Oleh Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
حٰمۤ ۚ عۤسۤقۤ ۗ كَذٰلِكَ يُوْحِيْٓ اِلَيْكَ وَاِلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَۙ اللّٰهُ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيْمُ
Ḥā Mīm. ‘Aīn Sīn Qāf. Demikianlah Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana menurunkan wahyu kepadamu (Nabi Muhammad) dan kepada orang-orang sebelummu. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dialah Zat Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung.
Syura merupakan surah ke-42 secara tertib atau urutan surat-surat dalam Al-Qur’anul Karim. Jumlah ayat dalam surah ini adalah 53 ayat. Surah ini dinamakan dengan Surah Asy-Syura karena terdapat ayat yang berkaitan dengan musyawarah, yakni perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk bermusyawarah. Kata “syura” telah menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia menjadi “musyawarah.” Dalam surah ini, di antara ciri-ciri orang-orang beriman disebutkan, “Wa amruhum syura bainahum”—bagaimana mereka menyelesaikan perkara dengan bermusyawarah. Insyaallah, pembahasan lebih lanjut tentang hal ini akan dijelaskan ketika kita sampai pada ayat tersebut.
Para ulama berpendapat bahwa Surah Asy-Syura ini merupakan surah Makkiyah, yakni surah yang turun sebelum peristiwa hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qurthubi, menurut Ibnu Abbas dan Qatadah, seluruh ayat dalam Surah Asy-Syura ini adalah Makkiyah—turun di Makkah sebelum hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Namun, terdapat empat ayat yang turun di Madinah Al-Munawwarah setelah hijrah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ayat tersebut dimulai dari, “Qul la asalukum ‘alaihi ajran illal mawaddata fil qurba” hingga ayat keempat setelahnya.
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian ayat dalam satu surah dapat saja turun sebelum hijrah, sementara sebagian lainnya turun setelah hijrah. Sebagaimana kita ketahui, turunnya ayat-ayat Al-Qur’an memiliki sebab-sebab tertentu (asbabun nuzul). Bahkan sebelum diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melalui perantara Malaikat Jibril Alaihissalam, Al-Qur’an sudah lengkap dalam bentuk satu kitab utuh—30 juz—yang tersimpan di Lauhul Mahfuz. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkannya ke Baitul Izzah secara keseluruhan (jumlatan wahidatan), kemudian diturunkan secara bertahap kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sesuai dengan sebab-sebab tertentu (munajjaman).
Sebagaimana ayat-ayat Makkiyah lainnya, Surah Asy-Syura ini selain membahas tentang musyawarah, juga mengandung pembahasan utama tentang tauhid, baik tauhid rububiyah, uluhiyah, maupun asma wa sifat. Selain itu, surah ini membahas tentang iman kepada hari akhir, peristiwa hari kiamat, dan keyakinan akan keghaiban. Al-Qur’anul Karim juga dijelaskan sebagai kalamullah yang turun langsung dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tugas utama Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai pemberi peringatan kepada manusia juga menjadi salah satu kandungan dalam surah ini. Di samping itu, Surah Asy-Syura memuat pelajaran-pelajaran keimanan (imaniyat) serta perkara-perkara yang gaib (ghaibiyat), sebagaimana lazimnya kandungan ayat-ayat Makkiyah lainnya.
Maasyiral Muslimin, wumratal Mukminin, arsyadakumullah. Kita akan mulai membahas ayat demi ayat dari Surah Asy-Syura ini, dimulai dengan al-huruf al-muqatta’ah: Ha Mim, ‘Ain Sin Qaf. Penjelasannya tentu sebagaimana al-huruf al-muqatta’ah lain yang terdapat di awal surah-surah lain, seperti Alif Lam Mim, Alif Lam Ra, dan lainnya. Makna dari huruf-huruf ini, menurut pendapat yang rajih dari para mufassir, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mengetahui makna sebenarnya.
Meskipun demikian, terdapat beberapa pendapat ulama mengenai hal ini. Ada yang berpendapat bahwa Ha Mim adalah panggilan untuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, sebagaimana Thaha dan Yasin. Ada pula yang menyatakan bahwa al-huruf al-muqatta’ah ini merupakan bagian dari kemukjizatan Al-Qur’an, di mana ada ayat-ayat tertentu yang la ya’lamu ma’nahu illallah—tidak ada yang mengetahui maknanya selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sepintar apa pun seseorang dalam memahami Al-Qur’an, selalu ada rahasia atau misteri yang hanya diketahui oleh Allah.
Namun, keberadaan al-huruf al-muqatta’ah tidak berkaitan dengan hukum syariat atau ahkam. Ayat-ayat yang muhkamat—ayat-ayat yang jelas dan mengandung hukum—jelas memberikan penekanan pada keimanan dan hukum-hukum syariat. Sedangkan huruf-huruf ini lebih bersifat rahasia dalam hal maknanya.
Ada pula ulama yang berpendapat bahwa al-huruf al-muqatta’ah ini merupakan cara untuk jadbul intibah—menarik perhatian. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menyampaikan kata-kata seperti Ha Mim, ‘Ain Sin Qaf, orang-orang Arab yang tidak memahami maknanya akan menjadi tertarik dan memperhatikan. Hal ini mirip dengan kebiasaan manusia yang cenderung memperhatikan hal-hal yang tidak biasa atau aneh.
Imam Al-Qurthubi dan Imam Ath-Thabari menukil bahwa Ha Mim, ‘Ain Sin Qaf juga mengisyaratkan kondisi Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Ha melambangkan haudh (telaga) Rasulullah di akhirat yang airnya akan diminum oleh umatnya. Mim melambangkan malakuhu al-mamdud—kekuasaan Rasulullah yang terbentang luas, sejak dakwah Islam di Madinah, penaklukan Makkah, hingga penyebaran Islam ke seluruh dunia.
Selanjutnya, ‘Ain melambangkan sunnah-sunnah Rasulullah yang menjadi panduan umatnya. Sementara itu, Qaf melambangkan qiyamuhu fil maqam al-mahmud—kedudukan Rasulullah di tempat yang mulia, yakni maqam mahmud di akhirat kelak. Semua ini adalah pendapat sebagian mufassir, tetapi yang paling mengetahui makna sebenarnya tetaplah Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menyampaikan ayat berikutnya: Kadzalika yuhi ilaika wa ilalladzina min qablika. Ayat ini bermakna, “Demikianlah, Allah mewahyukan kepadamu, wahai Muhammad, sebagaimana Allah mewahyukan kepada nabi-nabi sebelum engkau.”
Imam As-Sa’di menjelaskan, ayat ini menegaskan bahwa wahyu yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah bagian dari kelanjutan wahyu yang telah diberikan kepada para nabi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa risalah yang dibawa Rasulullah merupakan kelanjutan dari risalah para nabi terdahulu.
Jadi, apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala lakukan dengan memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam itu pernah Allah lakukan sebelumnya kepada nabi-nabi dan rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Tentu ini memberi beberapa makna kepada kita.
Pertama, irsalur rasul (diutusnya rasul) dan inzalul wahyu (diturunkannya wahyu) adalah bentuk hikmah dan kasih sayang Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Hal ini bukan hanya terjadi pada zaman kita, melainkan juga pada zaman-zaman sebelumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan rahmat-Nya kepada umat manusia dari generasi ke generasi dengan mengutus nabi dan rasul, serta menurunkan wahyu kepada mereka.
Makna lainnya adalah penguatan iman kita terhadap nabi dan rasul. Sebagai seorang Mukmin, kita diwajibkan untuk beriman kepada nabi dan rasul. Ini adalah bagian dari Rukun Iman. Adik-adik, Rukun Iman yang keberapa iman kepada nabi dan rasul? Yang keempat, ya? Kalau ada yang ngantuk, coba dihitung lagi. Pertama, iman kepada Allah, kedua malaikat, ketiga kitab, lalu keempat rasul.
Artinya, ini memperkuat keimanan kita bukan hanya kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai Khatamul Anbiya wal Mursalin (penutup para nabi dan rasul), tetapi juga kepada semua nabi dan rasul. Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan: Kadzalika yuhi ilaika wa ilalladzina min qablika. Artinya, “Demikianlah, Allah mewahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum engkau.”
Ini menegaskan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus nabi-nabi dan menurunkan wahyu kepada mereka sebelum Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka, kita sebagai umat Islam wajib menghormati semua nabi dan rasul, termasuk Nabi Isa Alaihissalam.
Ketika pada akhir bulan lalu, tanggal 25 Desember menurut kalender mereka, ada perayaan yang mereka yakini sebagai kelahiran Nabi Isa, kita sebagai umat Islam tidak ikut merayakan atau bahkan mengharamkan ucapan selamat. Namun, ini bukan berarti kita tidak menghormati Nabi Isa Alaihissalam. Kita beriman kepada beliau, menghormati beliau sebagai nabi, utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan beliau termasuk dalam Ulul Azmi minar Rusul—nabi dan rasul pilihan.
Sikap ini menunjukkan betapa moderatnya kita sebagai seorang Muslim. Jika orang Nasrani memuliakan Nabi Isa Alaihissalam dengan berlebihan hingga menuhankannya, dan orang Yahudi justru merendahkan Nabi Isa dengan tuduhan-tuduhan keji terhadap Maryam dan Nabi Isa, maka kita umat Islam berada di posisi yang adil dan moderat. Kita menghormati Nabi Isa sebagai nabi yang mulia, utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, tetapi tetap sebagai manusia biasa—‘Abdullah wa Rasuluh (hamba Allah dan rasul-Nya).
Hal ini berlaku pula untuk nabi-nabi lain, seperti Nabi Musa Alaihissalam, Nabi Ibrahim, Nabi Zakaria, Nabi Ilyas, dan nabi-nabi lainnya. Jumlah nabi tidak terbatas pada 25 yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Ada ribuan nabi lainnya yang menunjukkan luasnya rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Allahul ‘Azizul Hakim. Sebaiknya saat membaca ayat ini, jangan berhenti pada min qablika karena dalam beberapa mushaf terdapat tanda lam alif yang menunjukkan untuk menyambungkan bacaan ke ayat berikutnya: Allahul ‘Azizul Hakim. Artinya, “Demikianlah Allah mewahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelum engkau. Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.”
Dari ayat ini, kita bisa mengambil beberapa faedah tarbawiyah. Ayat ini menegaskan bahwa wahyu yang diterima Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam adalah wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Al-Qur’an yang saat ini kita pelajari, yang para santri baca siang malam, hafalkan pagi sore, dan murajaah setiap waktu, adalah minallah al-‘Aziz al-Hakim. Ia datang dari Allah Yang Maha Perkasa, Maha Berwibawa, dan Maha Bijaksana.
Kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan hal ini? Karena Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dituduh bahwa Al-Qur’an yang beliau dakwahkan berasal dari dirinya sendiri. Beliau dikatakan sebagai syairun majnun (penyair yang gila). Tentu kita, ma’asyiral muslimin, umat yang beriman, tidak memiliki keyakinan seperti itu. Kita meyakini bahwa wahyu yang beliau bawa adalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagaimana firman-Nya: “Wa ma yantiqu ‘anil hawa in huwa illa wahyun yuha” (dan dia tidaklah berbicara dari hawa nafsunya, melainkan wahyu yang diwahyukan).
Namun, sering kali kita tidak menyadari bahwa Al-Qur’an yang kita pelajari, yang kalian para santri hafalkan siang dan malam, pagi dan sore, adalah minallah al-‘aziz al-hakim. Jika keyakinan itu tertanam kuat dalam benak kita, bahkan masuk ke alam bawah sadar kita, bahwa Al-Qur’an ini benar-benar datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, tentu kita tidak akan malas membacanya. Karena kita sadar bahwa yang menurunkan Al-Qur’an adalah Pencipta kita.
Kita tidak akan ogah-ogahan untuk mentadabburinya, tidak akan merasa berat untuk menghafalnya. Kita tidak akan membaca Al-Qur’an dengan setengah hati, lalu meninggalkannya begitu saja hanya karena diajak bermain atau berbincang. Kita tidak akan memotong ayat-ayat Al-Qur’an sesuka hati. Semua itu tidak mungkin kita lakukan jika keyakinan bahwa Al-Qur’an berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala benar-benar mengakar dalam hati kita.
Ayat ini sangat luar biasa, khususnya untuk kalian, para santri penghafal Al-Qur’anul Karim. Sadarilah sepenuhnya bahwa Al-Qur’an ini datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Yang Maha ‘Aziz (perkasa) dan Maha Hakim (bijaksana).
Para mufasir menjelaskan bahwa ‘aziz berarti fi iqami min ‘adai—Allah Maha Perkasa dalam membalas musuh-musuh-Nya. Perhatikan betapa kecilnya manusia di hadapan Allah. Misalnya, hanya dengan satu unsur ciptaan-Nya, seperti api, sebuah kota yang disebut sebagai pusat ekonomi, budaya, bisnis, dan pendidikan dapat hancur lebur. Kota itu mungkin memiliki sistem mitigasi dan keamanan yang canggih, tetapi semuanya tak berdaya di hadapan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, Al-‘Aziz.
Jika kita benar-benar menyadari bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Al-‘Aziz, kita tidak akan pernah meremehkannya. Bersamaan dengan itu, Al-Qur’an juga diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang Maha Hakim fi tadbir khalqihi (bijaksana dalam mengatur makhluk-Nya).
Dalam ayat ini, ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menggabungkan dua asma-Nya, Al-‘Aziz dan Al-Hakim, ini memberikan pelajaran tarbiah yang mendalam bagi kita. Kita diajarkan pentingnya menghubungkan kekuatan (Izzah) dengan kebijaksanaan (Hikmah).
Sebagai hamba Allah, kita juga harus mendidik diri kita dengan Asmaul Husna (nama-nama Allah yang indah). Ini adalah bagian dari makna ahsa Asmaul Husna sebagaimana dalam hadis: “Inna lillahi tis’atan wa tis’ina isman, man ahsaha dakhala al-jannah” (Sesungguhnya Allah memiliki 99 nama, barang siapa yang menghafalnya, ia akan masuk surga).
Makna ahsa di sini bukan hanya menghafal, tetapi juga mentadabburi dan mengamalkan nama-nama Allah tersebut. Kita harus berusaha meneladani sifat Izzah Allah bersamaan dengan sifat Hikmah-Nya.
Biasanya, orang yang memiliki sifat Izzah (kekuatan) cenderung bersikap semena-mena, apalagi jika kekuasaan yang dimiliki bersifat absolut tanpa pengawasan. Sebaliknya, orang yang dikenal memiliki sifat Hikmah (bijaksana) sering kali dianggap lemah, tidak berani tegas, atau terlalu mudah memaafkan.
Maka, yang ideal adalah perpaduan antara sifat Izzah dan Hikmah. Di satu sisi, ia memiliki kekuatan dan ketegasan. Di sisi lain, ia mampu bersikap bijaksana dan lembut ketika diperlukan. Keperkasaan yang dibalut dengan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan yang dikawal oleh keperkasaan, akan menghasilkan sifat yang luar biasa.
Ketika berhadapan dengan kezaliman dan kekufuran, sifat Izzah yang dominan diperlukan. Sebaliknya, saat menghadapi masalah yang rumit atau orang yang lemah, sifat Hikmah yang harus ditonjolkan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa milik-Nyalah apa yang ada di langit dan bumi. Bayangkan, jika kita diberikan sebuah buku oleh orang tua kita sebagai wasiat, tentu kita akan menjaganya dengan baik. Bagaimana jika kita diberi kitab yang datang langsung dari Pemilik langit dan bumi, Al-‘Aziz dan Al-Hakim? Sudah seharusnya kita menghormatinya, membacanya, mentadabburinya, dan mengamalkannya.
Pantaskah kita meremehkannya? Pantaskah kita meninggalkannya? Pantaskah kita memberikan waktu-waktu sisa untuknya?
Ikhwah rahimakumullah, belum selesai pembahasan kita, karena Zat yang menurunkan wahyu, menurunkan Al-Qur’an, adalah Al-‘Ali, Maha Tinggi, dan Al-‘Adzim, Maha Agung.
Dalam ayat ini terdapat dua Asmaul Husna yang sangat penting untuk kita perhatikan. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ath-Thabari, makna Al-‘Ali adalah dzul uluwwi wa asy-sya’n, yaitu Zat yang memiliki ketinggian di atas segala sesuatu, sementara segala sesuatu berada di bawah-Nya. Ini sejalan dengan penegasan dalam ayat lain bahwa Allah adalah Maha Tinggi dalam Zat-Nya (bidhatihi), dalam kekuasaan-Nya (waqadrihi), dan dalam keperkasaan-Nya (waqahrihi), sehingga tidak ada satu pun yang mampu menandingi-Nya.
Ikhwah rahimakumullah, sesuai dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, konsep ini menetapkan bahwa Allah benar-benar Maha Tinggi. Kemudian, ada pula makna Al-‘Adzim, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, termasuk Al-Imam Ath-Thabari, yang menyebutkan bahwa Al-‘Adzim adalah Zat yang memiliki keagungan dan kebesaran yang tidak bisa dibandingkan dengan makhluk-Nya.
Menurut Al-Imam Al-Ashfahani, al-‘azhamah adalah sifat Allah yang tidak dapat dicapai oleh makhluk-Nya. Tidak ada makhluk yang mampu memiliki sifat ini secara sempurna. Jika ada makhluk yang diagungkan, itu hanya pada aspek tertentu—misalnya karena harta, kekuasaan, kecantikan, atau kecerdasannya. Namun, keistimewaan itu hanya mencakup satu sisi, sementara pada sisi lainnya, makhluk tersebut memiliki kekurangan.
Sebaliknya, ‘azhamatullah—keagungan Allah—meliputi segala hal tanpa celah atau kekurangan sedikit pun. Menurut Ibnu Atsir, keagungan Allah melampaui batas akal manusia. Kita tidak mampu membayangkan kebesaran dan keagungan-Nya secara utuh, karena sifat tersebut jauh lebih besar daripada yang dapat kita pikirkan.
Ikhwah rahimakumullah, mentadaburi dua Asmaul Husna ini—Al-‘Ali dan Al-‘Adzim—akan membawa kita kepada sikap mengagungkan Allah serta merendahkan diri kepada-Nya. Ketika kita membaca doa dalam ruku’: Subhana Rabbiyal ‘Adzim—Maha Suci Rabbku yang Maha Agung—kita sedang mensucikan Allah dan menyatakan mahabbah (kecintaan) kita kepada-Nya. Kata Rabbku adalah ungkapan yang sangat personal dan penuh cinta, menunjukkan kedekatan kita kepada-Nya.
Bayangkan ketika kita sedang ruku’, kita tunduk di hadapan Zat yang Maha Agung, yang keagungan-Nya melampaui batas pikiran manusia. Menurut Al-Imam Al-Ashfahani, keagungan ini adalah kebesaran yang sempurna, tanpa sedikit pun celah atau kekurangan.
Saat sujud, kita berada pada posisi paling rendah, dengan kepala dan muka—bagian tubuh yang paling kita hormati—diletakkan di tanah. Ini adalah simbol totalitas ketundukan dan penghambaan kepada Allah. Dalam kondisi tersebut, kita membaca: Subhana Rabbiyal A’la—Maha Suci Rabbku yang Maha Tinggi. Di sinilah letak keindahan hubungan seorang hamba dengan Allah. Kita menyatakan bahwa Allah adalah Zat yang Maha Tinggi, sementara kita merendahkan diri kepada-Nya dalam sujud.
Ikhwah rahimakumullah, mari kita renungkan makna ini dengan sungguh-sungguh saat kita ruku’ dan sujud. Semoga, dengan memahami dan menghayati Asmaul Husna, khususnya Al-‘Ali dan Al-‘Adzim, kita semakin sadar bahwa Al-Qur’an yang kita pelajari, baca, dan hafalkan, benar-benar merupakan wahyu dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, Zat yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana, Maha Tinggi, dan Maha Agung.