebih lanjut, Al-Imam Al-Ghazali menyampaikan bahwa siapa saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan hal-hal selain ibadah kepada Allah, ia akan menyesal di akhirat. Bahkan, jika seseorang sudah mencapai usia 40 tahun tetapi amal baiknya tidak mampu melampaui amal buruknya, maka itu adalah tanda-tanda su’ul khatimah.

Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Ahqaf ayat 15, Allah mengajarkan doa kepada manusia agar dapat bersyukur dan berbuat amal saleh terutama ketika telah mencapai usia 40 tahun. Namun, jika seseorang yang telah melampaui usia tersebut masih mendominasi hidupnya dengan keburukan, maka ia telah menunjukkan tanda bahwa akhir hidupnya berpotensi buruk.

Itulah mengapa, jika kita membaca biografi para ulama, rata-rata setelah menginjak usia 40 tahun, mereka sudah mulai selesai dengan urusan duniawi dan mulai memfokuskan diri pada akhirat. Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan: “Idza balagha al-rajulu arba’ina sanatan nada munadin min al-sama’ danar rahil”—jika seseorang telah mencapai usia 40 tahun, seakan-akan ada suara dari langit yang menyeru, “Hai engkau yang telah berusia 40 tahun, ajalmu semakin dekat, maka persiapkanlah bekalmu dengan sebaik-baiknya.”

Oleh karena itu, dalam rangka menjemput husnul khatimah atau akhir yang baik, hal yang penting selain memperbanyak amal saleh adalah mengistikamahkan amal saleh tersebut. Istiqamah bukan hanya berarti terus-menerus melakukan amal baik, tetapi juga memastikan bahwa amal baik itu menjadi kebiasaan yang melekat dalam kehidupan kita.

Kedua, yang tidak kalah penting dalam rangka menjemput husnul khatimah adalah memperbaiki niat dalam beramal saleh. Beramal itu penting, istiqamah juga penting, tetapi yang lebih penting dari keduanya adalah menjaga niat agar amal tersebut benar-benar untuk Allah semata.

Ada sebuah hadis panjang yang menggambarkan pentingnya niat dalam beramal. Hadis ini tidak bertujuan untuk menakut-nakuti, melainkan untuk memotivasi kita agar selalu memperbaiki niat. Diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d As-Sa’idi dalam hadis sahih riwayat Imam Bukhari, beliau menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyaksikan seorang laki-laki dalam peperangan. Laki-laki itu terkenal dengan keberanian dan keahliannya dalam berperang melawan orang-orang musyrik.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tiba-tiba bersabda, “Siapa saja yang ingin melihat penghuni neraka, lihatlah laki-laki itu.” Para sahabat yang mendengar perkataan ini merasa penasaran, sebab laki-laki tersebut sedang berjihad dengan gagah berani. Salah seorang sahabat memutuskan untuk mengikuti laki-laki itu dari dekat.

Tak lama kemudian, laki-laki tersebut terluka parah dalam pertempuran. Karena tidak mampu menahan rasa sakitnya, ia akhirnya menusukkan pedangnya ke dadanya sendiri dan meninggal karena bunuh diri. Peristiwa ini membuat para sahabat memahami sabda Rasulullah bahwa meskipun secara lahiriah orang tersebut melakukan amal yang tampaknya seperti amal ahli surga, ternyata niat dan orientasi batinnya keliru.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kemudian bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba bisa melakukan amalan ahli surga sebagaimana yang tampak oleh manusia, tetapi dia termasuk ahli neraka. Dan sebaliknya, ada seorang hamba yang secara lahiriah tampak melakukan amalan ahli neraka, tetapi dia termasuk ahli surga.” Rasulullah juga menegaskan, “Innamal a’malu bil khawatim”—Sesungguhnya amal itu tergantung pada akhirnya.

Hadis ini mengajarkan bahwa tolak ukur keberhasilan amal adalah pada akhir dari amal tersebut, apakah berakhir dengan husnul khatimah atau justru su’ul khatimah. Pelajaran pentingnya adalah amal yang baik secara lahiriah tidak cukup jika tidak disertai niat yang benar dan ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dalam konteks ini, Al-Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali memberikan komentar bahwa orang yang disebutkan dalam hadis tadi, yang tampaknya melakukan amal saleh seperti berjihad, ternyata memiliki urusan batin yang keliru. Niatnya tidak ikhlas untuk Allah, tetapi untuk dilihat dan dihormati oleh orang lain. Ini adalah contoh nyata bahwa perbedaan antara batin dan lahiriah seseorang dapat menjadi penentu akhir hidupnya.

Beliau menambahkan bahwa amal apa pun, baik itu salat, haji, umrah, atau pergi ke pengajian, jika niatnya tidak ikhlas, maka amal tersebut bisa menjadi sia-sia. Bahkan, alih-alih mendatangkan kebaikan, amal tersebut justru bisa membawa keburukan bagi pelakunya. Oleh sebab itu, penting bagi kita untuk senantiasa menjaga niat dan memastikan bahwa semua amal yang kita lakukan adalah murni untuk mencari ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala. Na’udzubillah, jangan sampai amal yang kita banggakan justru menjadi penyebab kehancuran kita di akhirat nanti.

Itulah yang menyebabkan seseorang mengalami su’ul khatimah. Padahal, mungkin secara lahiriah ia tampak sebagai orang baik, namun jika ada yang salah dalam urusan niat, amal tersebut bisa menjadi sia-sia. Oleh sebab itu, persoalan niat menjadi sangat penting. Bahkan hadis pertama yang oleh para ulama ditulis dalam kitab-kitab hadis adalah “Innamal a’malu binniyat”, yang artinya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Begitu besar perhatian terhadap niat karena niat tidak dapat dilihat oleh manusia. Manusia hanya dapat menilai secara lahiriah, sedangkan urusan niat hanya diketahui oleh Allah dan pelakunya.

Ada hadis panjang yang menggambarkan betapa niat yang salah dapat membuat amal yang besar menjadi sia-sia. Hadis ini bercerita tentang tiga orang yang akan disidang oleh Allah: seorang mujahid, seorang ahli Quran yang juga pengajar atau ulama, dan seorang dermawan. Orang-orang ini melakukan amalan yang dahsyat, tetapi ujung-ujungnya masuk neraka. Mengapa? Karena salah niat. Amal mereka tidak dilakukan semata-mata untuk Allah, melainkan demi tujuan duniawi seperti pujian dan pengakuan manusia.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan kita agar: pertama, beramal saleh; kedua, istiqamah dalam amal saleh; dan ketiga, menjaga niat. Rasulullah juga memberikan peringatan agar tidak terlalu terpukau dengan amal orang lain. Dalam sebuah riwayat dari Imam Ahmad, Rasulullah bersabda: “La alaikum an tujabu biahadin…” yang artinya, janganlah kalian terkagum-kagum dengan amal seseorang. Mengagumi amal seseorang boleh saja, tetapi jangan sampai terlena atau mengkultuskannya. Sebab, kita tidak tahu bagaimana akhir hidup orang tersebut. Rasulullah bersabda, “Hatta tanzuru bima yuktamu lahu”—hingga kalian melihat bagaimana ia diakhiri oleh Allah.

Dalam hadis tersebut, Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang bisa saja sepanjang hidupnya beramal dengan amalan ahli surga. Namun, karena godaan duniawi, ia berubah menjadi ahli maksiat di akhir hidupnya dan meninggal dalam keadaan su’ul khatimah. Sebaliknya, ada orang yang sepanjang hidupnya tampak melakukan amalan ahli neraka, tetapi di akhir hidupnya mendapatkan hidayah, bertaubat, dan meninggal dalam keadaan husnul khatimah. Hal ini menunjukkan betapa luasnya rahmat dan hidayah Allah. Allah dapat memberikan hidayah kepada siapa pun yang Dia kehendaki.

Rasulullah juga mengajarkan bahwa tanda-tanda kebaikan bagi seseorang adalah ketika Allah mempermudah orang tersebut untuk melakukan amal saleh sebelum wafat. Dalam sabdanya, “Idza aradallahu bihi khairan yastakhdimuhu…”—apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, Allah akan memanfaatkannya sebelum dia meninggal. Para sahabat bertanya, “Apa maksud Allah memanfaatkannya?” Rasulullah menjawab, “Allah memudahkan hamba itu untuk melakukan amal saleh, lalu mencabut nyawanya dalam keadaan tersebut.”

Kita semua tentu berharap mendapatkan akhir hidup seperti itu. Betapa bahagianya seseorang yang meninggal dalam keadaan beribadah, seperti sedang salat, membaca Al-Qur’an, atau menghadiri majelis taklim. Ada banyak kisah inspiratif tentang kematian yang dicemburui. Misalnya, seseorang yang meninggal dalam keadaan sujud saat salat, seorang jamaah umrah yang wafat di Tanah Suci, atau seseorang yang wafat saat sedang berdakwah.

Salah satu pengalaman pribadi yang menguatkan keutamaan husnul khatimah adalah cerita tentang ayah saya. Beliau seorang pekerja keras yang telah memasuki masa pensiun. Meskipun kami, anak-anaknya, sudah mampu mencukupi kebutuhan beliau, ayah tetap memilih untuk bekerja dan aktif. Pada suatu pagi, empat tahun lalu, beliau terlihat sehat seperti biasa. Setelah salat Subuh berjamaah di masjid, beliau sarapan dan berangkat bekerja. Tidak ada tanda-tanda sakit. Namun, pada malam harinya, saya menerima kabar bahwa ayah meninggal dunia. Beliau wafat dalam keadaan sedang bekerja mencari nafkah untuk keluarga, tanpa rasa sakit yang berarti. Bahkan, dalam rekaman CCTV terlihat bahwa beliau hanya merasa sedikit sakit di dada, lalu ambruk dan menghembuskan nafas terakhir dengan tenang.

Ada pula kisah seorang sahabat saya yang meninggal di hari Jumat, di pangkuan istrinya, tanpa rasa sakit sedikit pun. Bayangkan, betapa dicemburui akhir seperti itu! Orang-orang yang sudah selesai dengan urusan dunia biasanya lebih fokus pada ibadah dan mendambakan akhir yang baik. Mereka tidak lagi iri dengan kemewahan duniawi, tetapi merindukan husnul khatimah, yaitu wafat dalam keadaan yang diridhoi oleh Allah.

Dalam kehidupan ini, salah satu tugas besar kita sebagai hamba Allah adalah menjaga keistikamahan dalam kebaikan dan amal saleh. Selain beramal, kita juga harus memastikan bahwa amal tersebut tulus hanya untuk Allah dan Rasul-Nya. Langkah penting lainnya untuk meraih husnul khatimah adalah memanfaatkan sisa usia yang masih Allah berikan kepada kita. Selama nyawa masih di kandung badan dan kita masih diberi kesempatan bernapas, sekecil apa pun peluang untuk melakukan kebaikan harus dimanfaatkan. Seburuk atau sekelam apa pun masa lalu kita, biarlah Allah yang memaafkan dan mengampuni. Bahkan jika hanya tersisa satu jam dalam hidup kita, waktu itu harus dipergunakan untuk memperbaiki diri dan melakukan amal kebaikan.

Kita sering mendengar kisah-kisah luar biasa tentang orang-orang dengan masa lalu yang kelam tetapi akhirnya bertaubat dan mendapatkan akhir yang baik. Salah satunya adalah kisah seorang pembunuh yang telah membunuh 100 jiwa, namun di akhir hayatnya ia bertaubat, berhijrah, dan melakukan amal saleh. Rasulullah ﷺ bersabda: “Innallaha yaqbalu taubatal ‘abdi maa lam yugharghir” (Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nyawanya belum sampai di kerongkongan). Ini menjadi pengingat bahwa selama kita belum menghadapi sakaratul maut, pintu taubat masih terbuka lebar. Kesempatan ini adalah rahmat besar dari Allah yang harus kita manfaatkan.

Salah satu kisah inspiratif datang dari seorang tabi’in bernama Fudhail bin Iyadh. Sebelum menjadi ulama besar, Fudhail adalah seorang perampok. Namun, setelah mendapat hidayah, ia bertaubat dan menjadi salah satu ulama besar yang namanya dikenang hingga kini. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang pria tua dan bertanya tentang usianya. Pria itu menjawab, “Usiaku 60 tahun.” Fudhail kemudian berkata, “Jika Anda telah hidup selama 60 tahun, itu berarti Anda telah berjalan menuju Allah selama 60 tahun, dan sebentar lagi perjalanan itu akan selesai.” Pria tua tersebut terkejut dan berkata, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” Fudhail melanjutkan, “Jika Anda menyadari bahwa Anda adalah hamba Allah dan Anda akan kembali kepada-Nya, maka persiapkanlah jawaban atas pertanggungjawaban Anda di hadapan Allah.” Pria tua itu bingung dan bertanya bagaimana cara mempersiapkannya. Fudhail menjelaskan, “Berbuatlah baik di sisa usia Anda, maka Allah akan mengampuni dosa-dosa Anda yang telah lalu. Tetapi jika Anda menyia-nyiakan sisa usia itu, maka Anda akan diazab atas dosa yang telah lalu dan yang akan datang.”

Doa adalah salah satu cara terbaik untuk meminta kekuatan dari Allah dalam menjaga keimanan hingga akhir hayat. Dalam Al-Qur’an, Allah mengajarkan doa agar diberikan akhir yang baik: “Rabbana atina fid-dunya hasanah wa fil-akhirati hasanah waqina ‘adhaban nar” (Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta lindungilah kami dari azab neraka). Rasulullah ﷺ juga mengajarkan doa agar kita diberikan kekuatan iman hingga akhir hayat, seperti: “Allahumma inni as’aluka husnal khatimah” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akhir yang baik). Dengan doa yang tulus dan usaha yang istiqamah, kita berharap agar Allah memberikan husnul khatimah kepada kita semua.

Namun, kita juga harus waspada terhadap godaan duniawi yang dapat menghalangi kita dari husnul khatimah. Kisah tragis datang dari Ar-Rajjal bin Unfuwa, seorang sahabat Nabi yang dikenal sebagai ahli Al-Qur’an dan sosok yang saleh. Dalam Perang Yamamah, ia tergoda oleh rayuan Musailamah Al-Kazzab, seorang nabi palsu, yang menawarkan kekuasaan dan harta. Ar-Rajjal mengkhianati kaum Muslimin dan bergabung dengan Musailamah, menyebabkan lebih dari 5.000 orang murtad karena terpengaruh oleh retorikanya. Akhirnya, Ar-Rajjal mati dalam keadaan kufur. Kisah ini menjadi pelajaran berharga bahwa tanpa hidayah dan doa, siapa pun dapat tergelincir, bahkan seorang yang alim sekalipun.

Hidup di dunia ini penuh dengan ujian dan tantangan. Jangan pernah meratapi masa lalu, karena yang terpenting adalah bagaimana kita memanfaatkan waktu yang tersisa. Tidak ada amal yang terlalu kecil di mata Allah. Selama dilakukan dengan niat yang tulus dan istiqamah, amal tersebut akan mendekatkan kita kepada husnul khatimah. Sisa usia yang ada harus diisi dengan kebaikan, karena kita tidak tahu kapan ajal akan menjemput.

Sebagai penutup, mari kita perbanyak doa dan amal saleh. Semoga Allah senantiasa menjaga hati kita, memberikan kekuatan untuk tetap istiqamah, dan mengaruniakan kepada kita akhir yang baik. Husnul khatimah adalah harapan dan cita-cita kita semua. Semoga Allah mengabulkan doa-doa kita dan menjadikan setiap langkah kita sebagai amal yang diridhai-Nya. Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00