Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.
وَالَّذِيْنَ يُحَاۤجُّوْنَ فِى اللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ مَا اسْتُجِيْبَ لَهٗ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَّلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيْدٌ اَللّٰهُ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ الْكِتٰبَ بِالْحَقِّ وَالْمِيْزَانَ ۗوَمَا يُدْرِيْكَ لَعَلَّ السَّاعَةَ قَرِيْبٌ
“Dan orang-orang yang berhujah (membantah) tentang Allah sesudah (agama-Nya) diterima, hujjah mereka itu adalah sia-sia di sisi Tuhan mereka. Dan mereka mendapat kemurkaan serta bagi mereka azab yang berat. Allah-lah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dengan (membawa) kebenaran dan neraca (keadilan). Dan tahukah kamu (wahai Muhammad), boleh jadi (hari) Kiamat itu sudah dekat?” (Surah Asy-Syūrā ayat ke-16 dan 17.)
Sebagaimana ayat-ayat sebelumnya dari Surah Asy-Syūrā sebelum ayat ke-16 ini telah kita bahas, bagaimana Allah Subḥānahu wa Ta’ālā menyinggung orang-orang kafir, baik dari kalangan musyrikin, Yahudi, maupun Nasrani — atau yang disebut dengan Ahlul Kitāb — tentang perselisihan mereka terhadap kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ. Bagaimana pertentangan mereka atas Kitābullāh (Al-Qur’an) yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ.
Sebagaimana yang Allah isyaratkan dalam ayat ke-14:
وَإِنَّ ٱلَّذِينَ أُورِثُوا الْكِتٰبَ مِنۢ بَعْدِهِمْ لَفِى شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيبٍ
“Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Al-Kitab sesudah mereka itu, benar-benar dalam keraguan yang mendalam terhadapnya (Al-Qur’an).” (QS. Asy-Syūrā: 14)
Mereka mewarisi Al-Kitāb — baik Taurat maupun Injil — min ba‘dihim (setelah mereka), yakni pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, tetapi mereka berada dalam keraguan mendalam (muriib) terhadap kebenaran Al-Qur’ānul Karīm.
Tetapi apa perintah Allah Subḥānahu wa Ta’ālā kepada Rasulullah ﷺ?
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah (kamu) pada jalan yang lurus sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Asy-Syūrā: 15)
Ikhwah fīllāh, arsyadakumullāh, ini merupakan tarbiyah da‘wiyyah (pendidikan dakwah) yang luar biasa dari Allah kepada Rasul-Nya. Allah mengetahui Rasulullah ﷺ diragukan oleh sebagian manusia, bahkan oleh mereka yang sebenarnya telah mendapatkan isyarat-isyarat tentang kenabian beliau dari kitab-kitab suci mereka.
Para nabi dan rasul terdahulu sudah mengisyaratkan akan datangnya seorang nabi:
مِّنۢ بَعْدِى ٱسْمُهُۥٓ أَحْمَدُ
“…seorang Rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad.” (Lihat QS. Aṣ-Ṣaff: 6)
Ini terdapat dalam Taurat dan Injil.
Maka, posisi Rasulullah ﷺ tidaklah mudah, Bapak-Ibu sekalian. Seandainya beliau datang kepada sebuah umat yang tidak memiliki sejarah religiusitas sama sekali, tentu akan lebih mudah. Namun, beliau menghadapi umat yang memiliki sejarah keagamaan yang panjang — mereka memiliki nabi, memiliki rasul, memiliki kitab suci.
Jadi, yang dihadapi Rasulullah ﷺ bukan hanya kejahiliahan atau kebodohan, tetapi juga kesombongan. Mereka berkata, “Siapa kamu? Kami ini juga punya nabi, punya rasul, punya kitab suci.”
Sehingga kemudian mereka meragukan:
لَفِى شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيبٍ
“…benar-benar dalam keraguan yang mendalam terhadapnya (Al-Qur’an).” (QS. Asy-Syūrā: 14)
Padahal mereka telah mendapatkan ciri-ciri kenabian itu dalam kitab suci mereka. Bahkan Al-Qur’an menjelaskan:
يَعْرِفُونَهُۥ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ
“Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.” (QS. Al-Baqarah: 146)
Ahlul Kitab itu mengenal profil Nabi akhir zaman sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri.
Allah ﷻ berfirman:
يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۖ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Mereka mengenalnya (Muhammad) sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka sendiri. Dan sungguh, sebagian di antara mereka benar-benar menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 146)
Jadi, bukannya mereka tidak tahu. Keraguan mereka bukan karena “ini benar atau tidak,” melainkan karena kesombongan, terutama dari kalangan Yahudi. Mereka sombong. Mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa Nabi akhir zaman itu bukan berasal dari golongan mereka, bukan dari darah keturunan mereka, tetapi berasal dari keturunan Nabi Ismail ‘alaihis salaam. Meskipun mereka mengetahui bahwa Nabi Muhammad ﷺ adalah benar-benar nabi akhir zaman, tetap saja mereka enggan beriman.
Ini adalah tantangan besar yang dihadapi Nabi Muhammad ﷺ. Beliau tidak hanya menghadapi perlawanan dari orang-orang kafir Quraisy, tetapi juga menghadapi Ahlul Kitab. Namun, apa perintah Allah ﷻ kepada Rasulullah ﷺ? Inilah yang perlu kita camkan:
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah istiqamah sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Asy-Syura [42]: 15)
Setiap kita, siapa pun kita, apakah sebagai ‘ulama yang berusaha mencerahkan umat, dai, muballigh, murabbi, mu’allim, dosen, kiai, ustaz, musyrif, muhaffizh, ataupun sebagai orang tua yang berusaha mendakwahi anak-anak dan keluarga, ingatlah ayat ini. Penolakan, keraguan, bahkan pembunuhan karakter pernah menimpa Rasulullah ﷺ. Beliau dituduh sebagai:
- شَاعِرٌ مَجْنُونٌ (penyair gila),
- سَاحِرٌ (penyihir).
Padahal beliau adalah manusia terbaik, maksum dari dosa dan kesalahan. Maka ketika kita berdakwah, menyeru kepada kebaikan, kemudian ditolak, diragukan, bahkan dihina, jangan berkecil hati. Rasulullah ﷺ pun mengalami hal serupa. Apa yang harus kita lakukan? Camkan firman Allah ﷻ:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu.” (QS. Hud [11]: 112)
Tetaplah berdakwah, mau diterima atau tidak, tugas kita hanyalah terus menyampaikan. Kalau satu pintu dakwah tertutup, insyaallah pintu lain akan terbuka. Orang-orang kafir Quraisy menolak dakwah Rasulullah ﷺ selama 13 tahun, namun penduduk Madinah menyambut beliau dengan penuh kehormatan, mengumandangkan:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا
“Telah terbit bulan purnama atas kami…”
Dengan sambutan yang penuh cinta dan penghormatan. Dari sanalah dakwah Rasulullah ﷺ menyebar ke seluruh Jazirah Arab, hingga terjadi Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah). Ahlul Makkah akhirnya beriman, namun sebenarnya mereka terlambat, baru tahun ke-10 Hijriyah. Siapa yang rugi? Mereka sendiri.
Ikhwatal kiram, jangan merasa rugi, jangan merasa kehilangan apa pun dalam dakwah. Pegang prinsip:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka.” (QS. Asy-Syura [42]: 15)
Mereka memiliki hawa nafsu yang bisa menyesatkan. Jangan berkompromi dengan kebatilan, jangan mujamalah (basa-basi) terhadap penyimpangan.
Katakan dengan tegas:
قُلْ آمَنتُ بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ مِن كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Katakanlah: ‘Aku beriman kepada apa yang Allah turunkan dari Kitab, dan aku diperintahkan untuk berlaku adil di antara kamu. Allah adalah Tuhan kami dan Tuhanmu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada perdebatan antara kami dan kamu. Allah akan mengumpulkan kita, dan kepada-Nya (kita) kembali.'” (QS. Asy-Syura [42]: 15)
Ini yang ditegaskan oleh para ulama seperti As-Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya: ayat berikutnya adalah bentuk takrir (penegasan) bahwa setelah kita menyeru dan menjelaskan, urusan hidayah bukan lagi di tangan kita.
Allah ﷻ berfirman:
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ
“Barang siapa yang mau, hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang mau, hendaklah ia kafir.” (QS. Al-Kahfi [18]: 29)
Tugas kita hanya menyampaikan:
وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Tidak ada kewajiban atas Rasul selain menyampaikan (agama).” (QS. An-Nur [24]: 54)
Allah ﷻ juga menegaskan:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَن يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qashash [28]: 56)
Hidayah itu hak prerogatif Allah ﷻ.
Hidāyat ad-da‘wah (هِدَايَةُ الدَّعْوَةِ), hidāyat al-irsyād (هِدَايَةُ الإِرْشَادِ), itu tugas kita — menyampaikan ilmu, syariat, pemahaman yang benar kepada manusia. Tetapi apakah manusia itu betul-betul mendapatkan hidayah hingga mau beriman, itu urusan Allah. Ini sangat penting, dan ini diulang berkali-kali dalam Al-Qur’an. Tidak ada sesuatu yang diulang dalam Al-Qur’an kecuali itu pasti sangat penting. Dalam Al-Qur’an, Allah tidak mungkin berbasa-basi. Tidak ada satu huruf pun dalam Al-Qur’an itu sekadar hiasan atau pemanis saja. Semuanya pasti penting.
Ini pelajaran, bentuk tarbiyah dakwiyah (تَرْبِيَةٌ دَعْوِيَّةٌ) yang sangat penting bagi kita: لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ، لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ. (Tidak perlu ada pertengkaran, tidak perlu ada perselisihan.)
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Allah yang akan mengumpulkan kita semua, dan hanya kepada-Nya kita semua kembali.” 📖 (QS. Asy-Syūrā: 15)
Teks lengkap ayatnya:
فَلِذَٰلِكَ فَادْعُ وَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَقُلْ آمَنتُ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ مِنْ كِتَابٍ وَأُمِرْتُ لِأَعْدِلَ بَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ رَبُّنَا وَرَبُّكُمْ ۖ لَنَا أَعْمَالُنَا وَلَكُمْ أَعْمَالُكُمْ ۖ لَا حُجَّةَ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ ۖ اللَّهُ يَجْمَعُ بَيْنَنَا ۖ وَإِلَيْهِ الْمَصِيرُ
“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini), dan tetaplah istiqamah sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka. Katakanlah, ‘Aku beriman kepada kitab yang diturunkan Allah, dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita dan hanya kepada-Nya lah kembali.'” (QS. Asy-Syūrā: 15)
Kesadaran seperti ini sangat penting bagi para dā‘ī, ‘ālim, murabbī, dan para pendidik.
Pertama, ini akan membuat mereka tidak bersedih ketika dakwahnya ditolak.
Kedua, ini akan mencegah mereka dari sikap ngoyo (berlebihan) atau bahkan menempuh cara-cara yang tidak dibenarkan syariat.
Sebagian kaum Muslimin sepanjang sejarah, karena terlalu ngoyo hingga ingin semua manusia sempurna dan tidak ada salahnya, berakhir dalam kelompok Khawārij (الخَوَارِجُ).
Orang-orang Khawārij sampai tidak terima terhadap kesalahan-kesalahan sahabat mulia seperti ‘Umar bin Khattāb رضي الله عنه, atau ‘Uthmān bin ‘Affān رضي الله عنه. Mereka bahkan membunuh ‘Uthmān sambil bertakbir “Allāhu Akbar”. Semua ini karena sikap ekstrem dalam dakwah dan ketidakmampuan memahami hikmah dakwah.
Demikian pula para neo-Khawārij zaman ini, yang melakukan pemboman di mana-mana dengan alasan melihat kekufuran dan ṭāghūt. Ini semua karena tidak memahami prinsip dakwah.
Prinsip yang benar adalah sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا عَلَيْكَ إِلَّا الْبَلَاغُ
“Dan tidak ada kewajiban atasmu selain menyampaikan.” (QS. Asy-Syūrā: 48)
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَٰكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya engkau tidak dapat memberi petunjuk kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki.” (QS. Al-Qaṣaṣ: 56)
Adapun ayat tentang orang-orang yang tetap membantah setelah jelas kebenaran, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِن بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
“Dan orang-orang yang membantah tentang (agama) Allah setelah (agama itu) diterima, bantahan mereka itu sia-sia di sisi Tuhan mereka. Dan mereka mendapat kemurkaan (Allah) dan bagi mereka azab yang keras.” (QS. Asy-Syūrā: 16)
Ayat ini merupakan taqrīr (penetapan dan penegasan) dari ayat sebelumnya, bahwa tidak perlu ada perdebatan panjang dengan orang yang sudah menolak kebenaran setelah hujjah ditegakkan. Cukup serahkan keputusan akhir kepada Allah, karena Allah lah yang akan mengumpulkan kita semua dan mengadili kita semua kelak.
Kemudian Ibnu Katsir menjelaskan, apa yang Allah sampaikan ini adalah مُتَوَعِّدًا الَّذِينَ يَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِهِ, merupakan ancaman bagi orang-orang yang berusaha menghalangi jalan Allah ﷻ terhadap orang-orang yang beriman kepada-Nya.
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ بَعْدَ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ — sebagian orang-orang kafir itu tidak terima ketika sebagian manusia menerima dakwah Rasulullah ﷺ. Maka kemudian mereka berjidal, berbantah-bantahan, dengan manusia-manusia yang mau menerima dakwah Rasulullah ﷺ, berdebat dengan orang-orang beriman.
Kemudian Al-Baghawi bahkan menyebutkan secara lebih spesifik. Al-Baghawi menukil perkataan Qatadah: yang dimaksud dengan orang-orang dalam ayat ini adalah هُمُ الْيَهُودُ, yaitu orang-orang Yahudi.
Ya, Yahudi ini memang begitu, sampai sekarang tetap keras kepala. Jadi orang-orang Yahudi itu terus mendebat, memprovokasi, berbantah-bantahan dengan orang-orang yang beriman yang mau menerima dakwah Rasulullah ﷺ.
Bahkan, sebagaimana dinukil oleh Imam Al-Baghawi, Qatadah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi itu mengatakan:
كِتَابُنَا قَبْلَ كِتَابِكُمْ
“Kitab kami turun sebelum kitab kalian.”
Mereka merasa sombong, merasa lebih unggul karena memiliki Taurat yang diturunkan sebelum Al-Qur’an.
وَنَبِيُّنَا قَبْلَ نَبِيِّكُمْ
“Nabi kami sebelum nabi kalian.”
Apalagi mereka mendapat banyak nabi, bukan hanya satu dua nabi, melainkan ribuan nabi. Maka mereka berkata, “Kami lebih baik daripada kalian.”
Namun sebenarnya membantah hujjah mereka ini sangat mudah. Baik, kitab kalian memang diturunkan sebelum kitab kami, tetapi kenapa kalian tidak mau beriman dengan kitab kalian sendiri, padahal kitab itu menjelaskan tentang akan datangnya seorang nabi setelah Musa dan Isa, yaitu Ahmad?
Bahkan kalau perlu, suruh mereka buka Taurat mereka. Caranya seperti itu kalau berdebat dengan orang-orang seperti ini. Mereka berdalih, berbangga sombong dengan kitab mereka yang turun lebih dahulu. Tetapi justru mereka sendiri yang mengingkari kitab mereka.
Mereka mengatakan: نَبِيُّنَا قَبْلَ نَبِيِّكُمْ, nabi kami sebelum nabi kalian. Baik, nabi yang mana? Ribuan nabi itu justru kalian bunuh semua.
Orang-orang Yahudi itu sudah membunuh ribuan nabi. Maka kalau hari ini keturunan mereka, anak cucu mereka, membunuh ribuan bahkan jutaan saudara-saudara kita sesama Muslim di Gaza, itu bukan hal yang aneh. Mereka pernah melakukan kejahatan yang lebih besar: membunuh nabi dan rasul, bukan satu atau dua, tapi ribuan nabi dan rasul yang diutus kepada Bani Israil.
Maka firman Allah:
وَالَّذِينَ يُحَاجُّونَ فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ
Artinya:
“Dan orang-orang yang berbantah-bantahan tentang (agama) Allah sesudah agama itu diterima, bantahan mereka itu sia-sia di sisi Tuhan mereka. Dan mereka mendapat kemurkaan dan bagi mereka azab yang keras.” (QS. Asy-Syūrā [42]: 16)
Hujjah mereka itu adalah hujjah yang batil, sia-sia, dan sangat mudah dibantah, bahkan bisa dibalikkan menggunakan logika mereka sendiri.
Di sisi Allah ﷻ, hujjah mereka tentu tidak diterima. وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ, atas mereka kemurkaan Allah. Ini sesuai dengan yang kita baca dalam Surah Al-Fatihah, ketika kita meminta kepada Allah ﷻ:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat.” (QS. Al-Fātiḥah [1]: 6–7)
الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ — orang-orang yang dimurkai — menurut sebagian mufassir adalah orang-orang Yahudi. Ini sesuai dengan ayat: وَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ — atas mereka kemurkaan Allah.
Kenapa mereka mendapatkan kemurkaan? Karena mereka sudah tahu kebenaran, namun tidak mau mengikutinya. Ini lebih membuat Allah ﷻ murka.
وَلَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ, dan bagi mereka azab yang pedih, nanti di akhirat. Di dunia mereka mendapatkan kemurkaan dari Allah ﷻ, dan di akhirat mereka mendapatkan azab yang pedih.
Maka ini sangat berkaitan dengan doa kita dalam Al-Fatihah: غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ.
Sebagian mufassir memaknai الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ sebagai orang-orang Yahudi, yang mereka sudah tahu kebenaran tetapi tidak mau mengikutinya karena kesombongan mereka. Sedangkan الضَّالِّينَ dimaknai sebagai orang-orang Nasrani, yang tersesat dari kebenaran karena kebodohan mereka.
والله أعلم بالصواب.
Ini yang bisa kita sampaikan. Ayat-ayat ini mengandung تربية دعوية (tarbiyah dakwiyah), pendidikan dakwah yang luar biasa bagi kita semua, sehingga kita memahami apa-apa yang Allah ﷻ isyaratkan tentang orang-orang kafir terdahulu, khususnya Ahlul Kitab, khususnya orang-orang Yahudi.
Sehingga ketika kita kembali menghadapi mereka di akhir zaman seperti ini, kita sangat paham karakter mereka. Kalau kemarin mereka kewalahan, minta gencatan senjata, kemudian sekarang menyerang lagi, jawabannya sudah hafal. Memang Yahudi seperti itu.
Itu yang harus membuat kita tetap waspada. Sejak awal kita sudah ingatkan di majelis ini juga, saat terjadi gencatan senjata, kita bersyukur, الحمد لله, ini kemenangan kaum Muslimin di Gaza. Tetapi tetap kita harus waspada terhadap karakter Yahudi: biasa mengingkari janji, membohongi, dan sebagainya.
Ini harus menjadi kewaspadaan kita. Tentu juga bagaimana kita terus memberikan kontribusi: doa-doa kita, sumbangan-sumbangan kita, donasi-donasi kita untuk saudara-saudara kaum Muslimin di Gaza, di Palestina, yang sedang menghadapi karakter yang sama seperti yang dihadapi oleh Nabi kita dahulu.