web stats
Home » Tafsir Q.S Fussilat Ayat 52-54Tanda-Tanda Kebenaran Al-Qur’an: Peringatan Bagi yang Menyimpang

Tafsir Q.S Fussilat Ayat 52-54Tanda-Tanda Kebenaran Al-Qur’an: Peringatan Bagi yang Menyimpang

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim Lc., M.A.

قُلْ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ ثُمَّ كَفَرْتُمْ بِهٖ مَنْ اَضَلُّ مِمَّنْ هُوَ فِيْ شِقَاقٍۢ بَعِيْدٍ سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ اَلَآ اِنَّهُمْ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْ لِّقَاۤءِ رَبِّهِمْ ۗ اَلَآ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطٌ ࣖ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Bagaimana pendapatmu jika (Al-Qur’an) itu datang dari sisi Allah, kemudian kamu mengingkarinya? Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu menyimpang jauh (dari kebenaran)?”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar. Tidak cukupkah (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? Ketahuilah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ketahuilah, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu.

Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) menjelaskan tabiat-tabiat orang kafir—bagaimana ketika mereka mendapatkan nikmat dari Allah, lalu bagaimana pula ketika mereka ditimpa musibah atau bencana—Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) memerintahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) untuk menyampaikan perintah kepada mereka. Apa perintah itu?

Allah berfirman, “Qul (قُلْ)” (Katakanlah):

“أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ثُمَّ كَفَرْتُمْ بِهِ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ هُوَ فِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ”

Artinya, “Bagaimana pendapat kalian, jika Al-Qur’an itu benar-benar datang dari sisi Allah, lalu kalian mengingkarinya? Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang berada dalam kesesatan yang jauh?”

Ma’asyiral Muslimin (مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ) wa Zumaratal Mukminin (زُمَرَةَ الْمُؤْمِنِينَ) Arsyadakumullah,

Para ulama ahli tafsir, seperti Al-Imam Al-Baghawi (الإِمَامُ الْبَغَوِيّ), Al-Imam Ibnu Katsir (الإِمَامُ ابْنُ كَثِير) rahimahumullah (رَحِمَهُمُ اللَّهُ), serta para mufassir (مُفَسِّر) lainnya, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “in kana min ‘indillah (إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ)” adalah bahwa Al-Qur’an ini datang dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى). Kata “kana (كَانَ)” dalam ayat ini merujuk kepada Al-Qur’anul Karim (الْقُرْآنُ الْكَرِيمُ).

Perintah ini ditujukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) agar beliau menyampaikan hal ini kepada kaum kafir Quraisy. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir (ابْنُ كَثِير) rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ):

“Qul ya Muhammad li haulail musyrikin almukadzibin bil-Qur`an (قُلْ يَا مُحَمَّدُ لِهَؤُلَاءِ الْمُشْرِكِينَ الْمُكَذِّبِينَ بِالْقُرْآنِ).” Artinya, “Katakanlah, wahai Muhammad, kepada orang-orang musyrik itu, mereka yang mendustakan Al-Qur’an.”

Apa yang disampaikan kepada mereka? “Ara`aitum in kana min ‘indillah tsumma kafartum bihi (أَرَأَيْتُمْ إِنْ كَانَ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ ثُمَّ كَفَرْتُمْ بِهِ).”

Artinya, “Bagaimana pendapatmu, jika Al-Qur’an itu benar-benar datang dari sisi Allah, lalu kalian tetap mengingkarinya?”

Ketika akhirnya mereka tidak lagi memiliki alasan atau argumen untuk membantah kebenaran Al-Qur’an sebagai wahyu yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), maka jelaslah bahwa mereka berada dalam kesesatan yang jauh (syiqaqin ba’id – شِقَاقٍ بَعِيدٍ).

Tapi kemudian, apakah ketika mereka sudah mempercayai dan tidak bisa membantah akal mereka dengan logika, mereka kemudian dapat mempercayai bahwa Al-Qur’an itu betul-betul dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى)? Ketika mereka tidak bisa membuat ayat yang serupa, ketika mereka tidak mampu membantah hujah-hujah atau argumen-argumen ilmiah yang ada dalam Al-Qur’an, yang jelas telah dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ), mengapa mereka tetap ingkar dengannya?

Jika sudah seperti itu, Allah berfirman:

“مَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ هُوَ فِي شِقَاقٍ بَعِيدٍ”

Artinya, “Siapakah yang lebih sesat daripada orang yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh dari kebenaran?”

Ibnu Katsir (ابْنُ كَثِير) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “ba’id (بَعِيدٍ)” adalah fajirun, wa ‘anidun lil-haqq wa musrifun ba’idun ‘an al-huda (فَاجِرٌ وَعَنِيدٌ لِلْحَقِّ وَمُسْرِفٌ بَعِيدٌ عَنِ الْهُدَى).

Artinya, “Orang yang tenggelam dalam kekufuran, membangkang terhadap kebenaran, dan berada jauh dari petunjuk.”

Apakah ada orang yang lebih sesat daripada mereka yang durhaka terhadap apa yang Allah katakan, kemudian ngeyel melawan kebenaran, dan berada di jalan yang jauh dari petunjuk? Jika sudah seperti itu, tidak ada yang lebih sesat daripada mereka.

Ikhwah fillah (إِخْوَةٌ فِي اللَّهِ), arsadakumullah (أَرْشَدَكُمُ اللَّهُ), dalam ayat ini terdapat beberapa pelajaran yang bisa kita ambil, terutama secara tarbawi (تَرْبَوِيّ). Salah satu pelajaran tersebut adalah penggunaan metode uslub at-talqin (أُسْلُوبُ التَّلْقِينِ).

Talkin (تَلْقِينٌ) berasal dari kata laqana – yulaqqinu – talqinan (لَقَّنَ – يُلَقِّنُ – تَلْقِينًا), seperti dalam sabda Rasulullah *Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ):

“لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ” Artinya, “Talkinkan (bimbinglah) orang-orang yang akan meninggal di antara kalian dengan kalimat ‘La ilaha illallah’.”

Maka, tahlil (تَهْلِيلٌ) yang diupayakan secara maksimal adalah sebelum wafat, agar seseorang dapat mengakhiri kalamnya dengan kalimat ‘La ilaha illallah (لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ)’. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) bersabda:

“مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ” Artinya, “Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum wafat adalah ‘La ilaha illallah’, maka ia akan masuk surga.”

Oleh karena itu, orang-orang yang sedang menghadapi sakaratul maut (سَكَرَاتُ الْمَوْتِ) perlu dibimbing. Sakaratul maut adalah keadaan seperti mabuk, di mana seseorang tidak dapat mengontrol dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, bercampurlah rasa sakit, kekhawatiran, ketakutan, serta bisikan-bisikan setan. Maka, perlu ada bimbingan, terutama bagi orang-orang yang imannya lemah. Namun, bagi orang yang imannya kuat, insyaAllah (إِنْ شَاءَ اللَّهُ) ia dapat menghadapi sakaratul maut dengan baik.

Dalam tarbiah Islamiah (تَرْبِيَة إِسْلَامِيَّة), metode uslub at-talqin (أُسْلُوبُ التَّلْقِينِ), meskipun klasik, masih sangat efektif, terutama untuk anak-anak dan materi-materi penting seperti akidah (عَقِيدَةٌ). Materi akidah, pada beberapa aspeknya, memang perlu ditalkinkan atau bahkan didoktrinkan. Meskipun terkesan dogmatis, inilah hakikat iman. Tidak semua hal bisa dilogikakan, didiskusikan, atau diperdebatkan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) berfirman: “فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ”

Artinya, “Maka barang siapa yang mau, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang mau, hendaklah ia kufur.”

Kita berusaha menjelaskan kebenaran dengan argumen ilmiah, hujah yang kuat, serta logika yang dapat diterima. Namun, pada akhirnya, khususnya terkait dengan hal-hal gaib seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), hari kiamat, atau perkara-perkara yang tidak terlihat (ghaibiyat – غَيْبِيَّات), ujungnya adalah iman. Percaya atau tidak percaya, semuanya kembali kepada diri kita masing-masing.

Maka, dalam hal-hal tertentu dan pada tema-tema tertentu, talkin (تَلْقِينٌ) ini penting. Mendikte dalam beberapa hal itu juga penting, meskipun ada metode-metode lain seperti uslubul hiwar (أُسْلُوبُ الْحِوَارِ), yaitu metode berdialog, atau uslubut tafkir al-‘ilmi (أُسْلُوبُ التَّفْكِيرِ الْعِلْمِيِّ), yaitu metode mengajak berpikir secara ilmiah, dan sebagainya. Namun, metode-metode ini perlu disesuaikan dengan kondisi mutarabbi (مُتَرَبِّي), muta’allim (مُتَعَلِّم), mat’u (مَدْعُوّ), atau kondisi masyarakat yang menjadi objek pendidikan dan dakwah.

Ada usia tertentu dan tema tertentu yang lebih cocok dengan metode talkin (تَلْقِينٌ). Misalnya, anak kecil disuruh berpikir mendalam tentu belum bisa, bahkan untuk membedakan yang baik dan buruk (mumayyiz – مُمَيِّزٌ) saja belum mampu. Disuruh membaca pun belum bisa. Maka, pada tahap itu, talkin diperkuat.

Termasuk apa yang Allah perintahkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) adalah bentuk talkin. Setiap ayat yang dimulai dengan “Qul (قُلْ)”—katakanlah—adalah bagian dari uslubut talkin (أُسْلُوبُ التَّلْقِينِ) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) untuk menyampaikan persis seperti apa yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Secara tarbawi (تَرْبَوِيّ), kaitannya dengan kesesatan yang nyata, ternyata kesesatan yang paling nyata dan paling sesat itu sering kali dilakukan oleh orang-orang yang berilmu. Maka, berhati-hatilah. Kita semua yang berilmu, terutama antum sekalian yang rajin mengikuti kajian, rajin belajar, apalagi teman-teman santri yang belajar agama sejak belia di pesantren, lalu melanjutkan studi agama di tingkat perguruan tinggi atau dalam dirasah diniyah (دِرَاسَةٌ دِينِيَّةٌ), berpeluang besar untuk terjerumus menjadi orang-orang yang paling sesat jika berpaling dari kebenaran.

Bahasa Al-Qur’an menggambarkan orang-orang seperti itu sebagai yang selalu berada dalam penyimpangan yang jauh dari kebenaran. Mereka adalah orang-orang yang awalnya sudah tahu kebenaran, tetapi tetap berpaling darinya. Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya.

Dalam Al-Qur’an, terutama dalam surah Al-Fatihah, mereka digambarkan sebagai orang-orang yang maghdub ‘alaihim (مَغْضُوبٍ عَلَيْهِمْ). Setiap kita membaca surah Al-Fatihah, kita memohon kepada Allah:

“اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ” Artinya, “Tunjukkanlah kepada kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.”

Sebagian ulama menafsirkan “jalan orang-orang yang diberi nikmat” ini dengan merujuk pada ayat lain, seperti firman Allah:

“فَأُوْلَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ”  Artinya, “Mereka itulah orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, orang-orang yang jujur, para syuhada, dan orang-orang saleh.”

Kita berharap menjadi bagian dari mereka. Namun, doa ini juga dilengkapi dengan permohonan agar dijauhkan dari jalan yang buruk, yaitu jalan orang-orang yang dimurkai (maghdub ‘alaihim – مَغْضُوبٍ عَلَيْهِمْ) dan jalan orang-orang yang sesat (dhalin – ضَالِّينَ).

Menurut sebagian ulama, maghdub ‘alaihim adalah orang-orang yang lebih sesat daripada dhalin. Orang-orang dhalin tersesat karena kebodohan mereka, sedangkan orang-orang maghdub ‘alaihim dimurkai karena mereka sebenarnya tahu kebenaran, tetapi memilih untuk mengingkarinya.

Sebagian ulama menafsirkan dhalin sebagai orang-orang Nasrani dan maghdub ‘alaihim sebagai orang-orang Yahudi. Mengapa demikian? Karena meskipun keduanya berada di jalan yang buruk, kelompok pertama dikategorikan sebagai maghdub ‘alaihim karena mereka tahu bahwa Al-Qur’an datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), tetapi tetap berpaling darinya. Maka, mereka menjadi orang-orang yang dimurkai.

Ketika sebagian ulama menafsirkan bahwa maghdub ‘alaihim (مَغْضُوبٍ عَلَيْهِمْ) adalah orang-orang Yahudi, hal ini memang sangat sesuai. Bagaimana tidak, orang-orang Yahudi itu sebenarnya telah mengetahui kebenaran Al-Qur’an. Mereka juga mengakui bahwa akan datang seorang nabi akhir zaman yang bernama Ahmad atau Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ).

Dalam Al-Qur’an, ditegaskan bahwa mereka mengenal ciri-ciri nabi akhir zaman itu sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Namun, ketika ternyata nabi akhir zaman itu tidak berasal dari keturunan mereka, tidak berasal dari darah mereka, melainkan dari keturunan Nabi Ismail ‘Alaihissalam (عَلَيْهِ السَّلَامُ), yaitu bangsa Arab, mereka tidak mau menerimanya. Padahal mereka tahu betul bahwa ciri-ciri nabi tersebut sesuai dengan apa yang disebutkan dalam kitab-kitab mereka.

Meskipun sudah mengetahui kebenaran ini, mereka tetap kufur. Mereka sudah yakin, tetapi tidak mau beriman karena kesombongan mereka. Ini adalah kondisi yang sangat berbahaya. Orang-orang seperti ini, yang telah mengetahui bahwa kebenaran itu berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), tetapi tetap kufur, menjadi lebih sesat daripada orang-orang yang tersesat karena kejahilan mereka.

Kita harus berhati-hati. Insyaallah, kita tidak sampai mengingkari Al-Qur’an seperti orang-orang Yahudi atau Nasrani. Namun, sering kali dalam kehidupan sehari-hari, dalam berbagai hal—baik besar maupun kecil—kita sudah tahu bahwa sesuatu itu salah, tetapi tetap kita lakukan. Atau mungkin kita sudah tahu siapa yang benar, tetapi karena alasan pragmatisme, kepentingan tertentu, atau ketakutan terhadap sesuatu, kita malah tidak mengikuti atau membelanya.

Hal seperti ini perlu kita waspadai. Meskipun dosis penyimpangannya mungkin lebih ringan, biasakanlah untuk menjadi orang yang konsisten terhadap kebenaran. Jangan sampai kita menjadi seperti mereka, yang mengetahui kebenaran tetapi tetap berpaling darinya. Hal ini, jika dibiarkan, lama-kelamaan bisa membawa kita kepada kondisi yang serupa dengan apa yang dialami oleh orang-orang musyrik.

Jemaah sekalian yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى), poin tarbawi yang kedua sangat penting untuk kita renungkan. Sebagai orang-orang yang telah diberi ilmu dan mengetahui kebenaran, hendaknya kita berkomitmen untuk melaksanakan, memegang teguh, dan tidak berpaling sedikit pun dari kebenaran itu. Jangan sampai kita mengingkarinya atau berpaling darinya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53).

Ma’asyiral Muslimin wa Ummatal Mukminin (مَعَاشِرَ الْمُسْلِمِينَ وَأُمَّةَ الْمُؤْمِنِينَ), para mufasir memiliki beberapa pendapat mengenai makna dari آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ (ayat-ayat Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri). Ketika orang-orang kafir mengingkari kebenaran yang telah mereka ketahui, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam akan memperlihatkan tanda-tanda kekuasaan-Nya baik di bumi maupun dalam diri mereka sendiri.

Para mufasir, seperti Ibnu Katsir Rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ), menafsirkan bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah di segenap penjuru bumi (في الآفاق) adalah berupa kemenangan-kemenangan Islam dan tersebarnya agama Islam di berbagai wilayah, daerah, dan negeri. Islam menjadi kuat dan mengungguli agama-agama lain.

Adapun makna وَفِي أَنفُسِهِمْ (dalam diri mereka sendiri), beberapa mufasir mengaitkannya dengan Perang Badar. Dalam Perang Badar, secara hitung-hitungan manusia, kaum muslimin seharusnya kalah. Pasukan muslimin hanya sekitar 300 orang, sebagian ulama mengatakan bahkan kurang dari itu, melawan 1.000 pasukan kafir Quraisy yang lengkap dengan persenjataan. Kaum muslimin sendiri tidak membawa senjata perang kecuali senjata-senjata ringan untuk berburu. Namun, kemenangan tetap berada di pihak kaum muslimin karena ini adalah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah kaum kafir Quraisy didakwahi, dinasihati, dan tetap tidak mau beriman, meskipun mereka telah mengetahui kebenaran, mereka berpaling darinya. Maka, janji Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi nyata: سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ. Salah satu bentuknya adalah kemenangan kaum muslimin di Perang Badar.

Pendapat lain mengatakan bahwa وَفِي أَنفُسِهِمْ merujuk pada Fathu Makkah, yaitu ketika Makkah berhasil dikuasai kembali oleh kaum muslimin. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat ini mencakup seluruh kemenangan kaum muslimin secara umum di berbagai peristiwa.

Berikutnya adalah bukti ayat-ayat dan tanda-tanda kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala (سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) yang ditujukan kepada orang-orang yang kufur. Beberapa mufasir, seperti yang dinukil oleh Al-Imam Al-Baghawi, menyampaikan pendapat yang berasal dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma (رَضِيَ ٱللَّٰهُ عَنْهُمَا). Pendapat tersebut menjelaskan bahwa makna sanurihim ayatina fil afaq adalah tentang posisi-posisi atau kondisi umat-umat terdahulu (مَنَازِل ٱلْأُمَم ٱلْقَالِيَة). Mereka adalah umat-umat yang telah binasa, ditelan bumi, dan hilang dari sejarah. Itu merupakan bukti nyata kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun makna وَفِي أَنفُسِهِمْ (dalam diri mereka sendiri) bisa berupa bala, cobaan, bencana, penyakit-penyakit, atau wabah yang menimpa manusia. Pendapat ini menunjukkan bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah tidak hanya terjadi secara eksternal, tetapi juga dialami secara langsung oleh manusia dalam diri mereka sendiri.

Lalu, mana yang benar di antara berbagai pendapat tersebut? Semua tafsir tersebut relevan, karena ayat ini mengandung makna yang luas. Istilah sanurihim ayatina fil afaq bisa merujuk pada semua fenomena alam yang menjadi tanda-tanda kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti banjir, badai besar, gunung meletus, dan lain sebagainya. Semua itu adalah bagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah di penjuru bumi.

Demikian pula, kemenangan-kemenangan kaum muslimin merupakan wujud dari janji Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mulai terwujud satu per satu. Hal ini mencakup kehancuran dan kehinaan orang-orang yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Misalnya, kehancuran yang menimpa orang-orang kafir Quraisy pada Perang Badar dan Uhud, serta kehancuran lain yang dialami musuh-musuh Islam dalam berbagai peperangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

 أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ “Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fussilat: 53).

Ini adalah kalimat yang sangat keras, ditujukan kepada orang-orang kafir. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (صَلَّى ٱللَّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) yang menyampaikan firman Allah itu membawa hujah-hujah dan mukjizat yang kuat. Namun, sebagian besar mereka tetap tidak percaya. Apa yang sebenarnya mereka tunggu? Apakah mereka harus dibenturkan dengan musibah dan bencana terlebih dahulu untuk bisa beriman?

Dalam sejarah, orang-orang kafir Quraisy yang tewas pada Perang Badar dan Uhud, serta orang-orang yang binasa dalam berbagai peperangan lainnya, seolah menjadi peringatan bagi mereka yang masih hidup. Mengapa mereka tidak segera beriman sebelum terlambat? Padahal, Allah dan Rasul-Nya telah menjadi saksi atas kebenaran risalah yang dibawa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman lagi: أَلَا إِنَّهُمْ فِي مِرْيَةٍ مِّن لِّقَائِ رَبِّهِمْ أَلَا إِنَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيط “Ketahuilah bahwa mereka benar-benar dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ketahuilah bahwa Dia meliputi segala sesuatu.” (QS. Fussilat: 54).

Ibnu Katsir Rahimahullah (رَحِمَهُ اللَّهُ) menjelaskan bahwa yang membuat mereka ragu terhadap kebenaran Allah dan Rasul-Nya adalah karena mereka tidak meyakini adanya hari kiamat. Keraguan mereka terhadap hari akhir ini membuat mereka tidak mempersiapkan amal untuk menghadapinya. Mereka hidup semaunya sendiri, acuh tak acuh terhadap aturan Allah, dan tidak peduli akan kehidupan setelah mati.

Sebagai kaum muslimin, kita harus berhati-hati agar tidak memiliki ciri-ciri seperti orang-orang kafir yang ragu terhadap hari kiamat. Meski kita beriman kepada hari kiamat sebagai salah satu rukun iman, kita harus terus memikirkan dan mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Jangan sampai perilaku sehari-hari kita justru menyerupai ciri-ciri mereka yang tidak peduli terhadap hari akhir.

Salah satu ciri orang yang ragu terhadap hari kiamat adalah mereka enggan memikirkan kehidupan setelah mati. Ketika diingatkan tentang surga dan neraka, mereka menganggapnya sebagai tema yang kuno, mitos, atau tidak relevan. Padahal, kehidupan akhirat adalah kepastian yang harus kita yakini dan persiapkan.

Seharusnya kita beramal dan bersiap untuk menghadapi hari kiamat. Jika ditanya, “Percaya tidak kepada hari kiamat?” Maka jawabannya adalah percaya. Tetapi, jika ditanya, “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapi hari kiamat?” dan tidak ada yang dipersiapkan, maka itu berarti masih ada keraguan dan belum yakin 100%.

وَلَا يَحْذَرُونَ مِنْهُ Mereka tidak berhati-hati. Hal ini, semoga Allah melindungi kita, jangan sampai terjadi pada diri kita. Jika ada tanda-tanda seperti ini, maka bisa jadi terdapat keraguan, meskipun jika ditanya secara akal, wawasan, atau keimanan tipisnya, jawabannya adalah percaya. Tetapi, kepercayaan itu, iman itu, memiliki tingkatan-tingkatan atau level-level tertentu.

Iman tidak hanya soal pengakuan semata. Sebagaimana kaidah الإيمان تصديق بالقلب وإقرار باللسان وعمل بالجوارح (Al-Iman tasdiq bil-qalb wa iqrar bil-lisan wa ‘amal bil-jawarih), iman adalah membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan, dan membuktikan dengan perbuatan.

Jika lisan kita mengatakan “Ya, percaya kepada hari kiamat,” dan hati kita meyakini datangnya hari kiamat, tetapi anggota tubuh kita—perbuatan dan tingkah laku sehari-hari kita—tidak mencerminkan upaya mempersiapkan diri menghadapi hari akhir, maka itu berarti iman kita belum sempurna.

Ini adalah nasihat yang bisa disampaikan. Semoga bermanfaat dan Allah Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk meningkatkan keimanan dan mempersiapkan diri menghadapi hari akhir. وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ (Wallahu A’lam bish-Showab).

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00