وَالَّذِيْنَ اتَّخَذُوْا مِنْ دُوْنِهٖٓ اَوْلِيَآءَ ۘ مَا نَعْبُدُهُمْ اِلَّا لِيُقَرِّبُوْنَآ اِلَى اللّٰهِ زُلْفٰى ۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِيْ مَا هُمْ فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يَهْدِيْ مَنْ هُوَ كٰذِبٌ كَفَّارٌ
“Hampir saja langit pecah dari sebelah atasnya, dan para malaikat bertasbih memuji Tuhannya serta memohon ampunan untuk orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.’ Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (QS. Asy-Syura: 5- 6)
Kita akan melanjutkan kajian tafsir Tarbawi. Alhamdulillah, kita sudah sampai pada surah Asy-Syura, tepatnya pada ayat keempat. Insyaallah, pada malam hari ini kita akan mentadaburi surah Asy-Syura ayat kelima dan keenam. Sekali lagi, silakan bisa dibuka mushafnya pada surah Asy-Syura ayat kelima dan keenam.
Setelah Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan rububiyah-Nya, bahwa Allah adalah Rabb, Dia berfirman:
لَهُۥ مَا فِى ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَمَا فِى ٱلۡأَرۡضِ
“Milik-Nya-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.” (QS. Asy-Syura: 4)
Al-Qur’an itu turun dari Zat yang Maha Perkasa (Al-Aziz), Maha Bijaksana (Al-Hakim), Maha Tinggi (Al-‘Aliy), dan Maha Besar atau Maha Agung (Al-‘Azim). Setelah menegaskan hal-hal tersebut terkait dengan rububiyah-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala kemudian menyinggung perbuatan orang-orang musyrik yang tidak mentauhidkan Allah dan tidak menuhankan Allah. Hal ini berkaitan dengan uluhiyah. Dalam ayat kelima, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
تَكَادُ ٱلسَّمَـٰوَٲتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِن فَوۡقِهِنَّ وَٱلۡمَلَـٰٓئِكَةُ يُسَبِّحُونَ بِحَمۡدِ رَبِّهِمۡ وَيَسۡتَغۡفِرُونَ لِمَن فِى ٱلۡأَرۡضِۗ أَلَآ إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡغَفُورُ ٱلرَّحِيمُ
“Hampir saja langit pecah dari sebelah atasnya, dan para malaikat bertasbih memuji Tuhannya serta memohon ampunan untuk orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syura: 5)
Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bagaimana langit hampir saja pecah dari sebelah atasnya. Jika kita membaca penafsiran para ulama, kita dapat menyimpulkan bahwa ada dua makna atau dua pendapat utama tentang maksud dari ayat ini, yaitu mengapa langit hampir saja pecah.
Menurut Al-Imam Al-Baghawi, setiap lapisan langit pecah di atas lapisan lainnya secara bertahap, dimulai dari langit ketujuh hingga ke langit pertama. Pecahnya langit ini disebabkan oleh ucapan orang-orang musyrik yang menyatakan bahwa Allah memiliki anak. Perkataan seperti ini sangat besar kesalahannya dan menyebabkan kemurkaan yang luar biasa dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemurkaan tersebut berefek pada langit yang hampir pecah. Orang-orang musyrik berkata bahwa Allah memiliki anak, sebagaimana mereka mengatakan bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah (banatullah).
Kemudian, Al-Imam Al-Qurthubi, selain menukil pendapat yang sama seperti yang disampaikan oleh Al-Imam Al-Baghawi, juga menyebutkan pendapat lain dari Adh-Dhahak. Menurut Adh-Dhahak, hampir pecahnya langit disebabkan oleh kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keagungan-Nya. Langit pecah karena rasa takut (khasyah) kepada Allah. Jika langit memiliki akal, ia akan terpecah karena berhadapan dengan kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk memahami hal ini, kita dapat membaca firman Allah dalam ayat lain:
لَوۡ أَنزَلۡنَا هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ عَلَىٰ جَبَلٖ لَّرَأَيۡتَهُۥ خَٰشِعٗا مُّتَصَدِّعٗا مِّنۡ خَشۡيَةِ ٱللَّهِۚ
“Seandainya Kami turunkan Al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah karena takut kepada Allah.” (QS. Al-Hasyr: 21)
Pecahnya langit menunjukkan betapa besarnya keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan demikian, kedua makna ini memiliki keterkaitan yang kuat: pertama, pecahnya langit karena kemusyrikan yang dilakukan oleh orang-orang musyrik, dan kedua, pecahnya langit karena kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Perkataan orang-orang musyrik ini, seperti yang disebutkan dalam firman Allah, mencakup keyakinan bahwa Allah memiliki anak. Orang-orang Nasrani mengatakan bahwa Isa adalah anak Allah (ibnullah), sedangkan orang-orang Yahudi mengatakan bahwa Uzair adalah anak Allah. Selain itu, orang-orang musyrik juga meyakini bahwa para malaikat adalah anak-anak perempuan Allah. Mereka bahkan memenuhi Ka’bah Al-Musyarrafah dengan berhala-berhala yang mereka namai Lata, Uzza, dan lain sebagainya. Berhala-berhala tersebut adalah imajinasi mereka terhadap para malaikat yang mereka yakini sebagai anak-anak perempuan Allah.
Keyakinan ini sangat bertentangan dengan tauhid. Langit hampir saja pecah karena betapa besar dosa kemusyrikan ini, sekaligus menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang seharusnya membuat makhluk tunduk dan patuh hanya kepada-Nya.
Kalau orang-orang Nasrani meyakini Isa adalah anak Allah, orang-orang Yahudi meyakini Uzair adalah anak Allah. Nah, orang-orang musyrik di sini meyakini bahwa almalaikatu banatullah—para malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini semuanya adalah keyakinan yang batil. Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surah Al-Ikhlas menegaskan: “Lam yalid wa lam yulad,” artinya Allah itu tidak pernah melahirkan, tidak pernah memiliki anak, dan tidak pernah diperanakkan, tidak pernah dilahirkan. Ini adalah penegasan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ikhwan arsyadakumullah, surah Al-Ikhlas itu sangat dahsyat. Sampai ada riwayat yang menjelaskan bahwa surah Al-Ikhlas itu merupakan sepertiga dari Al-Qur’an. Saking dahsyatnya makna tentang tauhid yang terkandung di dalamnya, surah ini menjadi jawaban terhadap kekufuran orang-orang musyrik, kekufuran orang-orang Yahudi, dan kekufuran orang-orang Nasrani. Mereka semua ini sama-sama memiliki imajinasi dan keyakinan bahwa Allah memiliki anak, meskipun versi anaknya berbeda-beda. Orang Nasrani meyakini anak Tuhan adalah Isa, orang Yahudi meyakini anak Tuhan adalah Uzair, dan orang-orang musyrik meyakini anak Tuhan adalah para malaikat. Namun, semua keyakinan ini sama-sama menyatakan bahwa Tuhan memiliki anak, yang tentu saja merupakan kekufuran.
Dahsyatnya keutamaan dari surah Al-Ikhlas adalah bahwa ia disebut sebagai sepertiga Al-Qur’an. Maka, ketika kita membaca “Qul huwallahu ahad” dengan penuh pemahaman dan penghayatan, itu menjadi sesuatu yang luar biasa. Bahkan ada gerakan untuk membaca “Qul huwallahu ahad” setelah shalat atau sebagai pengganti bacaan surah lain saat waktu singkat. Namun, ini tidak boleh dilakukan karena malas atau hanya karena hafalnya itu saja tanpa mau menghafal surah lain. Sebaliknya, kita membaca surah Al-Ikhlas dengan penuh takzim terhadap kandungannya, karena memahami bahwa maknanya begitu mendalam.
Kebalikannya, ketika orang-orang musyrik mengatakan “ahu walad,” ini menyebabkan kemurkaan Allah yang sangat besar, bahkan menyebabkan kemurkaan alam semesta. Sampai dikatakan dalam ayat: “Takadu assamawatu yatafattarna,” hampir-hampir saja langit itu pecah disebabkan oleh perkataan ini. Ini menunjukkan pentingnya tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahwa Allah adalah Ahad, “Lam yalid wa lam yulad wa lam yakun lahu kufuwan ahad.”
Makna yang pertama adalah bahwa langit hampir pecah karena kemusyrikan orang-orang musyrik. Makna yang kedua, kalaupun makna ini yang benar, adalah bahwa langit hampir pecah karena pengagungan langit terhadap kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ingat ketika kita membahas ayat sebelumnya, “Wahuwa al-‘Aliyyu al-‘Azim.” Para ulama menjelaskan makna al-‘Azim, yang di dalamnya terkandung keagungan Allah yang tidak mungkin dijangkau oleh pikiran manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki kebesaran yang melebihi segala batas, sehingga tidak ada yang bisa memperkirakan atau membayangkannya.
Ibnu Atsir menjelaskan bahwa al-‘Azim adalah nama yang mengandung sifat keagungan yang tidak akan pernah bisa disamai oleh makhluk. Tidak ada makhluk yang mampu menyamai sifat ‘Azamah Allah. Manusia memang ada yang diagungkan karena ilmunya, ada yang diagungkan karena kekayaannya, atau karena posisinya. Namun, kebesaran yang dimiliki oleh makhluk pasti ada kelemahannya. Orang sepintar apapun, biasanya ada kekurangan seperti fisiknya kurang menarik, atau ia miskin. Orang sekaya apapun, jika tidak bodoh, mungkin ia sakit-sakitan. Orang setinggi apapun jabatannya, tetap saja memiliki kelemahan.
Berbeda dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sifat kebesaran-Nya sempurna tanpa cacat. Maka, wajar jika langit hampir-hampir saja pecah karena keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak terjangkau oleh pikiran manusia dan tidak tertandingi oleh makhluk mana pun.
Presiden, misalnya. Selagi dia masih menjadi presiden, dia diagung-agungkan. Namun, ketika dia sudah tidak lagi menjadi presiden, apakah dia masih diagungkan? Apakah dia masih dielu-elukan? Tidak. Jadi, keagungan yang dimilikinya ada batasnya. Di samping itu, keagungan tersebut juga tidak sempurna. Dibalik keagungannya, pasti ada kekurangannya. Di sisi lain, kebesaran dan keagungannya itu juga terbatas. Berbeda dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Maha Mengetahui (Al-‘Alim), Maha Kaya (Al-Ghani), Maha Besar (Al-‘Azim), dan Maha Tinggi (Al-‘Ali). Tidak ada sedikit pun sisi kekurangan yang dapat menodai kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Berhadapan dengan ‘Adamatullah (keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala), langit hampir-hampir saja pecah. Sama halnya dengan gunung dan bebatuan, yang seandainya Al-Qur’an diturunkan kepada mereka, mereka akan pecah karena khasyah (rasa takut yang mendalam) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka, ini memberikan pelajaran tarbiah bagi kita. Jika ketika membaca Al-Qur’an kita tidak memiliki kekhusyukan, bermain-main, atau melalaikan isyarat yang diberikan oleh Al-Qur’an, bahkan meninggalkan apa yang diperintahkan dan melanggar apa yang dilarangnya, maka di mana letak khasyah kita kepada pemilik Al-Qur’an tersebut? Gunung saja pecah, batu saja pecah, bahkan langit yang berlapis-lapis hampir-hampir saja pecah karena merasakan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala, saking takutnya mereka kepada-Nya.
Namun kita, manusia, ketika membaca Al-Qur’an, hanya biasa-biasa saja. Tidak ada rasa khusyuk, tidak ada rasa khasyah. Ketika berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam salat, juga hanya biasa-biasa saja. Saat rukuk, meskipun kita mengucapkan Subhana Rabbiyal ‘Azim, tetap saja tidak disertai rasa tunduk dan pecahnya hati. Tidak ada inkisar amamallah (perasaan terpecah di hadapan Allah) sebagaimana terpecahnya batu, gunung, atau langit ketika berhadapan dengan keagungan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah sesuatu yang harus kita evaluasi. Jika rasa tersebut belum hadir, ini menjadi tugas besar kita sebagai seorang Muslim untuk memperbaikinya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan malaikat bertasbih dengan memuji Tuhan mereka.” Ketika langit hampir-hampir saja pecah, menurut pendapat pertama, hal ini disebabkan karena orang-orang musyrik mengatakan bahwa Allah memiliki anak. Maka, apa yang dilakukan oleh malaikat? Malaikat bertasbih. Apa makna tasbih? Tasbih adalah mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari segala hal yang tidak pantas disandarkan kepada-Nya. Mereka mensucikan Allah dari apa yang dikatakan oleh orang-orang musyrik tersebut. Mereka tidak menerima hal itu, sehingga mereka bertasbih.
Ketika kita melihat sesuatu yang tidak sesuai, sesuatu yang buruk, atau sesuatu yang tidak pantas disandarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, apa yang harus kita ucapkan? Ucapkan Subhanallah—Mahasuci Allah. Dengan ucapan ini, kita mensucikan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari prasangka-prasangka buruk hamba-Nya, dari keyakinan-keyakinan manusia yang salah, dari kekufuran dan kedurhakaan. Ucapkan Subhanallah—Mahasuci Allah Subhanahu wa Ta’ala dari apa yang mereka persangkakan.
Bersamaan dengan itu, para malaikat juga bertahmid, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan wa yastaghfiruna liman fil ardh (memintakan ampunan bagi mereka yang ada di bumi). Selain bertasbih dan bertahmid, malaikat memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk siapa? Untuk siapa saja yang ada di bumi.
Di sini para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wal malaikatu yusabbihuna bihamdibihim wa yastaghfiruna liman fil ardh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baghawi adalah liman fil ardh di sini berarti minal mukminin, yaitu dari kalangan orang-orang yang beriman. Para malaikat itu memintakan ampunan bagi orang-orang yang beriman. Maka, kita sebagai orang-orang yang beriman harus menguatkan iman kita, termasuk iman kepada malaikat.
Adik-adik, rukun iman kepada malaikat itu rukun iman yang ke berapa? Rukun iman kepada malaikat adalah rukun iman yang kedua. Apa implementasi amalnya dari rukun iman yang kedua ini? Apakah cukup hanya sekadar meyakini adanya malaikat dan menghafal sepuluh nama malaikat? Tentu tidak. Kita perlu meneladani sifat-sifat para malaikat sebagai hamba Allah yang luar biasa, sebagaimana disebutkan dalam ayat: la ya’sunallaha ma amarahum wa yaf‘aluna ma yu’marun (mereka tidak pernah mendurhakai Allah atas apa yang diperintahkan kepada mereka, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan).
Di sini juga disebutkan bahwa para malaikat senantiasa bertasbih memuji Allah (yusabbihuna bihamdi rabbihim). Para malaikat adalah makhluk Allah yang begitu taat kepada-Nya. Meskipun kita tidak mungkin menyamai ketaatan mereka, kita harus berusaha untuk mendekati sifat-sifat ketaatan tersebut. Selain itu, kita juga harus menjaga perilaku sehari-hari agar tidak menyakiti atau mengganggu malaikat, bahkan sebisa mungkin menjadikan mereka senang, sehingga mereka memohonkan ampunan kepada Allah untuk kita.
Diriwayatkan bahwa malaikat merasa terganggu dengan hal-hal yang juga mengganggu manusia. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, innal malaikata tata’adzza bima yata’adzza bihi al-insan (malaikat terganggu oleh apa yang mengganggu manusia). Oleh karena itu, kita harus berhati-hati, terutama dalam perbuatan-perbuatan yang bisa membuat manusia terganggu. Misalnya, merokok. Jika kita merokok, apakah orang-orang di sekitar kita menikmati asap rokok kita, atau justru merasa terganggu? Tentu mereka terganggu. Maka, malaikat pun terganggu dengan hal-hal yang membuat manusia terganggu.
Saya jadi teringat soal larangan merokok di dekat Masjid Nabawi, di jalan yang disebut Thariqu al-Salam. Jalan ini adalah jalur yang mengarah langsung ke Bab al-Salam, yaitu pintu untuk memberi salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Di jalan ini, dulunya ada peringatan larangan merokok. Entah apakah peringatan tersebut masih ada sekarang. Yang menarik adalah pada larangan itu tertulis gambar rokok yang dicoret, dan di bawahnya terdapat tulisan: innal malaikata tata’adzza bima yata’adzza bihi al-insan (malaikat terganggu oleh apa yang mengganggu manusia).
Hal ini juga berlaku dalam perilaku lainnya. Misalnya, jika kita bau badan setelah makan jengkol atau petai, atau bangun tidur tanpa sikat gigi, kemudian kita langsung ke masjid dengan mulut yang bau, maka hal itu dapat mengganggu orang-orang di sekitar kita. Jika kita batuk keras hingga menyebarkan bau tidak sedap ke kanan dan kiri, malaikat juga akan terganggu. Akibatnya, malaikat rahmat tidak mau mendekati kita dan menyampaikan rahmat Allah kepada kita. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
Buah dari tarbiyah iman kepada malaikat adalah menjaga kebaikan mereka dan menghormati mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Al-Baghawi, bahwa dalam ayat yastaghfiruna liman fil ardh, yang dimaksud dengan liman fil ardh adalah minal mukminin, yaitu dari kalangan orang-orang yang beriman. Maka, kita harus menganggap malaikat sebagai saudara kita, sebagai sesama hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita harus menghormati mereka dan menghargai keberadaan mereka dengan tidak melakukan hal-hal yang membuat mereka tidak suka.
Ala innallaha huwal ghafurur rahim. Ketahuilah, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dia-lah Al-Ghafur (Yang Maha Pengampun) dan Ar-Rahim (Yang Maha Penyayang). Namun, sifat ini diberikan tentunya kepada orang-orang yang beriman.
Adapun orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung, sebagaimana dalam ayat: Auliyau min dunillah, Allah Subhanahu wa Ta’ala tetap mengawasi perbuatan mereka: Allahu Hafidhun ‘alaihim. Akan tetapi, wahai Muhammad, engkau tidaklah bertanggung jawab atas mereka: Wama anta ‘alaihim biwakil. Artinya, engkau bukanlah orang yang diserahi untuk mengawasi dan memastikan mereka beriman.
Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Katsir, ayat ini ditujukan kepada orang-orang musyrik yang menjadikan selain Allah sebagai pelindung. Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan balasan yang setimpal kepada mereka: Allah yajziihim al-jaza. Tugas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah hanya memberikan peringatan: Innama anta munzir, sedangkan Allah yang akan mengawasi dan memberikan balasan kepada mereka.
Masasirul Muslimin, ada poin penting dalam pendidikan dakwah yang bisa diambil dari ayat ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa urusan orang-orang musyrik dan kafir, apakah mereka akan beriman atau tetap dalam kekufuran, adalah urusan Allah semata. Allah yang akan menghitung amal mereka, mencatat dosa-dosa mereka, dan memberikan balasan yang setimpal. Tugas Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam hanyalah menyampaikan peringatan, bukan memastikan mereka beriman.
Penjelasan dari Ibnu Katsir dalam ayat ini sangat penting untuk dijadikan pegangan bagi para dai, aktivis, dan mubaligh. Bahwa tugas kita hanyalah menyampaikan. Sebagaimana firman Allah: fa man syaa-a fal-yu’min wa man syaa-a fal-yakfur (siapa yang mau beriman, maka berimanlah, dan siapa yang tidak mau beriman, maka jangan beriman). Mindset seperti ini penting untuk dimiliki oleh seorang dai atau pendidik. Sebab, jika tidak memiliki mindset ini, kita akan stres ketika dakwah kita ditolak, atau ketika murid-murid dan santri kita tidak mau mendengarkan atau bahkan mencemooh apa yang kita sampaikan.
Mindset ini adalah cara untuk tetap bahagia dalam berdakwah. Bahwa tugas kita hanya menyampaikan, sedangkan hasilnya adalah urusan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dengan mindset ini, kita juga akan terhindar dari sikap berlebihan atau ngoyo dalam berdakwah, yang bisa mengarah pada ekstremisme atau bahkan terorisme. Ketika seseorang terlalu memaksakan orang lain untuk beriman, atau menuntut semua orang untuk menerima dakwahnya, ini bisa mengantarkan kepada sikap tataruf (ekstrem) yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Seorang dai tidak ditugaskan untuk menghancurkan, membinasakan, atau memaksa orang lain untuk beriman. Semua itu adalah urusan Allah. Tugas seorang dai adalah menyampaikan ayat-ayat Allah dan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika dakwah kita diterima, kita bersyukur dan memuji Allah. Tetapi jika tidak, itu pun adalah urusan mereka dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di sinilah pentingnya tarbiyah dakwiah dalam mendidik jiwa kita, untuk mengagungkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mentauhidkan-Nya. Hati-hati dengan pernyataan-pernyataan yang mengundang murka Allah, seperti mengatakan bahwa Allah memiliki anak (ittakhadza Allah walada). Pernyataan seperti ini sangat dibenci Allah dan bahkan membuat langit hampir saja terpecah. Begitu pula dengan perayaan-perayaan yang terkait dengan keyakinan tersebut, yang mengundang murka Allah dan alam semesta.
Semoga dari tarbiyah dakwiah ini, kita dapat mengambil pelajaran. Bahwa tugas kita adalah menyampaikan kebenaran. Adapun apakah seseorang mau beriman atau tidak, itu adalah urusan Allah. Demikian yang bisa kami sampaikan, semoga bermanfaat.