TABLIGH.ID, Yogyakarta – Pemahaman terhadap manhaj tarjih dalam Muhammadiyah masih menjadi pekerjaan rumah yang belum sepenuhnya terselesaikan. Bahkan, di kalangan pimpinan wilayah dan majelis, tidak semua benar-benar memahami konsep ini secara mendalam. Hal ini disampaikan oleh KH. Fathurrahman Kamal dalam Daurah Ilmiah dalam Dakwah dan Ifta yang diselenggarakan di Tabligh Institute Muhammadiyah pada 16 Maret 2025. Menurutnya, perlu ada upaya serius dalam memperkenalkan dan mengajarkan manhaj tarjih agar dapat dipahami secara utuh oleh seluruh anggota dan kader Muhammadiyah.
Sering kali kritik terhadap Muhammadiyah datang dari mereka yang belum memahami metodologi tarjih dengan baik. Ada yang hanya merespons tanpa merujuk pada sumber utama yang digunakan Muhammadiyah dalam mengambil keputusan keagamaan. “Penting bagi kita untuk mendalami keilmuan dan tidak sekadar berdebat tanpa landasan yang kuat,” ujar Fathurrahman Kamal.
Ia juga menyinggung bagaimana dinamika pemikiran Islam di luar Muhammadiyah sering kali mengalami perpecahan akibat kurangnya pemahaman yang utuh terhadap metodologi keagamaan. Beberapa kelompok yang mengklaim memiliki metodologi utuh justru mengalami friksi internal yang cukup tajam.
Dalam konteks Muhammadiyah, ilmu harus dikelola dengan metodologi yang jelas agar menghasilkan pemahaman yang utuh. “Seperti halnya seseorang yang memiliki bahan bangunan—bata dan semen—tetapi tidak tahu cara menyusunnya, maka ia tidak akan bisa membangun rumah. Begitu pula dalam ilmu agama, kita harus memahami epistemologi dan metode istinbath hukum agar menghasilkan pemahaman yang benar,” katanya.
Fathurrahman juga menyoroti perlunya Muhammadiyah memiliki Lembaga tarjih dan tabligh yang lebih responsif terhadap pertanyaan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat. Ia mengingat era kepemimpinan Prof. Yunahar Ilyas yang begitu dinamis dalam menjawab problem keagamaan umat. “Saya pernah berdiskusi dengan Prof. Samsul Anwar tentang gagasan membentuk umana’ tabligh—sekelompok ulama yang memiliki otoritas dalam tabligh dan siap memberikan jawaban langsung kepada umat,” ujarnya.
Salah satu kendala dalam proses tarjih saat ini adalah birokrasi yang panjang. Ketika ada pertanyaan masuk, keputusan harus melalui serangkaian rapat sebelum jawaban final diberikan. “Umat sudah keburu mencari jawaban di tempat lain,” kata Fathurrahman. “Dunia saat ini menuntut kecepatan, meskipun tentu tanpa mengorbankan kehati-hatian dalam menyampaikan dakwah.”
Sebagai perbandingan, ia menyebut sistem dakwah di Mesir yang lebih responsif karena didukung oleh otoritas negara. “Di sana, masyarakat tidak mudah menerima ceramah dari media sosial, karena sudah terbiasa merujuk pada otoritas yang diakui. Ini berbeda dengan Indonesia, di mana ruang kosong yang ditinggalkan oleh lembaga tabligh sering kali diisi oleh pihak-pihak lain yang tidak selalu memiliki kapasitas keilmuan yang memadai.”
Sistem Umana’ Tabligh: Solusi bagi Umat
Kiyai Fathurrahman menawarkan gagasan sistem umana’ tarjih dan tabligh—yakni sekelompok ulama Muhammadiyah yang tersebar di berbagai wilayah dan siap menjawab pertanyaan keagamaan umat secara real-time. Menurutnya, ini adalah solusi atas problem yang dihadapi saat ini, di mana banyak kader Muhammadiyah yang memiliki keilmuan tinggi tetapi tidak selalu bisa diakses oleh masyarakat umum.
“Bayangkan jika Muhammadiyah memiliki lima orang lulusan Madinah, lima orang dari Al-Azhar, dan lainnya, yang fokus hanya pada kajian dan menjawab pertanyaan umat,” katanya. “Saat ini, jika ada masyarakat yang ingin bertanya soal agama, kepada siapa mereka harus bertanya? Tidak semua dosen FAI memiliki waktu untuk melayani pertanyaan umat secara langsung.”
Menurutnya, umana’ tabligh bisa menjadi jawaban atas kebutuhan umat yang kerap kebingungan mencari rujukan keagamaan. “Kami sedang melakukan kaderisasi. Saat ini ada 41 orang, dan lebih dari 50 persen di antaranya sudah menyelesaikan hafalan 30 juz Al-Qur’an. Mereka punya kapasitas, tetapi perlu disiapkan agar bisa berperan lebih besar dalam memberikan bimbingan keagamaan bagi masyarakat,” pungkasnya.
Dengan sistem tarjih dan tabligh yang lebih responsif dan berbasis pada keilmuan yang kokoh, Muhammadiyah diharapkan dapat semakin mengokohkan perannya dalam membimbing umat menuju pemahaman Islam yang lebih washatiyah, ilmiah, dan kontekstual.