web stats
Home » Tafsir Tarbawi: Q.S Fussilat Ayat 49-5: Khauf dan Raja’ dalam Iman kepada Allah

Tafsir Tarbawi: Q.S Fussilat Ayat 49-5: Khauf dan Raja’ dalam Iman kepada Allah

by Redaksi
0 comment

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.

لَا يَسْـَٔمُ الْاِنْسَانُ مِنْ دُعَاۤءِ الْخَيْرِۖ وَاِنْ مَّسَّهُ الشَّرُّ فَيَـُٔوْسٌ قَنُوْطٌ وَلَىِٕنْ اَذَقْنٰهُ رَحْمَةً مِّنَّا مِنْۢ بَعْدِ ضَرَّاۤءَ مَسَّتْهُ لَيَقُوْلَنَّ هٰذَا لِيْۙ وَمَآ اَظُنُّ السَّاعَةَ قَاۤىِٕمَةًۙ وَّلَىِٕنْ رُّجِعْتُ اِلٰى رَبِّيْٓ اِنَّ لِيْ عِنْدَهٗ لَلْحُسْنٰىۚ فَلَنُنَبِّئَنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِمَا عَمِلُوْاۖ وَلَنُذِيْقَنَّهُمْ مِّنْ عَذَابٍ غَلِيْظٍ

“Manusia tidak pernah jemu memohon kebaikan dan jika ditimpa malapetaka, mereka berputus asa dan hilang harapan. Jika Kami menganugerahkan kepadanya suatu rahmat dari Kami setelah ditimpa kesusahan, pastilah dia akan berkata, “Ini adalah hakku dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan terjadi. Jika (ternyata) aku dikembalikan kepada Tuhanku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan di sisi-Nya.” Maka, sungguh, Kami akan memberitahukan kepada orang-orang yang kufur tentang apa yang telah mereka kerjakan dan sungguh Kami benar-benar akan menimpakan kepada mereka azab yang sangat berat.”

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tabiat manusia yang berkaitan dengan hasrat-hasrat dan keinginannya. Allah mendeskripsikannya dengan kalimat “La yas’amu al-insanu min du’a il-khair” yang berarti manusia tidak pernah bosan atau jemu meminta kebaikan. Kata “al-khair” di sini merujuk pada kekayaan, harta benda, dan anak keturunan, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama tafsir.

Namun, ketika manusia tertimpa musibah atau malapetaka, ia sering kali berputus asa dan kehilangan harapan. Inilah sifat dasar manusia yang Allah tegaskan dalam ayat tersebut. Sifat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki ketidakpuasan yang terus-menerus terhadap apa yang mereka miliki. Bahkan, ketika sudah mendapatkan apa yang diinginkan, manusia tetap meminta tambahan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, bahwa jika manusia diberi satu lembah emas, ia pasti akan menginginkan lembah emas lainnya. Begitulah tabiat manusia yang tidak pernah puas.

Dalam tafsir al-Sa’di, kata “al-khair” dijelaskan sebagai al-ghina (kekayaan), al-maal (harta), dan al-walad (anak keturunan). Sementara itu, al-Imam al-Qurtubi menambahkan bahwa “al-khair” juga mencakup kekuasaan, kesehatan, dan kehormatan duniawi. Penafsiran ini semakin memperjelas bahwa manusia selalu menginginkan hal-hal yang bersifat duniawi, baik dalam bentuk materi, keturunan, maupun kekuasaan. Hal ini juga terlihat dalam sifat manusia yang sering kali menginginkan kekuasaan lebih, bahkan ketika masa jabatannya telah selesai, mereka berusaha melibatkan anggota keluarga seperti istri, anak, atau cucu untuk meneruskan kekuasaan tersebut.

Menurut al-Imam al-Qurtubi, yang dimaksud dengan al-insanu dalam ayat ini adalah orang-orang kafir. Pendapat ini juga didukung oleh mufasir terdahulu yang menyebutkan nama-nama seperti Al-Walid bin Al-Mughirah, Utbah bin Rabi’ah, dan Umayyah bin Khalaf sebagai contoh dari manusia yang disebut dalam ayat ini. Mereka adalah tokoh-tokoh yang dikenal karena keinginan duniawinya dan penolakannya terhadap kebenaran.

Menariknya, ada beberapa variasi qira’at dalam membaca ayat ini. Salah satu qira’at menambahkan pemahaman bahwa sifat manusia tersebut lebih spesifik merujuk pada permintaan terhadap kekayaan duniawi. Perbedaan dalam qira’at ini tidak bertentangan, melainkan saling melengkapi dan memperkaya pemahaman terhadap ayat tersebut. Sebagaimana diketahui, semua qira’at yang mutawatir adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak mengandung kontradiksi makna.

Pada bagian akhir ayat, Allah menjelaskan bahwa jika manusia tertimpa keburukan atau malapetaka, ia cenderung berputus asa dan kehilangan harapan. Ini menggambarkan bahwa kebanyakan manusia tidak memiliki keteguhan iman ketika diuji dengan musibah. Jika kita memahami ayat ini secara umum, maka sifat ini berlaku pada mayoritas manusia. Namun, jika dipahami secara spesifik sebagaimana pandangan para mufasir, maka ayat ini menunjukkan sifat orang-orang kafir yang tidak memiliki sandaran iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Qonut dan kehilangan harapan adalah sifat yang sering ditemukan pada manusia, terutama ketika mereka menghadapi musibah, kesulitan, atau bencana. Jika kita mengartikan al-insan dalam ayat tersebut sebagai orang-orang kafir, jelas bahwa orientasi hidup mereka hanya pada dunia. Mereka melalaikan dan menafikan adanya akhirat. Akibatnya, ketika tertimpa musibah atau bencana, mereka langsung terpuruk, kehilangan harapan, dan menyerah tanpa upaya.

Fenomena ini dapat kita lihat pada negara-negara maju yang secara duniawi tampak makmur, sejahtera, dan canggih secara teknologi. Namun, mengapa angka stres, frustrasi, dan bunuh diri begitu tinggi? Jawabannya adalah karena di antara karakteristik orang-orang kafir dan mereka yang tidak percaya pada akhirat adalah ya’us dan qunut—mudah putus asa dan kehilangan harapan.

Berbeda dengan orang-orang beriman. Sebagian mufasir, ketika menafsirkan ayat la yas’amu al-insanu min du’a il-khair (manusia tidak bosan meminta harta), menyebutkan pengecualian, yaitu illal-ladzina amanu wa ‘amilush-shalihat (kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh). Orang-orang beriman tidak mudah putus asa dan tidak kehilangan harapan ketika menghadapi musibah. Sebaliknya, mereka menerima dengan penuh kesabaran dan keyakinan bahwa kesulitan di dunia hanya sementara.

Jika kita mengaku sebagai seorang Muslim dan Mukmin, maka tidak seharusnya kita mudah menyerah atau kehilangan harapan. Baru mendapat satu masalah saja sudah merasa kalah, gampang lelah, frustrasi, depresi, bahkan sampai berpikir untuk bunuh diri. Hal ini menjadi pertanyaan besar tentang bagaimana kualitas iman kita terhadap hari akhir. Orang yang benar-benar beriman kepada hari akhir, surga, dan neraka tidak akan hidup dalam kesengsaraan hati. Mungkin orang lain melihat mereka sebagai orang yang sengsara, tetapi bagi mereka, hidup adalah anugerah yang mereka jalani dengan penuh kesabaran dan harapan.

Orang-orang beriman memahami bahwa kesulitan hidup di dunia ini hanya sementara. Mereka yakin bahwa Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan sejati di akhirat, kebahagiaan abadi di surga. Mereka selalu qana’ah (merasa cukup) dengan apa yang Allah berikan, ridha terhadap takdir-Nya, namun tetap memiliki harapan besar (raja’) bahwa Allah akan memberikan kenikmatan yang luar biasa di akhirat kelak.

Berbeda dengan orang-orang kafir. Ketika mereka tertimpa musibah atau bencana, mereka merasa kehidupan sudah berakhir. Seolah-olah dunia telah runtuh. Dalam keadaan seperti itu, sebagian dari mereka memilih untuk bunuh diri. Mereka berpikir bahwa bunuh diri akan mengakhiri penderitaan mereka, padahal justru penderitaan sejati baru akan dimulai di akhirat. Setiap perbuatan akan dihisab, dan bunuh diri hanya menambah beratnya pertanggungjawaban di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sementara itu, orang-orang beriman yakin bahwa segala penderitaan di dunia hanya sementara. Mereka meyakini bahwa Allah akan menggantinya dengan kebahagiaan hakiki di surga. Kesulitan yang mereka hadapi di dunia menjadi sumber pahala dan penghapus dosa, sehingga mereka terus bersabar dan bersyukur dalam kondisi apa pun.

Fenomena ini perlu menjadi perhatian, terutama bagi generasi muda saat ini, seperti yang sering disebut sebagai generasi stroberi. Generasi ini terlihat indah dan menarik di luar, tetapi mudah rapuh ketika menghadapi tekanan. Anak-anak muda saat ini, khususnya dari generasi Gen Z, sering kali memiliki kecerdasan tinggi, fisik yang lebih sehat, dan ide-ide yang brilian. Hal ini karena mereka tumbuh dengan gizi yang lebih baik dibanding generasi sebelumnya. Namun, mereka cenderung memiliki ketahanan mental yang lemah, kurang mampu menghadapi kesulitan hidup, dan lebih rentan terhadap stres dan depresi.

Ketangguhan menghadapi masalah adalah salah satu tantangan besar bagi generasi ini. Fenomena anak-anak muda yang frustrasi, depresi, dan bahkan bunuh diri semakin meningkat. Ini menjadi peringatan bagi kita semua untuk lebih memperhatikan aspek spiritual dan mental generasi muda, agar mereka mampu menghadapi hidup dengan kesabaran, harapan, dan keimanan yang kokoh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Sempat viral beberapa waktu yang lalu, ada seseorang yang nekat loncat dari apartemen lantai 12 hanya gara-gara putus cinta. Ada juga yang karena tidak dituruti permintaannya untuk dibelikan sepeda motor oleh orang tuanya, akhirnya depresi dan memilih bunuh diri. Fenomena ini harus kita cermati dengan penuh kekhawatiran, terutama terkait lemahnya pemahaman dan pengamalan terhadap rukun iman, khususnya pada tiga hal berikut.

Pertama, lemahnya keimanan kepada Allah (al-iman billah). Orang-orang seperti ini sering kali tidak memahami sifat-sifat Allah, seperti Al-Karim (Maha Mulia), Ar-Razzaq (Maha Pemberi Rezeki), Al-Ghani (Maha Kaya), dan At-Tawwaf (Maha Mengawasi). Seandainya mereka memahami dan menginternalisasi makna Asmaul Husna, maka tidak akan mudah merasa frustrasi atau putus asa dalam menghadapi persoalan hidup.

Kedua, lemahnya iman kepada takdir Allah (al-iman bil qada wal qadar). Mereka tidak memahami bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan ini adalah atas kehendak dan ketetapan Allah. Semua yang ditakdirkan oleh Allah pasti baik, meskipun terkadang sulit dipahami oleh akal manusia. Orang yang kuat imannya kepada takdir tidak akan mudah menyerah. Mereka akan selalu berprasangka baik kepada Allah, meskipun sedang menghadapi kesulitan atau kegagalan. Keyakinan seperti ini akan membuat mereka tetap tegar dan tidak larut dalam keputusasaan.

Ketiga, lemahnya iman kepada hari akhir (al-iman bil yaumil akhir). Pemahaman tentang surga, neraka, hisab, dan mizan sering kali tidak kokoh dalam benak mereka. Mereka lupa bahwa semua amal akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Akibatnya, ketika diberi nikmat, mereka menjadi sombong dan lupa daratan. Sebaliknya, ketika ditimpa musibah, mereka kehilangan arah dan putus asa.

Contohnya adalah sifat manusia yang disebutkan dalam Al-Qur’an: ketika diberi nikmat setelah sebelumnya mengalami kesulitan, mereka berkata, “Ini adalah hasil usahaku sendiri.” Mereka sombong dan tidak mengembalikan pujian kepada Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir, sifat seperti ini menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk bersyukur. Seharusnya, mereka berkata, “Hadza min fadli Rabbi” (ini semua adalah karunia dari Tuhanku). Orang-orang beriman akan senantiasa mengucapkan Alhamdulillah atas setiap nikmat yang diterima, baik besar maupun kecil. Mereka sadar bahwa semua kebaikan yang diperoleh adalah atas izin dan kasih sayang Allah, bukan semata-mata hasil dari usaha atau kepintaran mereka.

Sebaliknya, orang-orang kafir atau yang lemah imannya sering kali terlena dengan kenikmatan dunia. Mereka bahkan mulai meragukan hari kiamat dengan berkata, “Aku tidak yakin kiamat itu akan terjadi.” Lebih parah lagi, mereka mengklaim bahwa segala kebaikan yang mereka terima adalah hasil jerih payah mereka sendiri, bukan karunia Allah. Ini adalah sifat yang sangat tercela.

Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan kita akan bahaya kelalaian akibat gemerlap dunia. Bahkan, kepada para sahabatnya yang merupakan generasi terbaik, Rasulullah mengkhawatirkan apabila mereka terlalu dimanjakan oleh dunia. Ketika dunia terbentang luas di hadapan mereka, ada risiko bahwa iman dan ketakwaan bisa melemah. Rasulullah tidak khawatir dengan ujian berupa kemiskinan atau kesulitan, tetapi beliau khawatir dengan ujian berupa kemewahan dunia.

Fenomena ini juga terlihat dalam generasi muda saat ini, yang sering kali disebut sebagai “generasi stroberi.” Mereka tampak cemerlang dan menarik dari luar, tetapi rapuh dan mudah hancur ketika menghadapi tekanan. Keimanan yang kokoh kepada Allah, takdir-Nya, dan hari akhir adalah solusi utama untuk membangun ketangguhan jiwa dan menghindari sifat putus asa, sombong, atau ujub.

Akan datangnya hari kiamat, akan datangnya hari akhir. Kemudian mereka mengatakan, “Seandainya ternyata betul ada hari kiamat, seandainya itu yang dikatakan Muhammad benar tentang hari akhir, kita yakin akan mendapatkan surga, akan mendapatkan kebaikan dari Allah subhanahu wa ta’ala.” Angan-angan seperti ini menjadi ciri khas mereka, tanpa didasari iman yang benar ataupun amal yang mendukungnya.

Allah subhanahu wa ta’ala telah menegaskan dan menjawab angan-angan orang-orang kafir tersebut. Di sinilah kita harus berhati-hati. Sikap mereka yang berlebihan dalam berharap (rajak) kepada Allah, tanpa diiringi rasa takut (khauf) atau amal yang konsisten, adalah sebuah bentuk penyimpangan. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, ini bukan sekadar harapan, tetapi angan-angan kosong yang tidak mungkin tercapai.

Harapan mereka yang terlalu besar kepada Allah sebenarnya menjadi celah bagi kemungkaran. Bahayanya, mereka tidak merasa takut kepada neraka, tidak merasa gentar terhadap dahsyatnya hari kiamat, dan tidak merasa khawatir terhadap azab kubur. Tidak ada yang menahan mereka dari perbuatan dosa, tidak ada yang mengingatkan mereka untuk menjauhi kekufuran. Mereka merasa bebas berbuat sesuka hati, dengan keyakinan bahwa Allah pasti akan memaafkan tanpa adanya kesadaran akan keadilan-Nya.

Orang-orang kafir memiliki ciri khas ini, tetapi kita juga perlu waspada terhadap sebagian umat Muslim yang memiliki kecenderungan serupa, meskipun dalam dosis lebih rendah. Dalam sejarah, kita mengenal kelompok Murjiah, yang memegang pandangan bahwa dosa sebesar apa pun tidak memengaruhi keimanan seseorang. Ini bertolak belakang dengan ajaran Ahlusunnah wal Jamaah yang berkeyakinan bahwa iman bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang karena maksiat.

Sebaliknya, ada pula kelompok yang khauf-nya terlalu berlebihan, seperti kaum Khawarij. Mereka sangat takut kepada Allah hingga tidak ada lagi pengharapan dalam diri mereka. Sikap ini membuat mereka keras, kaku, dan ekstrem, bahkan hingga berani mengkafirkan orang lain. Dalam sejarah, kita mengenal sosok seperti Dzul Khuwaisirah, cikal bakal Khawarij, yang berani menegur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berkata, “Wahai Rasulullah, berlaku adillah!” Padahal, Rasulullah adalah manusia paling adil.

Terlalu khauf atau terlalu rajak, keduanya adalah sikap yang menyimpang. Oleh karena itu, Ahlusunnah wal Jamaah berada di tengah-tengah, menyeimbangkan antara rasa takut (khauf) dan harapan (roja’) dalam beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Ketika seseorang memiliki roja’ yang berlebihan, ia cenderung meremehkan dosa, bahkan bisa kehilangan rasa cemburu terhadap agama Allah. Ia menjadi tidak peduli saat melihat kemungkaran, merasa nyaman dengan penguasa zalim, dan mengabaikan kewajiban untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Sebaliknya, orang yang memiliki khauf berlebihan cenderung ekstrem dalam menilai dosa, hingga menganggap orang lain keluar dari Islam hanya karena kesalahan tertentu.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Maka sungguh akan Kami beritahukan kepada orang-orang kafir tentang apa yang telah mereka kerjakan, dan sungguh akan Kami timpakan kepada mereka azab yang berat.” (QS. Ibrahim: 51). Ayat ini menjadi peringatan bahwa angan-angan kosong mereka akan berujung pada balasan yang sangat keras dari Allah.

Banyak hikmah yang dapat kita petik dari pembahasan ini. Jangan pernah berputus asa atas rahmat Allah ketika menghadapi musibah, dan jangan pula lupa diri ketika Allah memberikan nikmat. Segala pujian dan syukur harus kita kembalikan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam beribadah, kita perlu menjaga keseimbangan antara rasa takut (khauf) dan harapan (rajak). Jangan sampai kita terlalu khauf seperti kaum Khawarij, atau terlalu rajak seperti kaum Murjiah, sehingga lupa bahwa iman harus diiringi dengan amal dan kesadaran akan keadilan Allah.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00