TABLIGH.ID, YOGYAKARTA — Di tengah gema peringatan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei, sebuah khutbah di Masjid Al Musannif, Tabligh Institute Muhammadiyah, menyuguhkan perspektif yang berbeda. Dari mimbar Jumat, H. Ahsin Abdul Wahab, M.A., Bendahara Lembaga Pengembangan Pesantren Muhammadiyah (LP2M), mengajak jamaah merefleksikan ulang arah pendidikan nasional melalui lensa Islam—lebih khusus, melalui pemikiran KH Ahmad Dahlan.
“Selama ini, tokoh yang paling sering disebut setiap Hari Pendidikan Nasional adalah Ki Hajar Dewantara,” ujar H. Ahsin. “Padahal ada tokoh yang tak kalah besar jasanya, bahkan karya-karyanya masih nyata dirasakan hingga kini—yakni pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan.”
Menurut Ahsin, KH Ahmad Dahlan bukan hanya seorang man of action, tapi juga pemikir pendidikan yang jauh ke depan. Dalam banyak pemikirannya, ia menawarkan model pendidikan yang tidak terjebak pada dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. “Beliau menginginkan keduanya diintegrasikan. Hasilnya adalah generasi beriman dan bertakwa yang juga menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan,” katanya.
Ahsin merujuk pada Surah Al-Mujadilah ayat 11 sebagai dasar integrasi tersebut: “Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” Ayat itu, kata dia, menjadi pijakan filosofis pendidikan Muhammadiyah: menyelaraskan iman dengan ilmu, dan dalam konteks kekinian, juga dengan penguasaan teknologi (IPTEK).
Tak hanya itu, Ahsin menegaskan, visi pendidikan KH Ahmad Dahlan juga mencakup keberhasilan hidup dunia dan akhirat. “Keseimbangan antara kerja duniawi dan kesadaran ukhrawi menjadi penting. Pendidikan tidak boleh semata-mata mengejar dunia, tapi juga harus mengantar pada kebaikan akhirat. Seperti dalam doa yang kita kenal: ‘Rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah, wa fil aakhirati hasanah…’,” ujarnya.
Pendidikan, menurut Ahsin, juga harus melahirkan generasi yang gemar beramal saleh, bukan hanya pandai secara teori. “Kita butuh generasi yang aktif berdakwah, peduli pada masyarakat, dan membawa perubahan positif,” tambahnya.
Untuk membentuk generasi ideal tersebut, Ahsin menyebut enam ruh (semangat) yang harus terus ditanamkan dalam sistem pendidikan Muhammadiyah:
- Ruhul ‘Ilmi – semangat menuntut dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
- Ruhul Jihad – semangat berjuang dan bersungguh-sungguh dalam setiap amanah, sebagaimana pesan Surah Ali ‘Imran ayat 142 bahwa surga hanya bisa diraih lewat perjuangan dan kesabaran.
- Ruhus Shabr – semangat kesabaran dalam menempuh jalan pendidikan dan dakwah.
- Ruhut Tajdid – semangat pembaruan terhadap metode, semangat, dan sistem pendidikan.
- Ruhul Harakah – semangat untuk terus bergerak, berkarya, dan tidak stagnan.
- Ruhul Ikhlas – semangat keikhlasan dalam beramal, sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Khutbah itu diakhiri dengan ajakan untuk melakukan revitalisasi pendidikan nasional, termasuk pendidikan di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah. Menurut Ahsin, pendidikan Muhammadiyah harus tetap menjadi role model—pendidikan yang berbasis iman, ilmu, dan tajdid (pembaruan).
Namun, ia juga mengingatkan, realitas pendidikan kita masih jauh dari cita-cita tersebut. “Kita belum sepenuhnya menghasilkan generasi yang kuat iman, kokoh akhlak, jujur, dan anti korupsi. Ini pekerjaan rumah besar kita bersama,” ujarnya.
Sebagai penutup, Ahsin mengutip peringatan Al-Qur’an dalam Surah An-Nisa ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah.”
Lemah iman, lemah ilmu, dan lemah akhlak adalah warisan terburuk bagi masa depan bangsa. Maka, memperjuangkan pendidikan yang benar dan bermutu adalah jihad yang tak boleh berhenti.
