YOGYAKARTA. TABLIGH.ID – Anggota Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Taqdir Ali Mukti, M.Si., berbagi refleksi mendalam tentang sejarah Islam dan nilai-nilai kepemimpinan di tanah Jawa dalam acara “Kopi Ngaji” di Omah Sawah Bodeh. Dengan penuh kerendahan hati, ia membuka diskusi dengan menyampaikan bahwa dirinya bukanlah seorang ustaz, melainkan seorang pembelajar yang berbagi pemahaman seadanya.
Dalam ceramahnya, Prof. Taqdir menyoroti bahwa tradisi kepemimpinan di Jawa berbeda dengan sistem demokratis modern. Pemimpin di Jawa pada masa lalu lebih sering ditunjuk berdasarkan garis keturunan atau legitimasi budaya tertentu. Contohnya, raja atau putra mahkota Yogyakarta jarang mencalonkan diri dalam jabatan politik seperti gubernur, karena tradisi memandang mereka sebagai pemimpin simbolis.
Sejarah panjang Jawa pun sering kali terlupakan, baik dalam bentuk cerita rakyat seperti ketoprak maupun melalui pelajaran sejarah di sekolah. Ia menyoroti pentingnya menghidupkan kembali kisah-kisah seperti Arya Penangsang yang kini mulai dilupakan. Pelajaran sejarah, menurutnya, seharusnya disampaikan secara segar dan relevan untuk anak-anak, misalnya melalui cerita singkat setiap hari.
Dalam kajian itu, Prof. Taqdir juga mengulas bagaimana Islam masuk ke Nusantara secara bertahap. Di awal penyebarannya, ajaran Islam belum sempurna, dengan Al-Qur’an yang masih berupa hafalan tanpa tanda baca. Namun, melalui kebijaksanaan para ulama dan Wali Songo, Islam berhasil menyatu dengan budaya lokal tanpa menimbulkan benturan.
Ia menjelaskan, Wali Songo bukanlah sembilan individu tetap, melainkan sebuah majelis ulama yang terus berganti generasi. Strategi dakwah mereka sangat adaptif, tanpa menghapus identitas budaya yang telah mengakar.
Perbedaan corak Islam di Jawa juga menjadi sorotan. Wilayah pesisir utara, seperti Kudus dan Demak, memiliki tradisi yang lebih puritan. Sebaliknya, daerah selatan cenderung memadukan Islam dengan budaya lokal, seperti penggunaan sesajen dalam ritual adat. Hal ini mencerminkan pendekatan dakwah yang fleksibel dan penuh kesabaran.
Sejarah kepemimpinan juga menjadi topik yang mengemuka. Prof. Taqdir mengungkap bahwa perebutan kekuasaan, seperti antara Arya Penangsang dan Danang Sutawijaya, sering kali dipengaruhi oleh perbedaan mazhab keagamaan. Arya Penangsang dikenal sebagai santri puritan, sedangkan Danang Sutawijaya mewakili tradisi lokal yang lebih akulturatif.
Melalui berbagai kisah sejarah ini, Prof. Taqdir menekankan pentingnya karakter dalam memilih pemimpin. Ia mengutip sifat-sifat utama dalam kepemimpinan Islam, yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (transparan). Menurutnya, karakter yang baik lebih penting daripada sekadar keahlian, karena keahlian dapat dipelajari, sedangkan integritas sulit digantikan.
Prof. Taqdir menutup diskusi dengan refleksi bahwa kepemimpinan adalah amanah yang harus dijalankan dengan kejujuran dan tanggung jawab, baik kepada masyarakat maupun keluarga. “Semoga kita senantiasa diberikan pemimpin yang berkarakter dan mampu membawa masyarakat menuju kebaikan,” tutupnya penuh harap. Wallahu a’lam bishawab.