web stats
Home » Belajar Tentang Kesabaran Dari Keluarga Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam

Belajar Tentang Kesabaran Dari Keluarga Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassallam

by Indra Jaya Sutan Bandaro
0 comment

Oleh: Ustadz Arif Rif’an, S.H.I,. M.S.I.


Kajian kita kali ini bersandar pada kitab Ar-Rahiq Al-Makhtum karya Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. Kita akan tetap memulai pembahasan dari kitab ini hingga sampai di halaman ke-87. Judul yang tercantum di halaman tersebut tidak persis sama dengan tema kajian kita hari ini, namun memiliki keterkaitan erat.

Pembahasan ini menyangkut pemikiran tentang bagaimana orang-orang musyrik merencanakan, dalam bahasa kita, untuk membinasakan Rasulullah ﷺ. Dikisahkan, ketika Rasulullah ﷺ mulai secara terbuka menyampaikan dakwah, tantangan besar mulai muncul.

Sebagai pengantar, kita ketahui bahwa Rasulullah ﷺ diangkat menjadi nabi dan rasul pada usia sekitar 40 tahun. Beliau wafat pada usia sekitar 63 tahun, atau dalam beberapa riwayat, 63 tahun lebih empat hari. Ini berarti ada rentang waktu sekitar 23 tahun antara masa pengangkatan hingga wafat beliau. Selama itu, 13 tahun beliau berdakwah di Makkah—periode yang dikenal sebagai periode Makkah atau qoblal hijrah. Sementara itu, 10 tahun terakhir merupakan periode Madinah, atau setelah hijrah.

Dalam 13 tahun pertama di Makkah, tiga tahun awal dakwah Rasulullah ﷺ dilakukan secara sembunyi-sembunyi, belum terang-terangan. Setelah itu, Allah memerintahkan beliau untuk berdakwah secara terbuka kepada manusia, menyampaikan risalah Islam. Sejak saat itu, tantangan yang dihadapi Rasulullah ﷺ semakin berat, termasuk penolakan dan penganiayaan yang dilakukan secara terbuka oleh kaum musyrik.

Dikisahkan dalam kitab ini, dua kali kaum musyrik mengutus perwakilan mereka untuk menemui paman Rasulullah ﷺ, yaitu Abu Thalib. Mereka meminta Abu Thalib menghentikan dakwah Rasulullah ﷺ, tetapi permintaan itu ditolak. Setelah dua kali gagal, mereka pun mulai menganiaya Rasulullah ﷺ secara langsung.

Ketika kita membaca kisah ini, mari kita sejenak memahami situasinya. Pada hari-hari ketika kaum musyrik merasa gagal dalam upaya mereka menghentikan dakwah Rasulullah ﷺ, mereka dikejutkan oleh sebuah peristiwa besar. Dua orang kesatria Quraisy memutuskan masuk Islam. Siapa mereka? Mereka adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab radhiyallahu anhuma.

Hamzah bin Abdul Muthalib adalah paman Rasulullah ﷺ, putra Abdul Muthalib. Rasulullah ﷺ memiliki beberapa paman dari jalur ayah beliau, Abdullah bin Abdul Muthalib. Dalam beberapa riwayat, disebutkan jumlah paman beliau ada 11, meskipun ada pendapat lain yang menyebut 10, karena dua nama dianggap merujuk pada satu orang. Dari jumlah tersebut, hanya dua paman yang masuk Islam, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abbas bin Abdul Muthalib.

Sebaliknya, ada pula paman Rasulullah ﷺ yang sangat memusuhi beliau, yaitu Abu Lahab. Perlu kita bedakan bahwa Abu Lahab berasal dari Bani Hasyim, sedangkan Abu Jahal dari Bani Makhzum. Abu Lahab sering kali menjadi tokoh utama yang memusuhi Rasulullah ﷺ, bahkan memimpin berbagai upaya untuk menghentikan dakwah Islam.

Dalam sebuah riwayat, disebutkan bagaimana Rasulullah ﷺ pernah mengalami penganiayaan fisik yang sangat berat. Saat beliau sedang sujud di dekat Ka’bah, seseorang menginjak leher beliau dengan keras, hingga mata beliau terasa seperti ingin keluar karena tekanan tersebut. Ini adalah bentuk ujian yang sangat berat, yang tidak pernah kita alami.

Kisah lainnya yang juga menggambarkan kerasnya penganiayaan adalah tentang Utaibah bin Abi Lahab, putra Abu Lahab. Utaibah adalah sepupu Rasulullah ﷺ, namun ia juga termasuk orang yang sangat memusuhi beliau. Hal ini menunjukkan bahwa permusuhan terhadap Rasulullah ﷺ tidak hanya datang dari pihak luar, tetapi juga dari kerabat terdekat beliau.

Suatu hari, Utaibah bin Abu Lahab mendatangi Rasulullah ﷺ dan berkata, “Aku ingkar terhadap apa yang kau bawa!” Ia menolak dan mengingkari sabda Nabi yang merujuk pada Surah An-Najm ayat 1 hingga ayat 8: “Demi bintang ketika terbenam, temanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru…” (An-Najm: 1-8).

Perbuatan Utaibah ini sungguh keterlaluan. Ia tidak hanya mengingkari Rasulullah ﷺ, tetapi juga menganiaya beliau. Disebutkan bahwa ia merobek pakaian Rasulullah ﷺ, meludah ke arah wajah beliau, dan bahkan memukul. Namun, berkat kehendak Allah, ludahnya tidak mengenai Rasulullah ﷺ karena beliau berhasil menghindarinya. Rasulullah ﷺ lalu berdoa, “Ya Allah, binasakanlah dia dengan Engkau mengutus salah satu dari anjing-anjing ciptaan-Mu.”

Doa Rasulullah ﷺ ini kemudian dikabulkan. Dalam suatu perjalanan menuju negeri Syam bersama rombongannya, Utaibah singgah di sebuah tempat bernama Zarqa. Tiba-tiba, seekor singa datang mendekati rombongannya. Singa tersebut mengitari kelompok mereka, tetapi hanya mendekati Utaibah. Menyadari hal itu, Utaibah berkata, “Celakalah aku! Sepertinya inilah akibat dari doa Muhammad terhadapku.” Singa itu langsung menerkam kepala Utaibah hingga ia meninggal di tempat tersebut.

Bapak dan Ibu sekalian, tahukah Anda hubungan lain antara Rasulullah ﷺ dan Utaibah selain hubungan sebagai sepupu? Istri pertama Rasulullah ﷺ adalah Khadijah binti Khuwailid radhiallahu anha. Dari Ummul Mukminin Khadijah, Rasulullah ﷺ memiliki enam anak: Al-Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah. Kemudian, Rasulullah ﷺ memiliki seorang anak lagi dari istri beliau yang bernama Maria al-Qibthiyah, yang berkebangsaan Mesir. Anak tersebut bernama Ibrahim. Secara keseluruhan, Rasulullah ﷺ memiliki tujuh anak.

Dari ketujuh anak Rasulullah ﷺ, hanya Fatimah yang hidup lebih lama daripada beliau. Al-Qasim dan Abdullah meninggal ketika masih kecil, begitu pula Ibrahim. Adapun Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum adalah anak-anak Rasulullah ﷺ yang menikah. Menariknya, Ruqayyah dan Ummu Kultsum pernah menjadi menantu Abu Lahab. Ruqayyah menikah dengan Utbah bin Abu Lahab, sedangkan Ummu Kultsum menikah dengan Utaibah bin Abu Lahab. Jadi, orang yang kita ceritakan tadi, yaitu Utaibah, yang menganiaya Rasulullah ﷺ, pada mulanya adalah menantu beliau.

Namun, setelah Rasulullah ﷺ menerima risalah kenabian dan mulai berdakwah, permusuhan Abu Lahab terhadap beliau semakin menjadi-jadi. Abu Lahab memerintahkan kedua putranya, Utbah dan Utaibah, untuk menceraikan Ruqayyah dan Ummu Kultsum sebagai bentuk penghinaan terhadap Rasulullah ﷺ. Hubungan keluarga yang sebelumnya erat pun berubah menjadi permusuhan yang nyata.

Meskipun begitu, keluarga Rasulullah ﷺ tidak pernah diajarkan untuk memendam dendam. Sebaliknya, Rasulullah ﷺ selalu mengedepankan kasih sayang dan kebaikan, bahkan kepada orang yang memusuhinya. Terdapat riwayat yang menyebutkan bahwa Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu anha kurang menyukai keluarga Abu Lahab, terutama Ummu Jamil, istri Abu Lahab, karena perangainya yang buruk. Namun, riwayat ini dianggap lemah dalam kriteria ilmu hadis.

Bapak dan Ibu sekalian, apakah Anda mengenal Abu Sufyan bin Harb radhiallahu anhu? Beliau adalah seorang tokoh Quraisy yang nantinya masuk Islam. Abu Sufyan memiliki seorang saudara perempuan bernama Arwa binti Harb. Arwa inilah yang menikah dengan Abu Lahab dan kemudian dikenal dengan nama Ummu Jamil.

Ketika Rasulullah ﷺ mulai menyampaikan risalah Islam dan secara terbuka mendakwahkan ajaran Allah, Abu Lahab beserta istrinya, Ummu Jamil, termasuk di antara penentang yang paling keras terhadap beliau. Bahkan, mereka memerintahkan kedua anak laki-lakinya, Utbah dan Utaibah, untuk menceraikan kedua putri Rasulullah ﷺ, yaitu Ruqayyah dan Ummu Kultsum. Setelah diceraikan, Ruqayyah kemudian menikah dengan Utsman bin Affan radhiallahu anhu, dan keduanya nantinya ikut berhijrah.

Kebencian Abu Lahab terhadap Rasulullah ﷺ tidak berhenti sampai di situ. Ia dan istrinya terus berusaha menyakiti Rasulullah ﷺ dengan berbagai cara. Pada masa itu, kehidupan malam di Makkah tidak seperti sekarang. Tidak ada penerangan seperti listrik, dan jalanan hanya diterangi cahaya bulan atau obor. Di tengah kondisi seperti itu, mereka menaruh duri di jalan yang sering dilewati Rasulullah ﷺ.

Ketika Rasulullah ﷺ berada di dekat Ka’bah, mereka bahkan mengumpulkan orang-orang yang sependapat untuk menghadang dan memukuli beliau. Saat itu, para sahabat merasa tidak berdaya karena banyaknya orang yang memusuhi Rasulullah ﷺ. Salah seorang sahabat meriwayatkan bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani melindungi Rasulullah ﷺ, kecuali satu orang.

Suatu hari, ketika Rasulullah ﷺ sedang thawaf, Abu Lahab dan para pengikutnya menghadang beliau. Mereka berkata, “Wahai Muhammad, kamukah yang berbicara tentang berhala-berhala kami seperti itu?” Rasulullah ﷺ menjawab, “Iya.” Mereka melanjutkan, “Kamukah yang mengatakan hal-hal buruk tentang sesembahan nenek moyang kami?” Rasulullah ﷺ kembali menjawab, “Iya.” Mendengar jawaban tersebut, mereka pun langsung memukuli Rasulullah ﷺ dengan sangat kejam.

Di tengah situasi tersebut, seorang sahabat berani tampil melindungi Rasulullah ﷺ. Orang itu adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu anhu. Dengan penuh keberanian, Abu Bakar melindungi Rasulullah ﷺ, bahkan rela menanggung pukulan dan siksaan yang seharusnya diterima beliau. Abu Bakar berkata lantang, “Apakah kalian akan membunuh seseorang hanya karena ia mengatakan bahwa Tuhannya adalah Allah?”

Abu Bakar memukul dan menendang orang-orang yang menyerang Rasulullah ﷺ. Namun, akhirnya mereka beralih menyerang Abu Bakar hingga ia hampir mati. Abu Bakar diinjak dadanya dan nyaris dibunuh. Di tengah kekejaman itu, terdengar suara teriakan dari seseorang yang memperingatkan Bani Tamim, kabilah Abu Bakar. Orang itu berkata, “Jika Abu Bakar mati, apakah kalian sanggup menghadapi kemarahan Bani Tamim?” Mendengar ancaman tersebut, orang-orang pun menghentikan serangan mereka. Berkat keberanian dan pengorbanan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Rasulullah ﷺ terhindar dari penganiayaan lebih lanjut.

Bapak dan Ibu sekalian, kita tidak pernah menghadapi dakwah seberat yang dihadapi Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya. Kita tidak pernah mengalami salat dengan leher diinjak, tetapi sering kali kita merasa sudah terlalu berat menjalankan dakwah. Bahkan, terkadang kita justru terjebak dalam pertengkaran di antara sesama kita sendiri. Kisah ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih sabar, tegar, dan bersatu dalam menegakkan agama Allah.

Bapak dan Ibu sekalian, mari kita coba bayangkan kisah ini. Abu Lahab, paman Rasulullah ﷺ, wafat setelah Perang Badar. Namun, kematiannya bukan terjadi dalam peperangan itu sendiri. Peristiwa ini terjadi setelah kemenangan kaum Muslimin dalam Perang Badar, yang berlangsung pada tahun kedua hijriah.

Untuk memahami kronologi ini, mari kita lihat kembali waktunya. Hamzah dan Umar bin Khattab radhiallahu anhuma masuk Islam pada tahun keenam setelah kenabian. Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya masih berada di Makkah hingga tahun ke-13 setelah kenabian, kemudian hijrah ke Madinah. Setelah dua tahun di Madinah, barulah terjadi Perang Badar. Sepulangnya dari Perang Badar, Abu Lahab jatuh sakit dan wafat.

Ruqayyah, putri Rasulullah ﷺ, dinikahi oleh Utsman bin Affan radhiallahu anhu. Ketika Perang Badar berlangsung, Ruqayyah tengah sakit parah. Rasulullah ﷺ meminta Utsman untuk tetap tinggal di Madinah guna merawat istrinya. Saat Rasulullah ﷺ kembali dari Perang Badar, Ruqayyah telah wafat dan dimakamkan. Rasulullah ﷺ sangat bersedih atas kepergian putrinya, namun ujian bagi keluarga beliau tidak berhenti di situ.

Utsman bin Affan radhiallahu anhu pun terlihat sangat berduka. Ketika Rasulullah ﷺ bertanya, Utsman menjawab, “Ya Rasulullah, adakah orang yang merasakan kesedihan seperti kesedihanku ini? Istriku, putri Rasulullah, telah meninggal dunia, dan aku merasa kehilangan hubungan kekerabatan denganmu.” Mendengar hal itu, Rasulullah ﷺ menjawab, “Wahai Utsman, dengarkanlah. Aku telah mendapatkan petunjuk bahwa aku akan menikahkan Ummu Kultsum denganmu, dengan mahar yang sama seperti yang diterima oleh Ruqayyah.”

Ummu Kultsum kemudian dinikahkan dengan Utsman bin Affan, sehingga ia menjadi menantu Rasulullah ﷺ untuk kedua kalinya. Oleh karena itu, Utsman bin Affan dikenal sebagai “Dzunnurain” (pemilik dua cahaya) karena menikahi dua putri Rasulullah ﷺ. Ummu Kultsum menemani Utsman selama enam tahun hingga wafat pada tahun kesembilan hijriah karena sakit.

Setelah wafatnya Ummu Kultsum, Fatimah radhiallahu anha menjadi satu-satunya putri Rasulullah ﷺ yang masih hidup. Ia wafat pada tahun ke-11 hijriah, enam bulan setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.

Jika kita melihat kisah keluarga Rasulullah ﷺ secara keseluruhan, putra-putra beliau, yaitu Abdullah, Ibrahim, dan Al-Qasim, meninggal ketika masih kecil. Putri beliau, Zainab, menikah dengan Abul Ash bin Rabi. Abul Ash awalnya seorang musyrik, namun kemudian masuk Islam. Ketika Ruqayyah dan Ummu Kultsum diceraikan oleh suami-suami mereka atas perintah Abu Lahab, hal ini tentu menjadi cobaan berat bagi Rasulullah ﷺ dan ibunda mereka, Ummul Mukminin Khadijah radhiallahu anha.

Khadijah binti Khuwailid memiliki keistimewaan yang luar biasa. Beliau adalah orang pertama yang masuk Islam, bahkan sebelum putri-putri Rasulullah ﷺ yang saat itu tinggal di rumah suami-suami mereka. Khadijah juga adalah orang pertama yang diajarkan wudu dan salat. Dalam sebuah hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim, Abu Hurairah radhiallahu anhu menceritakan bahwa Jibril datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, “Ya Rasulullah, Khadijah akan datang kepadamu membawa nampan berisi makanan dan minuman. Sampaikanlah salam dari Rabbnya Azza wa Jalla dan dariku untuknya. Berilah kabar gembira bahwa Allah telah menyediakan rumah di surga untuknya yang terbuat dari permata, tanpa kebisingan dan kelelahan.”

Khadijah adalah pendukung Rasulullah ﷺ di saat semua orang menentang beliau. Ia membenarkan beliau ketika semua orang mendustakan, dan memberikan hartanya untuk mendukung dakwah ketika yang lain menahan bantuan. Dari Khadijah, Rasulullah ﷺ dikaruniai keturunan, sementara istri-istri beliau yang lain tidak melahirkan anak.

Salah satu ujian terberat yang dihadapi Khadijah adalah saat kaum Muslimin dan Bani Hasyim diboikot selama tiga tahun. Mereka tidak bisa membeli makanan, minuman, atau pakaian, bahkan tidak bisa menikahkan putra-putri mereka. Selama masa sulit itu, Khadijah tetap tabah dan tidak pernah mengeluh. Akhirnya, akibat kondisi yang sangat berat, Khadijah jatuh sakit dan wafat pada tahun ke-10 setelah kenabian, tidak lama setelah wafatnya Abu Thalib.

Yang menyebabkan hal seperti itu terjadi, coba perhatikan, Bapak/Ibu. Saya ceritakan tadi bahwa pada tahun kedelapan, Rasulullah kembali ke Makkah. Ada dua menantu Rasulullah yang berasal dari anak-anak Abu Lahab, yaitu Utbah dan Utaibah. Dari dua anak tersebut, Utaibah telah meninggal dunia, sementara Utbah masih hidup. Rasulullah datang kepada pamannya, Abbas, dan meminta agar sepupunya, yaitu Utbah, dicari. Rasulullah bertemu dengan Utbah dan saudaranya. Keduanya didoakan oleh Rasulullah, diajak masuk Islam, dan dimaafkan. Rasulullah bahkan memuji mereka di hadapan para sahabat dengan berkata, “Ini adalah keluargaku.”

Bayangkan jika hal tersebut terjadi pada kita. Mungkin nama orang yang pernah menyakiti kita tidak lagi ingin kita dengar seumur hidup. Namun, Rasulullah tetap berusaha mengajak keluarganya kepada kebaikan meskipun telah mengalami penderitaan luar biasa.

Ketika turun ayat:
“Jadilah pemaaf…”

(Tafsir riwayat Ibnu Abbas menjelaskan bahwa kata khudil ‘afwa di ayat tersebut tidak hanya bermakna memaafkan, tetapi juga bermakna kelebihan harta yang seharusnya digunakan untuk bersedekah.) Rasulullah menunjukkan teladan luar biasa dalam memaafkan. Pelajaran tentang memaafkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan keluarganya sangatlah berat, tetapi wajib kita pelajari. Mengapa memaafkan itu penting? Ini adalah salah satu tema yang selalu saya angkat dalam kajian sirah Nabi di awal tahun.

Bapak/Ibu, salah satu indikator atau tanda orang yang bertakwa disebutkan dalam ayat:
“Bersegeralah kalian kepada ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (Lihat QS Ali Imran: 133-134) Lanjutan ayat tersebut menjelaskan ciri-ciri orang bertakwa:

“…yaitu orang-orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, menahan amarah, dan memaafkan kesalahan orang lain.” (QS Ali Imran: 134)

Namun, kini kita sering mendengar ungkapan seperti, “Saya maafkan, tapi tidak bisa melupakan.” Ini bukanlah ajaran memaafkan yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Sejatinya, memaafkan itu sepenuhnya dikembalikan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Jika kita benar-benar ingin merasakan keberkahan dari langit dan bumi sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Jika penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi…” (QS Al-A’raf: 96)

Maka, dua kata kunci itu, iman dan takwa, harus benar-benar kita wujudkan. Namun, takwa ini bukan sekadar ucapan di lisan atau keyakinan di hati. Banyak detail dari iman yang harus kita lewati. Misalnya, sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

“Tidak dikatakan beriman seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatan lisannya atau tangannya.”

Jadi, orang beriman itu harus bisa menjaga lisannya, tangannya, bahkan perilakunya dari menyakiti orang lain. Rasulullah juga bersabda:

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

Bapak/Ibu, dalam nasihat Rasulullah saat Haji Wada’, disebutkan bahwa darah, kehormatan, dan harta seorang muslim haram untuk dirampas oleh sesama muslim. Namun, kita menyaksikan realitas yang jauh dari ajaran tersebut. Sesama muslim saling menjatuhkan, menghina, bahkan mengkhianati. Padahal, Rasulullah telah melarang sikap iri hati, sombong, mencari-cari kesalahan, hingga memata-matai sesama muslim.

Mari kita kembali pada kisah Zainab, putri Rasulullah yang menikah dengan Abul ‘Ash bin Rabi’. Abul ‘Ash adalah putra dari Halah binti Khuwailid, saudari Ummul Mukminin Khadijah. Dari pernikahan ini, Rasulullah mendapatkan seorang cucu perempuan bernama Umamah.

Rasulullah adalah seorang pemimpin umat yang menghadapi lebih dari 80 pertempuran dalam 10 tahun. Dari jumlah itu, 27 di antaranya beliau pimpin langsung. Namun, beliau tetap memiliki waktu untuk keluarga. Rasulullah sering bermain dengan cucu-cucunya, Hasan dan Husain, bahkan memeluk dan mencium mereka di depan para sahabat. Ketika sahabat mengomentari hal tersebut, Rasulullah tidak menganggapnya tabu.

Rasulullah juga sangat perhatian kepada anak-anaknya, seperti saat beliau kehilangan putranya, Qasim dan Abdullah. Salah satu yang menghibur beliau adalah Zaid bin Haritsah, seorang budak yang kemudian dibebaskan dan diangkat seperti anak sendiri. Ketika Zaid gugur sebagai syahid, Rasulullah menenangkan istri dan anak-anaknya, termasuk Usamah bin Zaid.

Teladan memaafkan, kelembutan, dan kasih sayang Rasulullah kepada keluarganya merupakan pelajaran luar biasa bagi kita. Jika kita ingin menjadi umat yang selamat, mari kita ikuti suri teladan beliau dengan sepenuh hati.

Kita kembali ke Zainab. Ada yang terlewatkan tadi, ada yang terputus. Jadi, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan bahwa beliau telah diangkat sebagai nabi dan rasul, putri beliau, Zainab Radhiallahu ‘anha, langsung beriman kepada beliau. Pada saat itu, suaminya, Abul Ash, masih dalam perjalanan dagang.

Begitu Abul Ash tiba, Zainab menyampaikan kabar tentang diangkatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai nabi dan rasul. Namun, Abul Ash hanya diam saja. Saat peristiwa hijrah Rasulullah, beliau mengingatkan Abul Ash bahwa Zainab telah beriman, sementara dirinya belum. Rasulullah meminta Abul Ash untuk menjaga diri, karena sudah tidak diperbolehkan lagi Zainab tinggal bersamanya. Seharusnya, Zainab dibiarkan untuk hijrah bersama kaum muslimin.

Setelah wafatnya Ummul Mukminin Khadijah Radhiallahu ‘anha, Rasulullah menikah dengan Saudah binti Zam’ah Radhiallahu ‘anha. Pernikahan ini terjadi sebelum Rasulullah menikahi Aisyah Radhiallahu ‘anha, sebagaimana pendapat yang kuat.

Ketika terjadi Perang Badar, Abul Ash ikut dalam pasukan orang-orang musyrik yang memerangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Qadarullah, Abul Ash selamat dari kematian dan menjadi tawanan Rasulullah. Dalam peperangan ini, banyak tawanan yang ditebus oleh keluarga mereka. Salah satu kisah yang mengharukan adalah ketika Zainab, putri Rasulullah, mengirimkan kalung pemberian Ummul Mukminin Khadijah sebagai tebusan untuk membebaskan suaminya, Abul Ash.

Kalung itu dikenali oleh semua orang Bani Asad sebagai milik Ummul Mukminin Khadijah, dan Rasulullah juga mengenalinya. Melihat kalung tersebut, Rasulullah sangat terharu dan meminta para sahabat untuk membebaskan tawanan serta mengembalikan kalung itu kepada Zainab. Para sahabat setuju, dan Abul Ash dibebaskan dengan syarat membiarkan Zainab hijrah.

Abul Ash memenuhi janjinya. Namun, dia mengatakan kepada Zainab bahwa mereka harus berpisah karena dirinya belum beriman. Abul Ash tidak ingin keimanannya nanti dianggap hanya karena diminta oleh istrinya. Ketika Zainab hendak berhijrah, dia dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Meskipun tidak disentuh secara fisik, Zainab tidak diizinkan meninggalkan Mekah, sehingga harus kembali dan hidup terpisah dari suaminya.

Peristiwa berikutnya terjadi ketika Abul Ash berdagang, dan kafilah dagangnya ditangkap oleh pasukan muslim yang dipimpin oleh Zaid bin Haritsah Radhiallahu ‘anhu. Abul Ash menjadi tawanan, tetapi kemudian dibebaskan setelah mengembalikan seluruh harta milik orang-orang Quraisy yang ada padanya. Setelah menyelesaikan semua tanggung jawabnya, Abul Ash mengumumkan kepada Quraisy bahwa dirinya beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.

Abul Ash kemudian berhijrah dan membawa Zainab bersamanya. Setelah sekian lama mereka hidup dalam kesedihan, akhirnya pasangan ini bersatu kembali dalam keimanan. Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Zainab sakit dan meninggal dunia pada tahun kedelapan setelah hijrah.

Hampir semua putra-putri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam wafat sebelum beliau, kecuali Fatimah Radhiallahu ‘anha. Fatimah sendiri wafat pada tahun ke-11 setelah hijrah, hanya beberapa bulan setelah Rasulullah wafat.

Rasulullah lahir dalam keadaan yatim, karena ayah beliau meninggal sebelum beliau dilahirkan. Pada usia enam tahun, ibu beliau wafat, sehingga beliau diasuh oleh kakeknya. Setelah kakeknya wafat pada usia delapan tahun, Rasulullah tinggal bersama pamannya, Abu Thalib, hingga usia 25 tahun, kemudian menikah dengan Ummul Mukminin Khadijah Radhiallahu ‘anha.

Itulah takdir Allah yang menunjukkan bagaimana pendamping hidup Rasulullah, Khadijah Radhiallahu ‘anha, menjadi penolong, penguat, dan pendamping setia di masa-masa sulit.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sejak menikah dengan Ummul Mukminin Khadijah, memiliki kisah yang tidak sesederhana seperti yang sering kita baca dalam kitab-kitab sirah. Ada beberapa riwayat yang menggambarkan bagaimana Rasulullah menjadi pedagang yang membawa harta Ummul Mukminin Khadijah untuk diperdagangkan, dan hasilnya kemudian dibagi. Perdagangan tersebut tidak hanya dilakukan sekali saat ke Syam, tetapi juga ke Yaman. Dalam perjalanan itu, Maisarah, pembantu Ummul Mukminin Khadijah, selalu mendampingi Rasulullah, baik ke arah selatan maupun ke utara.

Maisarah selalu menyaksikan kejujuran, amanah, dan kasih sayang Rasulullah yang luar biasa, sehingga keberkahan selalu menyertai perjalanan dagang beliau. Semua pengalaman Maisarah itu disampaikan kepada Ummul Mukminin Khadijah, yang kemudian membuatnya jatuh cinta kepada Rasulullah. Padahal sebelumnya, banyak pedagang utama yang melamar Ummul Mukminin Khadijah setelah dua suaminya terdahulu meninggal, tetapi semuanya ditolak.

Keinginan Ummul Mukminin Khadijah untuk menikah dengan Rasulullah akhirnya disampaikan melalui Nafisah binti Munyah. Rasulullah kemudian memusyawarahkan hal ini dengan paman-paman beliau, yang akhirnya mendatangi pihak Bani Asad. Pernikahan ini menjadi takdir Allah yang sangat baik. Rasulullah, seorang dari Bani Hasyim yang terkenal mulia, dipersatukan dengan Ummul Mukminin Khadijah dari Bani Asad yang juga sangat terhormat.

Bagi yang pernah berhaji atau berumrah, jika ingin membayangkan kebaikan Ummul Mukminin Khadijah, cobalah mengunjungi Gua Hira. Perjalanan naik turun menuju gua itu cukup berat dan penuh bahaya. Namun, dalam tiga tahun terakhir sebelum Rasulullah diangkat sebagai Nabi, Ummul Mukminin Khadijah sering mengirimkan makanan ke Gua Hira untuk beliau. Bayangkan, seorang wanita terkaya di Makkah rela melakukan perjalanan sulit tersebut demi cintanya kepada Rasulullah.

Kehidupan mereka dipenuhi cinta dan pengorbanan. Ketika salah satu putri Rasulullah wafat, beliau sempat meneteskan air mata. Rasulullah menyaksikan sendiri putri-putri beliau sakit keras, seperti dalam kasus Ruqayyah dan Ummu Kultsum, yang meninggal saat beliau sedang bertugas. Rasulullah menangis di tepi kuburan mereka.

Ketika Ummul Mukminin Khadijah wafat, Rasulullah turun langsung ke liang lahadnya. Dalam riwayat, Rasulullah hanya turun ke liang lahad sebanyak empat kali sepanjang hidup beliau, salah satunya saat memakamkan Ummul Mukminin Khadijah, dan yang lainnya saat memakamkan Fatimah binti Asad, ibu dari Ali bin Abi Thalib.

Kisah ini mengajarkan bagaimana Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memperlakukan keluarganya dengan penuh kasih sayang dan harapan, meskipun sering kali keluarga beliau sendiri menjadi tantangan dalam dakwah. Misalnya, paman beliau, Abu Lahab, yang keras menolak Islam. Rasulullah tetap berharap keluarganya dapat menerima dakwah beliau dan menjadi sahabat yang baik.

Rasulullah menyebutkan keutamaan empat perempuan penghuni surga yang paling mulia:

  1. Khadijah binti Khuwailid,
  2. Fatimah binti Muhammad,
  3. Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun,
  4. Maryam binti Imran.

Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari sirah Nabi ini dan menjadikannya ilmu yang bermanfaat dalam kehidupan kita. Amin.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00