web stats
Home » Kajian Kitab Asror ash-Shoum Imam Al Ghazali : Kesabaran, dan Keikhlasan: Meraih Tarbiyah Ramadan (Bagian 1)

Kajian Kitab Asror ash-Shoum Imam Al Ghazali : Kesabaran, dan Keikhlasan: Meraih Tarbiyah Ramadan (Bagian 1)

by Redaksi
0 comment

Oleh: Fajar Rachmadani, Lc., M. Hum., P. hD.

Insya Allah pada kesempatan kali ini di bulan Ramadan, kita bersama-sama akan mengkaji satu per satu perkataan ulama kita, mengambil barakah dan ilmu dari ulama-ulama kita, baik yang klasik maupun kontemporer. Untuk kajian kali ini, kita akan mengkaji bersama salah satu kitab yang ditulis oleh Al-Imam Al-Ghazali.

Imam Al-Ghazali adalah seorang ulama yang multidisiplin, menguasai banyak ilmu keislaman. Salah satu karya beliau yang sangat fenomenal adalah kitab Ihya Ulumiddin. Pada kesempatan ini, kita akan mempelajari beberapa pembahasan dari kitab Asrar Asiyam, karya ulama klasik kita, Imam Al-Ghazali. Di kesempatan-kesempatan yang akan datang, Insya Allah, kita akan mengkombinasikan dengan kajian kitab-kitab kontemporer, salah satunya adalah kitab Waqafat Ma Syahri Ramadan karya Dr. Sulaiman Abal Khail.

Mari kita mulai kajian kitab Asrar Asiyam pada kesempatan malam hari ini.

Sesungguhnya ibadah puasa adalah salah satu rukun iman, yaitu seperempat bagian dari keimanan kita. Hal ini berdasarkan satu riwayat dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam bahwa puasa itu adalah separuh dari kesabaran. Meskipun riwayat ini kemudian diperselisihkan oleh para ulama mengenai validitasnya, sebagian besar ulama menilai riwayat ini sebagai riwayat yang dha’if. Namun, menurut Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, kita dapat mensikapi hadis dha’if ini, jika tidak dalam persoalan ibadah atau akidah, hanya masuk dalam kategori fi al-amal, tentu itu diperbolehkan. Hanya saja, kita tidak diperbolehkan menisbatkannya 100% kepada Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam. Kita ambil nilai dan pelajaran dari riwayat tersebut tanpa meyakini 100% bahwa riwayat itu benar-benar dari Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam.

Ketika Al-Imam Al-Ghazali mengutip riwayat ini, beliau mengatakan, “Asumu nisfu iman,” dan kemudian disambung dengan riwayat yang lain, “Wa al-imanu.” Itulah sebabnya Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa puasa adalah seperempat bagian dari iman. Di antara bagian yang lain adalah bentuk kesabaran orang yang berpuasa, yang merupakan bagian dari keimanannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari ibadah puasa ini, kita mengambil satu pelajaran berharga. Salah satu pendidikan yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dari ibadah puasa yang dilakukan oleh umat Islam adalah pendidikan tentang kesabaran. Sabar ini memang mudah untuk dikatakan, tetapi perlu mujahadah untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Namun, jika kita melihat praktik ibadah puasa ini, secara implisit, ia mengajarkan kepada kita tentang sabar. Kita tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan suami istri, meskipun sebenarnya dalam syariat itu diperbolehkan. Makan selama makanannya halal dan minum selama minumannya halal itu boleh, bahkan suami istri itu halal ketika melakukan hubungan. Namun, ketika datang bulan Ramadan, kita diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk menahan diri dari makan, minum, dan melakukan hubungan suami istri, bahkan untuk tidak melakukan sesuatu yang di luar bulan Ramadan yang mubahkan. Ini adalah bentuk tarbiyah, pendidikan kesabaran kita.

Ternyata, kita bisa tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hubungan dari sejak sahur sampai berbuka. Kita dilatih oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menahan amarah dan emosi. Dalam riwayat, dikatakan bahwa orang yang berpuasa itu ada yang berusaha untuk menyakitinya, menggodanya, dan memancing emosinya. Rasulullah mengajarkan kepada kita bahwa ketika itu terjadi, kita harus mengatakan, “Inni sa’im,” dan tidak melampiaskan emosi kita. Sekali lagi, ini adalah bentuk latihan kesabaran yang diharapkan dapat membentuk kita menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa.

Efek dari sabar itu adalah apa yang Allah janjikan setelah hamba-Nya bersabar. Setelah kita berusaha untuk menahan sesuatu, bahkan yang mubah, lalu kemudian datang azan maghrib, kita mendengarkan azan maghrib. Bahkan, sesuatu yang di luar bulan puasa itu tidak bernilai, tetapi menjadi sangat berharga di bulan Ramadan. Air putih, yang biasa saja, menjadi sangat spesial ketika kita berbuka puasa. Itulah sebabnya Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mengatakan dalam riwayat yang lain bahwa orang yang berpuasa dan puasanya benar-benar memperhatikan adab-adabnya akan memiliki dua kebahagiaan. Yang pertama, ia akan menemukan kebahagiaan yang luar biasa ketika mendengarkan azan maghrib.

Jadi, azan maghrib itu ditunggu-tunggu oleh orang yang berpuasa. Kebahagiaan yang kedua adalah kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata ketika kita dimasukkan Allah ke dalam surga dan bisa bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Puasa itu adalah separuh dari kesabaran, yang menunjukkan bahwa ada satu pendidikan yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Allah ingin mentarbiah kita sebagai umat Islam untuk bisa mengimplementasikan sikap dan sifat sabar ini dalam kehidupan. Bagi seorang mahasiswa, misalnya, dia harus bersabar untuk meninggalkan keluarganya, bersabar untuk jauh dari orang tua dan kampung halamannya. Ketika sudah waktunya membayar SPP, dia harus bersabar untuk mengeluarkan uang.

Orang yang bekerja pun demikian. Seorang suami atau ayah di pagi hari harus bekerja, mungkin di bawah terik matahari, dan di siang hari bulan Ramadan, dia bersabar. Seorang laki-laki yang mungkin sampai saat ini belum Allah takdirkan bertemu dengan jodohnya, dia bersabar untuk menahan diri dari pacaran dan tidak melanggar aturan-aturan Allah. Semua ini membutuhkan kesabaran.

Ternyata, ujung dari kesabaran itu adalah kebahagiaan yang luar biasa. Dalam pepatah dikatakan, “As-sabru ‘ala al-murrin fiqati, wa innama ‘awaqibahu ahla min al-asali.” Kita pelajari di pesantren bahwa sabar itu seperti getah, pahit di mulut, tetapi buah dari kesabaran itu adalah manis semanis madu.

Orang yang bersabar, ketika akhirnya Allah mengabulkan doa-doanya, akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Orang yang berpuasa harus sabar melihat orang lain makan. Misalnya, ketika melihat nasi padang atau ikan rendang, jika tidak karena iman, mungkin puasa itu sudah batal. Ketika berjalan di pinggir jalan dan melihat orang makan atau minum air kelapa muda, dia harus bersabar dan tidak tergoda. Jika tidak beriman, bisa saja tergoda dan batal puasanya.

Ketika di jalan, mungkin ada orang yang berkendara dengan ngawur, kita bersabar dan malah tersenyum. Akibatnya, pendidikan sabar ini luar biasa. Dari sekian banyak ibadah dalam Islam, ibadah yang paling lama adalah sabar. Itulah mengapa Allah menjanjikan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang sabar akan diberikan pahalanya oleh Allah tanpa batas.

Pahala orang yang bersabar itu tidak terbatas. Jika pahalanya orang salat itu terbatas, pahalanya orang yang membaca Al-Qur’an juga terbatas, tetapi pahalanya orang yang bersabar adalah tidak terbatas. Semoga puasa yang Allah berikan kesempatan kepada kita untuk merasakannya di bulan Ramadan tahun ini benar-benar membentuk pribadi kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersabar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Insya Allah, Allah akan mengabulkan seluruh permohonan dan doa-doa kita selama ini, sehingga kita merasakan manisnya buah dari kesabaran.

Kemudian, Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab Asrar Asiyam mengatakan bahwa puasa itu memiliki kelebihan dan kekhususan dibandingkan dengan ibadah-ibadah atau rukun-rukun yang lain. Puasa dinisbatkan langsung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam sebuah hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam, Allah berfirman bahwa setiap kebaikan yang dilakukan oleh anak Adam akan mendapatkan 10 pahala, bahkan sampai 700 kali lipat.

Namun, Allah berfirman bahwa puasa yang dilakukan oleh anak Adam itu hanya untuk-Nya. Bukan untuk raja-raja, bukan untuk para pejabat, dan bukan untuk para pimpinan. Allah sendiri yang akan memberikan ganjaran langsung kepada hamba-hambanya yang berpuasa, tergantung pada kualitas puasanya.

Di pertemuan yang akan datang, Insya Allah, kita akan melanjutkan kajian kitab ini ketika Al-Imam Al-Ghazali membagi tiga kategori orang yang berpuasa. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an bahwa hanya orang-orang yang bersabarlah yang akan diberikan pahalanya oleh Allah tanpa batas, seperti yang terdapat dalam Surah Az-Zumar ayat 10.

Puasa dan sabar ini sangat berkaitan. Orang yang berpuasa harus sabar, karena jika tidak sabar, dia akan kesulitan. Misalnya, ketika ada orang yang menyenggol di jalan, jika tidak puasa, mungkin dia akan marah. Namun, dengan puasa, dia bersabar untuk tidak menggauli istri, padahal itu sesuatu yang mubah.

Konsekuensi logis dari orang yang melakukan ibadah puasa adalah kesabaran. Itulah mengapa Al-Imam Al-Ghazali dalam kitab ini menyatakan bahwa cukup bagi kita untuk mengetahui keutamaan puasa. Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Demi Allah, aroma yang keluar dari mulut orang yang berpuasa di siang hari itu lebih wangi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala daripada minyak kasturi.”

Hadis ini tidak bisa dimaknai secara tekstual. Jika ada orang puasa kemudian dia bergaul dengan temannya, jangan marah jika dia mengatakan bahwa aromanya lebih wangi daripada kasturi. Maksudnya adalah Rasul ingin menjelaskan bahwa memang orang berpuasa itu aromanya tidak sedap di pandangan manusia, tetapi di sisi Allah, itu sangat wangi. Artinya, Allah akan memberikan ganjaran yang luar biasa bagi orang-orang yang berpuasa.

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan dalam hadis Qudsi bahwa puasa itu spesial dan memiliki kekhususan yang tidak dimiliki oleh ibadah-ibadah lain. Orang yang berpuasa rela meninggalkan makan dan minum, serta menahan syahwatnya karena Allah. Jika tidak karena Allah, tidak mungkin orang bisa berpuasa.

Itulah sebabnya Allah sendiri yang akan mengganjar orang-orang yang berpuasa. Imam Izuddin bin Abdus Salam, yang tahun lalu kita kaji dalam kitab Maqasid As-Saum, menjelaskan bahwa puasa itu mulia karena disandarkan kepada zat yang mulia, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Puasa itu mulia karena merupakan ibadah yang sulit untuk dilakukan secara lahiriah. Bahkan, orang-orang yang menyembah raja-raja atau pejabat tidak bisa mempersembahkan lapar dan dahaga.

Orang yang datang ke pejabat biasanya harus membawa sesuatu yang bernilai. Namun, ketika kita mempersembahkan kepada Allah, itu bukan dalam bentuk fisik. Ketika kita bersedekah, membayar zakat, atau infak, fisiknya ada. Kita membaca Al-Qur’an, fisiknya ada, kita mengaji, tetapi puasa itu berbeda. Puasa adalah ibadah yang mempersembahkan lapar dan dahaga kepada Allah.

Imam Izuddin bin Abdus Salam dan Al-Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa puasa itu luar biasa. Seseorang yang berpuasa meninggalkan syahwatnya, makanan, dan minumannya hanya karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ini adalah satu-satunya ibadah yang tidak bisa dipublikasikan. Di era media sosial saat ini, orang bisa saja meng-update status tentang apa yang mereka lakukan. Namun, puasa adalah ibadah yang tidak bisa dipamerkan kepada makhluk.

Ibadah-ibadah lain bisa kita tunjukkan; kita bisa menunjukkan kesalehan kita di hadapan orang lain. Salat kita bisa ditunjukkan, bacaan Al-Qur’an kita bisa diperlihatkan, sedekah kita bisa dipamerkan, dan kita bisa menunjukkan bahwa kita rajin ke Baitullah untuk haji dan umrah. Namun, puasa? Apa yang bisa kita tunjukkan? Tidak ada yang bisa dipublikasikan.

Bahkan, jika seseorang terlihat lemas, itu tidak selalu berarti dia berpuasa. Tidak semua orang yang lemas itu berpuasa, dan tidak semua orang yang semangat di siang hari bulan Ramadan tidak berpuasa. Hanya Allah yang tahu siapa yang benar-benar berpuasa.

Selain tarbiyah kesabaran, pendidikan kesabaran yang diajarkan oleh Allah melalui ibadah puasa ini juga mencakup pendidikan keikhlasan. Tantangan kehidupan kita saat ini, terutama di era media sosial, membuat kita merasa perlu untuk selalu update status untuk menunjukkan eksistensi kita. Namun, meninggalkan syahwat, makanan, dan hal-hal lain karena Allah adalah bentuk keikhlasan yang sejati.

Ada ungkapan menarik dalam bahasa Arab: “Al-‘ibrah fi al-khalawat, ammal ‘amalun naihun.” Ini menunjukkan bahwa tolak ukur seseorang benar-benar saleh atau tidak adalah ketika dia sendiri. Ketika tidak ada orang yang melihat, kita bisa mengetahui kualitas iman seseorang. Jika dia tetap menjaga rambu-rambu Allah, itu adalah tanda kesalehannya. Namun, jika dalam keramaian dia menunjukkan sisi kebaikan, tetapi ketika sendiri dia melanggar aturan Allah, itu bukan tolak ukurnya.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Man aranda an yanzura ila rajulin min ahl al-nar, falyandzur ila h.” Jika ingin tahu siapa yang termasuk ahli neraka, lihatlah orang ini. Meskipun dia sedang berjihad, dia bisa divonis sebagai ahli neraka. Dalam sebuah riwayat, ada seorang yang berperang, terluka, dan tidak mampu menahan rasa sakitnya, sehingga dia mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Rasulullah juga mengingatkan kita bahwa dalam kehidupan dunia ini, kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari penampilannya. Ada istilah “sawang sinawang,” yang berarti kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik penampilan seseorang.

Kita tidak boleh terlalu takjub kepada orang yang kita anggap saleh, dan sebaliknya, kita tidak boleh merendahkan orang yang kita anggap maksiat. Kita tidak tahu bagaimana akhir hidup mereka. Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mengingatkan bahwa jika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, Dia akan memudahkan orang itu untuk melakukan kebaikan.

Ketika kita melihat orang yang beramal saleh, kita harus ingat bahwa mungkin dia melakukannya bukan karena Allah, tetapi untuk mendapatkan pujian atau posisi tertentu. Jika itu yang terjadi, bisa jadi dia akan berakhir dengan su’ul khatimah. Sebaliknya, ada orang yang selama hidupnya tampak maksiat, tetapi siapa yang tahu? Hidayah Allah bisa datang kapan saja.

Contohnya, Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Khattab dulunya memusuhi Rasulullah, tetapi kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya. Ada orang yang mungkin kita rendahkan karena tidak se-saleh kita, tetapi di malam hari dia bertobat kepada Allah.

Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam mengingatkan kita bahwa urusan akhirat itu tidak bisa dinilai hanya dari penampilan. Jika kita ingin tahu apakah seseorang akan mendapatkan husnul khatimah atau su’ul khatimah, lihatlah akhir kehidupannya.

Ketika Allah menghendaki kebaikan bagi seseorang, Dia akan menjadikan orang itu beramal. Jika kita melihat orang yang melakukan kebaikan, itu adalah tanda bahwa Allah menghendaki kebaikan untuknya.

Kita sering melihat orang biasa yang meninggal dalam keadaan sujud, atau orang yang tidak terkenal tetapi meninggal dalam keadaan baik. Siapa yang tidak cemburu dengan kematian-kematian seperti ini?

Puasa memiliki makna yang mendalam dalam mendidik kita untuk menjadi pribadi yang ikhlas. Melalui puasa, kita diajak untuk merenungkan kembali niat dan tujuan dari setiap amal yang kita lakukan. Pertanyaan yang perlu kita ajukan adalah, “Apakah amal kita selama ini ditujukan untuk Allah, ataukah kita beramal hanya untuk mencari perhatian dan popularitas?” Hal ini menjadi penting, karena kita tidak ingin di hadapan Allah nanti, kita merasa malu ketika mengetahui bahwa orang-orang yang biasa saja dapat masuk surga lebih dahulu daripada kita.

Pendidikan yang diberikan oleh puasa tidak hanya mengajarkan kesabaran, tetapi juga mengajarkan keikhlasan. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda bahwa di surga terdapat pintu yang disebut Rayyan. Pintu ini dikhususkan bagi orang-orang yang berpuasa. Jika seseorang tidak berpuasa, maka pintu tersebut tidak akan terbuka untuknya. Ini menunjukkan betapa istimewanya puasa dalam pandangan Allah.

Al-Imam Al-Ghazali, dalam karyanya, menyatakan bahwa Allah menjanjikan pahala yang besar bagi orang-orang yang berpuasa. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam juga menyampaikan bahwa orang yang berpuasa akan merasakan dua kebahagiaan: kebahagiaan saat berbuka puasa dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Allah di surga. Orang yang tidak pernah berpuasa seumur hidupnya tidak akan memahami rasa syahdu ketika mendengar azan maghrib setelah seharian berpuasa.

Meskipun terdapat riwayat yang menyatakan bahwa “tidurnya orang puasa adalah ibadah,” perlu dicatat bahwa mayoritas ulama hadis menilai riwayat ini lemah dan tidak dapat dijadikan hujah. Namun, kita dapat mengambil nilai positif dari pernyataan tersebut. Jika tidur saja dapat dianggap sebagai ibadah, maka tentu saja aktivitas yang lebih produktif, seperti bekerja atau berjihad, akan lebih dicintai oleh Allah.

Dalam memahami hadis, kita perlu menggunakan pendekatan yang lebih mendalam, tidak hanya mengandalkan makna tekstual. Misalnya, ketika kita membaca ayat Al-Qur’an yang melarang kita untuk mengatakan “uf” kepada orang tua, kita harus memahami bahwa larangan tersebut mencakup semua bentuk ketidakpatuhan kepada orang tua.

Oleh karena itu, mari kita renungkan dan tadaburi setiap kata yang dituliskan oleh Al-Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Asrarus-Saum. Semoga kita dapat mengambil berkah dari ilmu beliau, meneladani ajarannya, dan mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam kitab tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Semoga puasa kita di tahun 1446 Hijriah ini semakin berkualitas dan lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga kita semua dapat dimasukkan ke dalam surga Allah melalui pintu Rayyan. Amin.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00