Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
Mari kita renungkan bersama bahwa kemajuan atau kemunduran sebuah bangsa sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Jika kita ingin mengukur apakah sebuah bangsa itu maju atau tidak, salah satu indikator utamanya adalah pendidikan. Pendidikan adalah fondasi utama yang menjadi penopang kemajuan peradaban.
Sebagai seorang Muslim, kita memiliki panduan yang sangat jelas tentang pendidikan, yaitu pendidikan yang bersumber dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Jika kita menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tentang pendidikan, kita akan mendapati bahwa pendidikan dalam Islam bersifat holistik, seimbang, dan komprehensif. Pendidikan Islam adalah pendidikan yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (saling melengkapi). Ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, tanpa ada yang terabaikan. Pendidikan ini tidak parsial, tidak sepotong-potong, dan tidak hanya memprioritaskan salah satu aspek saja. Pendidikan Islam membahas seluruh dimensi kehidupan secara integral dan mendalam.
Kenapa pendidikan dalam Islam dirancang seperti ini? Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk menjalani ajaran Islam secara menyeluruh. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Ayat ini mengingatkan kita untuk menjalankan Islam dengan totalitas, tidak setengah-setengah. Ketika ayat seperti ini turun kepada para sahabat Nabi, mereka benar-benar merasa bahwa panggilan tersebut ditujukan langsung kepada diri mereka. Hal ini menunjukkan kedalaman iman mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, perasaan ini mulai memudar dalam diri kita. Ketika kita mendengar ayat “Wahai manusia!”, kita sering kali tidak merasa bahwa Allah sedang memanggil kita sebagai makhluk-Nya. Bahkan ketika ada panggilan “Wahai orang-orang yang beriman!”, respons kita terkadang tidak sesuai dengan harapan.
Betapa sering kita mengabaikan panggilan untuk melaksanakan salat, untuk berbuat kebaikan, atau untuk mengikuti ajaran Islam secara sempurna. Rendahnya istijabah (respons) kita terhadap panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala menunjukkan lemahnya kesadaran kita akan hubungan dengan-Nya.
Padahal, ketika Allah memanggil dengan harfun nida seperti “Ya ayyuhalladzina amanu”, itu adalah panggilan mulia yang ditujukan kepada orang-orang beriman. Kita seharusnya hadirkan hati, sadar, dan langsung merespons dengan sepenuh jiwa. Apa yang Allah perintahkan dalam panggilan ini? Allah memerintahkan kita untuk memasuki Islam secara keseluruhan, tanpa ada yang terlewatkan.
Cobalah kita renungkan. Apakah kita ingin masuk surga hanya dengan sebelah kaki, sementara kaki yang lain tertinggal? Tentu tidak. Apakah kita mau hanya sebagian tubuh kita masuk surga, sementara sebagian lainnya tidak? Mustahil. Maka, jika kita ingin masuk surga secara keseluruhan, kita juga harus melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.
Islam adalah agama yang sempurna. Ia mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, mulai dari aspek spiritual, sosial, ekonomi, hingga budaya. Dengan menjalankan Islam secara totalitas, kita tidak hanya akan menjadi individu yang berkualitas, tetapi juga dapat membangun bangsa yang maju, bermartabat, dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah esensi pendidikan Islam, pendidikan yang membentuk insan kamil—manusia paripurna—yang tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi seluruh umat manusia.
Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, mulai dari hal-hal yang kecil hingga perkara yang besar. Bahkan, hal yang tampaknya remeh seperti cara masuk toilet pun diatur dalam Islam. Tidak ada agama lain yang memberikan panduan sedetail ini. Bapak-Ibu sekalian, ketika hendak masuk toilet, apakah kaki kanan atau kaki kiri yang lebih dahulu melangkah? Dalam ajaran Islam, kita diajarkan untuk mendahulukan kaki kiri ketika memasuki toilet. Banyak orang mungkin melakukannya setiap hari tanpa sadar bahwa itu adalah bagian dari sunnah. Bahkan, ada pula yang lupa dan justru mendahulukan kaki kanan, seolah masuk masjid. Meskipun tidak berdosa, hal itu tentu tidak sesuai dengan sunnah. Yang penting jangan sampai kedua kaki masuk bersamaan, karena itu akan dianggap aneh.
Islam mengatur begitu rinci, tidak hanya soal masuk toilet, tetapi juga bagaimana mengelola negara, menjadi pemimpin, bahkan mengatur dunia. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman, “Inni ja’ilun fil ardhi khalifah” (QS. Al-Baqarah: 30), yang berarti bahwa Allah menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Kita diminta untuk menjadi pemimpin, bukan hanya pemimpin di masjid, tetapi juga pemimpin dunia. Sayangnya, ada sebagian dari kita yang masih sibuk mempermasalahkan hal-hal kecil, seperti perebutan posisi dalam masjid, padahal Islam mengajarkan kita untuk memiliki visi yang lebih besar, yaitu menjadi pemimpin di dunia.
Ajaran Islam yang komprehensif ini menunjukkan bahwa pendidikan Islam juga harus bersifat holistik. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang syamil (menyeluruh) dan mutakamil (terintegrasi), mencakup semua sisi kehidupan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kita untuk hidup secara seimbang, baik dalam urusan dunia maupun akhirat. Allah berfirman, “Wabtaghi fima atakallahu ad-daral akhirah wala tansa nasibaka minad dunya” (QS. Al-Qasas: 77), yang artinya, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia.” Ayat ini mengingatkan kita untuk tidak hanya fokus pada urusan akhirat, tetapi juga memperhatikan kehidupan dunia.
Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras mencari rezeki, bukan hanya berdiam diri di rumah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Tidaklah seseorang memakan makanan yang lebih baik daripada hasil jerih payah tangannya sendiri.” Bahkan Nabi Ayub Alaihissalam, meskipun seorang nabi, bekerja mencari kayu bakar. Ini menunjukkan bahwa bekerja dan berusaha adalah bagian dari ajaran Islam. Keseimbangan antara ibadah dan usaha duniawi sangat penting. Kita tetap diwajibkan melaksanakan salat dan ibadah lainnya, tetapi bukan berarti mengabaikan dunia. Dengan bekerja keras, kita bisa berzakat, bersedekah, berhaji, umrah, bahkan mendukung para dai untuk berdakwah ke pelosok-pelosok negeri.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk berjihad dengan harta dan jiwa. Sebagian besar ayat tentang jihad dalam Al-Qur’an, kecuali satu ayat dalam Surah At-Taubah, selalu menyebutkan “Jahidu bi amwalikum wa anfusikum”—”Berjuanglah dengan hartamu dan jiwamu.” Ini menunjukkan bahwa untuk berjuang di jalan Allah, kita memerlukan harta terlebih dahulu, baru kemudian jiwa kita.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mencontohkan keseimbangan ini dalam kehidupan beliau. Suatu ketika, ada sahabat yang sangat bersemangat dalam beribadah, hingga ia berencana salat sepanjang malam tanpa tidur. Sahabat lain bertekad untuk terus-menerus berpuasa tanpa berbuka. Ada pula yang memutuskan untuk tidak menikah agar dapat fokus beribadah. Namun, Rasulullah mengoreksi mereka. Beliau bersabda, “Adapun aku, aku salat malam, tetapi juga tidur; aku berpuasa, tetapi juga berbuka; dan aku menikah. Barang siapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka ia bukan bagian dariku.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menegaskan pentingnya keseimbangan. Rasulullah juga mengingatkan bahwa tubuh kita memiliki hak atas kita. Bahkan, beliau melarang tidur sebelum salat Isya dan berbicara panjang lebar setelahnya, karena hal itu dapat mengurangi kualitas istirahat yang tubuh butuhkan. Rasulullah sangat menganjurkan tidur lebih awal untuk menjaga kesehatan dan kebugaran, sehingga kita dapat menjalani kehidupan dengan seimbang.
Islam adalah agama yang sempurna, yang mengajarkan kita untuk hidup secara harmoni antara dunia dan akhirat. Kita dituntut untuk menjadi hamba Allah yang saleh sekaligus produktif. Dengan menerapkan ajaran Islam secara menyeluruh, kita dapat menjalani kehidupan yang penuh berkah dan manfaat, baik untuk diri sendiri maupun untuk umat manusia secara keseluruhan.
Pak, saya merasa sedih kalau malam-malam di ma’had, di kampus tempat saya mengajar di UMS Solo, masih ada mahasiswa yang beraktivitas hingga jam 11 malam, bahkan ada yang kumpul-kumpul hingga jam 12 malam. Laki-laki dan perempuan bercampur, ya Allah. Ini tidak hanya mengkhawatirkan dari segi pergaulan, tetapi juga dari segi kesehatan fisik. Sunatullah-nya, malam itu adalah waktu untuk istirahat, bagaikan pakaian yang menutupi tubuh (libās).
Penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang terbiasa tidur lebih awal cenderung memiliki kecerdasan yang lebih baik. Tidur yang dalam atau deep sleep, yaitu tidur yang benar-benar berkualitas, terjadi di awal malam. Silakan dicoba: tidur empat jam dimulai dari pukul 9 malam, bangun pukul 1 dini hari. Tidur seperti ini akan lebih bermanfaat dibandingkan tidur delapan jam yang dimulai dari pukul 12 malam hingga pagi hari. Jika tidur pada waktu yang tidak semestinya, tubuh akan terasa lelah, kepala pusing, dan malas beraktivitas, karena tidur pada waktu yang salah akan memengaruhi hormon dan keseimbangan tubuh, yang juga dipengaruhi oleh gravitasi bumi.
Ketika Allah menetapkan sesuatu, atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencontohkan sesuatu, pasti ada hikmahnya. Rasulullah mencontohkan gaya hidup, sikap hidup, dan pendidikan yang seimbang. Salah satu penegasan beliau adalah: “Aku berpuasa dan aku berbuka.” Rasulullah tidak mencontohkan puasa yang berlebihan atau terus-menerus tanpa berbuka. Puasa yang paling sering dilakukan Rasulullah di luar Ramadan adalah Puasa Daud, yaitu sehari berpuasa dan sehari berbuka. Maka, jika ada yang berpuasa tetapi enggan berbuka karena merasa lebih kuat atau lebih utama, itu keliru. Hal itu bukan hanya tidak sesuai sunah, tetapi juga menyelisihinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan, “Wa inna li jasadika ‘alaika haqq,” jasadmu itu punya hak atas dirimu. Bahkan, jasad kita bukanlah milik kita, melainkan milik Allah.
Ketika kita mengucapkan, “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” itu menunjukkan bahwa seluruh diri kita, termasuk tubuh, adalah milik Allah. Maka, kita harus menjaga amanah itu, termasuk berhenti dari kebiasaan buruk seperti merokok. Ketika diingatkan untuk berhenti merokok, ada yang menjawab, “Ini jantung saya sendiri, terserah saya.” Padahal, itu keliru, karena jantung kita adalah amanah dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Demikian pula dalam hal menikah. Rasulullah mencontohkan keseimbangan: beliau menikah, dan menikah adalah sunahnya. Beliau bersabda, “An-nikāḥu sunnatī, fa man raghiba ‘an sunnatī fa laisa minnī,” yang artinya, “Nikah itu sunahku, barang siapa yang tidak mau menikah, maka ia bukan bagian dari golonganku.” Dalam Islam, tidak ada syariat tabattul (hidup selibat seperti rahib) untuk alasan beribadah. Bahkan, pernikahan itu sendiri adalah ibadah, dan merupakan ibadah yang panjang. Salat mungkin hanya membutuhkan waktu lima hingga sepuluh menit, tetapi pernikahan adalah ibadah seumur hidup yang memadukan rasa syukur dan sabar.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu sekalian, sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menekankan keseimbangan dan kelengkapan. Hal ini juga tergambar dalam konsep pendidikan Islam yang berprinsip pada nilai-nilai Al-Qur’an dan hadis. Para ulama, seperti Prof. Khalid Al-Hazimi, perintis jurusan pendidikan di Universitas Islam Madinah, mendefinisikan pendidikan Islam sebagai “Islāḥul fardi fī jamī‘ jawānibihi ḥālan fa‘alan wa ṣalāḥan fid-dīn,” yaitu memperbaiki individu dalam seluruh aspek kehidupannya, baik secara ruhani, akhlak, maupun fisik.
Alhamdulillah, pendidikan Islam mencakup aspek spiritualitas (tarbiah imaniah dan maknawiyah). Jika aspek ini hilang, manusia akan menjadi kering dan rapuh, meskipun maju secara teknologi atau ekonomi. Kita bisa melihat fenomena di negara-negara maju, seperti Jepang, di mana angka bunuh diri sangat tinggi. Bahkan, pemerintah Jepang menyediakan tempat khusus bagi warganya yang ingin bunuh diri. Hal ini menunjukkan rapuhnya sisi spiritual mereka.
Alhamdulillah, di Indonesia, meskipun daya beli masyarakat turun atau kondisi ekonomi belum stabil, tingkat kebahagiaan masih tinggi, dan angka bunuh diri rendah. Hal ini karena spiritualitas kita masih kuat. Konsep pendidikan Islam kita menekankan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan: spiritual, fisik, ekonomi, dan akhlak.
Adab ini yang mulai banyak hilang. Kita sekarang sedang mengalami “the loss of adab”—kehilangan adab. Anak-anak zaman sekarang banyak yang tidak memiliki unggah-ungguh. Nah, ini adalah kewajiban kita untuk memperhatikan hal tersebut.
Mereka yang melakukan korupsi itu, apakah bukan lulusan universitas-universitas ternama? Mereka pintar-pintar, tetapi adabnya tidak ada. Itulah sebabnya mereka berani korupsi.
Dalam Islam, pendidikan militer, pendidikan politik, semuanya ada. Bahkan, sesuatu yang dianggap tabu—pendidikan seksual—pun diatur dalam Islam. Dahulu, ketika saya mengambil S2, tesis saya adalah tentang At-Tarbiyah Al-Jinsiyah Ibnu Qayyim Al-Jauziyah—pendidikan seksual menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Hal ini dibahas secara detail dan diatur dalam Islam.
Maka, sekarang jika ada kasus-kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual, kita harus berhati-hati. Jogja ini adalah kota pelajar, tetapi menurut data dari Perhimpunan Keluarga Berencana, angka penyimpangan seksual, perzinaan, dan kehamilan di luar nikah termasuk tinggi. Hati-hati! Ini adalah amanah atau tugas kita sebagai warga Jogja untuk menjaga moralitas kota ini.
Mengapa semua ini terjadi? Karena pendidikan seksual tidak dilaksanakan sebagaimana diatur dalam Islam. Dalam Islam, bahkan hal-hal seperti melahirkan anak yang memiliki orientasi seksual normal telah diatur. Rasulullah SAW bersabda:
“Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk salat pada usia tujuh tahun. Jika pada usia sepuluh tahun mereka tidak mau salat, pukullah mereka, dan pisahkan tempat tidur mereka.”
Artinya, anak kandung atau saudara kandung yang satu laki-laki dan yang satu perempuan, pada usia sepuluh tahun sudah harus dipisahkan tempat tidurnya, bahkan kamarnya. Begitu detailnya Islam dalam mengatur pendidikan seksual.
Belum lagi hal-hal lain yang juga diatur dalam Islam. Namun, jika kita bahas semua di sini, waktunya tidak akan cukup. Hari ini, kebetulan adalah hari Sabtu, dan sebagian dari kita mungkin harus bekerja. Waktu kita pun sudah habis.
Pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang komprehensif. Mari kita terus belajar parenting dan tarbiyah Islamiyah, bukan hanya mendidik keimanan anak-anak, tetapi juga akhlak, akal, dan seluruh dimensi kehidupannya. Jika kita mendidik anak-anak dengan tarbiyah Islamiyah yang kamilah syamilah (komprehensif), Insyaallah mereka akan tumbuh menjadi insan kamil—manusia sempurna.
Jika anak-anak kita tumbuh menjadi manusia yang beradab dan berkualitas, Insyaallah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, masyarakat Islam yang berkemajuan, akan terwujud.
Sumber: Kopi Ngaji Omah Sawah Bodeh (https://www.youtube.com/watch?v=P7d-q-LTF8g)