TABLIGH.ID, PURWOKERTO — Di aula Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) yang ramai oleh wajah-wajah tekun dari seluruh pimpinan daerah Muhammadiyah se-Jawa Tengah, suasana haru dan hikmah menyelimuti acara Silaturahim Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah pada Sabtu, 19 April 2025. Di tengah barisan tokoh dan kader persyarikatan, satu suara menggema membawa pesan mendalam—bukan hanya tentang ukhuwah, tapi juga tentang hakikat perjuangan dan makna karamah.
Adalah KH. Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, yang menyampaikan amanatnya dengan gaya khas: lugas, spiritual, dan menyentuh. Ia membuka pesannya dengan sebuah peringatan tajam:
“Jangan pernah berasumsi. Jangan pernah berspekulasi. Para pejuang itu bukan jasad-jasad tak berdaya. Bukan bangkai.”
Dengan mengutip hikmah klasik dalam bahasa Arab, ia mengingatkan bahwa kematian dalam Islam bukanlah akhir segalanya:
Al-mautu laisa ‘adaman mahdhan, wa innamal mautu intiqālun, min dāri al-‘amali ilā dāri al-jazā’.
Kematian, katanya, hanyalah sebuah perpindahan dari ruang amal menuju ruang balasan.
KH. Fathurrahman menekankan bahwa jihad bukan hanya perjuangan bersenjata. “Membangun kampus seperti ini,” ujarnya seraya menunjuk ke sekeliling kampus UMP yang terus berkembang, “juga adalah jihad.”
Ia menyitir pandangan Ketua PWM Jawa Tengah, KH. Tafsir, bahwa rumah sakit, kampus, guru, mubalig, semua adalah pejuang. Mereka yang membangun peradaban tanpa sorotan, tapi dengan dedikasi dan ruh perjuangan yang sama.
Dalam gaya bertutur yang bernas, ia menyentil kenyataan: “Kalau para dokter atau guru besar berkumpul, belum tentu berdiri satu program studi. Tapi dari rahim gerakan ini, lahirlah kampus-kampus, rumah sakit, bahkan partai di masa lalu.”
Lalu, ia menyatakan keyakinannya: “Muhammadiyah itu keramat. Tapi keramat yang berkemajuan, bukan keramat mistis.”
Kata “keramat” yang biasanya lekat dengan mitos dan kesaktian, di tangan KH. Fathurrahman berubah menjadi istilah spiritual progresif. Ia menyebut kampus-kampus Muhammadiyah—UMP, UMS, UMY, UAD—sebagai mekanisme ilāhiyyah, bentuk karamah kolektif yang tak kasat mata tapi terasa dampaknya bagi umat dan bangsa.
Mengutip filsuf sufi Ibnu ‘Arabi, ia menjelaskan perbedaan dua jenis karamah:
Al-karāmah al-ḥissiyyah (karamah yang tampak secara fisik) dan al-karāmah al-ma‘nawiyyah (karamah spiritual kolektif). Yang terakhir, menurutnya, adalah bentuk tertinggi karamah—ketika ajaran Islam tidak hanya menjadi wacana, tapi nyata dalam kehidupan.
“Suruh saja orang kaya macam Pak Sandiaga Uno bangun kampus seperti ini. Belum tentu bisa,” katanya, setengah bercanda, tapi dengan maksud serius. “Karena di sini bukan hanya fisik, tapi ada ideologi, ada spiritualitas.”
Menurutnya, jika Muhammadiyah kini memiliki 160-an perguruan tinggi dan ratusan guru besar, itu bukan semata hasil kerja keras manusia. Itu adalah intervensi Tuhan.
Bahkan, katanya, negara sekalipun bisa gagal membangun rumah sakit. Tapi Muhammadiyah bisa, tanpa kuasa, tanpa kekuasaan—hanya dengan spirit.
Ia mencontohkan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), yang katanya, “berdiri dengan tangan dingin para guru dan alumni Muhammadiyah. Dan beban utang di bank? Nol. Itu karamah!”
Tak lupa ia menyentuh sisi emosional. Di tengah suasana halal bihalal, ia mengajak untuk merenung dan memohon ampunan bagi para pejuang yang telah wafat.