TABLIGH.ID, Yogyakarta, 3 Maret 2025 – Dalam ceramah tarawih di Masjid Al Amusannif Tabligh Institute Muhammadiyah, Ustadz Fajar Rachmadani, Lc., M. Hum., Ph.D., yang juga anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, menekankan keistimewaan puasa dibandingkan dengan ibadah lainnya. Ia mengutip pendapat Al-Imam Izzuddin bin Abdus Salam dalam kitab Maqasid al-Saum, yang menjelaskan keunikan puasa sebagaimana disebutkan dalam hadis qudsi:
“Semua amalan anak Adam adalah untuk dirinya sendiri, kecuali puasa. Karena puasa itu untuk-Ku, dan Akulah yang akan langsung membalasnya.”
Menurut Ustadz Fajar, banyak ibadah dalam Islam, seperti salat, zakat, haji, dan membaca Al-Qur’an. Namun, puasa memiliki keistimewaan khusus, karena Allah SWT menyebutnya secara langsung dengan kalimat “fa-innahū lī”—”Puasa itu untuk-Ku.”
Dalam ceramahnya, Ustadz Fajar menjelaskan bahwa menurut Al-Imam Izzuddin bin Abdus Salam, puasa adalah satu-satunya ibadah yang kemungkinan terkena riya sangat kecil. Hal ini karena puasa tidak bisa dipamerkan seperti ibadah lain.
“Salat bisa disiarkan langsung, tilawah bisa didengar orang lain, zakat sering kali ditulis nama pemberinya. Bahkan, haji dan umrah sering diumumkan, kadang baru berangkat sekali tapi fotonya diunggah berkali-kali. Tapi puasa? Tidak ada yang tahu seseorang benar-benar berpuasa atau tidak kecuali dirinya dan Allah,” ujar Ustadz Fajar.
Ia menambahkan bahwa seseorang bisa saja tampak lemas seolah-olah sedang berpuasa, tetapi diam-diam sudah membatalkan puasanya. Sebaliknya, ada yang tetap beraktivitas dengan semangat meskipun sedang berpuasa. Hal ini menunjukkan bahwa puasa adalah bentuk ibadah yang benar-benar bergantung pada keikhlasan seseorang.
Menurut Ustadz Fajar, salah satu hikmah terbesar dari puasa adalah pendidikan keikhlasan. Ia menjelaskan bahwa dalam Islam, ikhlas berasal dari kata khalasha, yang berarti murni. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang hanya mengharap ridha Allah dan bersih dari motivasi duniawi.
“Puasa mengajarkan kita untuk tidak bergantung pada pujian manusia. Ibadah ini melatih kita untuk beramal tanpa perlu dilihat atau dihargai oleh orang lain,” jelasnya.
Dalam ceramahnya, Ustadz Fajar menyampaikan tiga indikator yang bisa digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang telah mencapai keikhlasan dalam ibadahnya.
Pertama, Al-yastawiyal ‘amalu fis-sirri wal-‘alaniyyah, yaitu konsistensi amal ibadah baik saat sendirian maupun di hadapan banyak orang. Orang yang ikhlas tidak akan menunjukkan ibadahnya lebih baik di depan orang lain dibanding saat sendiri.
“Jika saat sendiri malas, tapi saat di hadapan orang lain terlihat rajin, bisa jadi ada motivasi lain dalam ibadahnya, seperti ingin dipuji atau dihormati,” kata Ustadz Fajar.
Indikator kedua keikhlasan, menurut Ustadz Fajar, adalah tidak terpengaruh oleh pujian ataupun kritikan. Ia mencontohkan seorang ibu yang menyiapkan makanan berbuka. Jika ia merasa bangga karena dipuji dan kecewa ketika makanannya dikritik, itu tanda keikhlasan masih perlu diperbaiki.
“Orang yang ikhlas akan tetap beramal baik, apakah dipuji atau dikritik, karena ia hanya mencari ridha Allah, bukan penghargaan manusia,” tegasnya.
Ia juga menyinggung fenomena di media sosial, di mana seseorang merasa senang jika unggahannya mendapatkan banyak like tetapi kecewa jika tidak ada yang memperhatikan. Hal ini, menurutnya, bisa menjadi cerminan bahwa keikhlasan masih belum sempurna.
Indikator ketiga adalah tidak mengharapkan balasan dari manusia atas amal yang dilakukan. Ustadz Fajar mengutip perkataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menyebut bahwa salah satu sumber sakit hati adalah berharap pujian dari manusia.
“Orang yang benar-benar ikhlas tidak peduli apakah orang lain mengapresiasi atau tidak, karena ia hanya mengharap pahala dari Allah SWT,” ungkapnya.
Ia juga menambahkan pendapat Imam Abdullah bin Mubarak:
“Bisa jadi ada amalan kecil yang menjadi besar karena niat yang ikhlas. Sebaliknya, ada amalan besar yang menjadi kecil karena niat yang salah.”
Ustadz Fajar menekankan bahwa keikhlasan bisa diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam amalan sederhana seperti membuang sampah di jalan, menyapa saudara Muslim dengan salam, atau mendatangi majelis ilmu.
“Hal-hal kecil ini, jika dilakukan dengan ikhlas, bisa bernilai besar di sisi Allah,” katanya
Sebaliknya, amalan besar seperti haji dan umrah bisa menjadi kecil jika niatnya bukan karena Allah, melainkan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Di akhir ceramahnya, Ustadz Fajar berharap agar Ramadan tahun ini benar-benar menjadi sarana bagi umat Islam untuk memperbaiki keikhlasan dalam beribadah. Ia mengajak jamaah untuk menjadikan puasa sebagai momentum memperbaiki hati dan niat.
“Semoga Allah SWT menerima puasa dan amal ibadah kita serta menjadikan kita hamba-hamba yang lebih ikhlas dan bertakwa,” pungkasnya.