web stats
Home » Tafsir Tarbawi Qs. Asy-Syura [42]: 18-19 Al-Qur’an: Kebenaran dan Keadilan yang Tidak Boleh Diragukan

Tafsir Tarbawi Qs. Asy-Syura [42]: 18-19 Al-Qur’an: Kebenaran dan Keadilan yang Tidak Boleh Diragukan

by Redaksi
0 comment

Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc., M.A.


يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِهَاۚ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مُشْفِقُوْنَ مِنْهَاۙ وَيَعْلَمُوْنَ اَنَّهَا الْحَقُّ ۗ اَلَآ اِنَّ الَّذِيْنَ يُمَارُوْنَ فِى السَّاعَةِ لَفِيْ ضَلٰلٍۢ بَعِيْدٍ اَللّٰهُ لَطِيْفٌۢ بِعِبَادِهٖ يَرْزُقُ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚوَهُوَ الْقَوِيُّ الْعَزِيْزُ ࣖ

 Orang-orang yang tidak percaya kepadanya (hari Kiamat) meminta agar ia (hari Kiamat) segera terjadi, dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya serta yakin bahwa ia adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang (terjadinya) kiamat itu benar-benar berada dalam kesesatan yang jauh. Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

Setelah Allah ﷻ membantah hujjah-hujjah (argumen-argumen) yang disampaikan oleh orang-orang kafir — baik dari kalangan musyrikin Makkah pada masa itu, maupun dari kalangan Ahlul Kitab — Allah menegaskan bahwa bantahan-bantahan mereka adalah lemah dan sia-sia, yakni batil (باطل).

Kemudian, Allah ﷻ juga mengancam mereka dengan kemurkaan-Nya, karena mereka telah mengetahui kebenaran. Mereka tahu bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ adalah kebenaran. Bahkan, mereka mengenal Nabi Muhammad ﷺ sebagai Nabi akhir zaman sebagaimana mereka mengenali anak-anak mereka sendiri.

قال الله تعالى:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْرِفُونَهُ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَاءَهُمْ ۘ وَإِنَّ فَرِيقًا مِّنْهُمْ لَيَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ”
(سورة البقرة: 146)

Artinya: “Orang-orang yang telah Kami beri kitab mengenalnya (Muhammad) seperti mereka mengenali anak-anak mereka sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahuinya.”

Kemudian Allah ﷻ menegaskan dalam firman-Nya:

اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ”
(سورة الشورى: 17)

Artinya: “Allah-lah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) dengan kebenaran dan neraca (keadilan).”

Allah ﷻ adalah Dzat yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur’an) بِالْحَقِّ (dengan membawa kebenaran) dan الْمِيزَانَ (neraca), yakni keadilan. Sebagian mufassir menjelaskan bahwa maksud بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ adalah بِالصِّدْقِ وَالْعَدْلِ, yaitu dengan kebenaran dan keadilan. Neraca (al-mīzān) adalah simbol dari keadilan (العدالة).

Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah ﷻ membawa kebenaran, bahkan bukan hanya kebenaran, tapi juga keadilan. Jika syariat Allah dijalankan sepenuhnya, maka pasti akan terwujud keadilan.

Karena itu, jika kita yakin bahwa اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ”, maka seyogianya kita tidak ragu sedikit pun terhadap kebenaran Al-Qur’an. Bahkan, kita harus menjauh dari sikap mendebat, mempertanyakan, apalagi meragukannya.

قال الله تعالى:
وَالَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي اللَّهِ مِن بَعْدِ مَا اسْتُجِيبَ لَهُ حُجَّتُهُمْ دَاحِضَةٌ عِندَ رَبِّهِمْ”
(سورة الشورى: 16)


Artinya: “Dan orang-orang yang membantah (agama) Allah setelah agama itu diterima, maka bantahan mereka itu sia-sia di sisi Tuhan mereka.”

Sikap yang seharusnya kita ambil adalah sebagaimana sikap الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ (orang-orang yang mendalam ilmunya), yaitu ketika berhadapan dengan ayat-ayat mutasyabihat (samar), mereka berkata:

قال الله تعالى: “آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا” (سورة آل عمران: 7)


Artinya: “Kami beriman kepadanya; semuanya dari sisi Tuhan kami.”

Mereka tidak menggugat dan tidak mendebat. Sebaliknya, orang-orang yang hatinya berpenyakit akan mencari ayat-ayat mutasyabihat bukan untuk mencari kebenaran, tapi untuk mendukung hawa nafsu dan penyimpangannya. Mereka sering mencari celah untuk melegalkan kesesatan dan kebebasan perilaku.

Ini sering terjadi, di mana ayat-ayat Al-Qur’an dicari-cari untuk dijadikan pembenaran atas syahwat dan kelalaian. Bahkan, ada yang menyebut Al-Qur’an ambigu dan tidak relevan dengan zaman, sebagaimana narasi-narasi dari sebagian “cendekiawan” atau ilmuwan yang telah kehilangan arah.

Padahal jika kita yakin bahwa Al-Qur’an diturunkan dengan kebenaran, tentu tidak akan muncul keraguan semacam itu.

قال الله تعالى:
“ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ” (سورة البقرة
Artinya: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.”

Maka konsekuensinya, keyakinan kita terhadap Al-Qur’an sebagai kebenaran harus diwujudkan dalam amal nyata. Tidak cukup hanya dengan menyatakan bahwa Al-Qur’an itu benar, tetapi harus dibuktikan dengan komitmen terhadap isi dan nilai-nilainya.

Adapun bentuk-bentuk kebenaran dalam Al-Qur’an antara lain:

  • Diturunkan secara munajjaman (berangsur-angsur),
  • Melalui perantara Malaikat Jibril yang mulia,
  • Pada malam yang penuh kemuliaan (ليلة القدر),
  • Di tempat yang mulia (Makkah dan Madinah),
  • Kepada Rasul yang mulia, yaitu Muhammad ﷺ.

Semuanya menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah wahyu yang penuh dengan kemuliaan dan kebenaran.

Tidak sempurna atau belum terbukti keyakinan kita bahwa Al-Qur’an adalah al-ḥaqq (kebenaran), apabila kita belum taḥākum (berhukum) dengan Al-Qur’an al-Karīm, belum menjadikannya sebagai rujukan dalam seluruh aspek kehidupan kita.

Iman kita terhadap kebenaran Al-Qur’an belum utuh apabila:

  • Kita belum ber-ekonomi dengan prinsip ekonomi Al-Qur’an,
  • Belum berhukum dengan hukum Al-Qur’an,
  • Belum berpolitik dengan manhaj siyasah Al-Qur’an,
  • Belum bersosial dengan konsep sosial Al-Qur’an,
  • Bahkan belum menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman dalam hubungan antar manusia — seperti antara suami-istri, orang tua dan anak.

Jangankan mengamalkannya, mempelajarinya saja kita masih enggan, malas, atau tidak memprioritaskannya dalam hidup kita.

Padahal Allah ﷻ telah menegaskan:

اللَّهُ الَّذِي أَنْزَلَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ وَالْمِيزَانَ


“Allāh-lah yang telah menurunkan al-Kitāb (Al-Qur’an) dengan kebenaran dan (menurunkan) neraca (keadilan).”
(QS. Ash-Shūrā: 17)

Al-Mīzān (الميزان) adalah simbol dari keadilan. Maka, Al-Qur’an bukan hanya membawa kebenaran, tetapi juga menjamin terwujudnya keadilan.

Contoh penerapan keadilan ini adalah dalam pembagian warisan, di mana laki-laki mendapat dua bagian dan perempuan satu bagian. Ini bukan ketidakadilan, tapi justru keadilan yang sempurna, karena sesuai dengan beban tanggung jawab yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam Islam.

Namun, hari ini banyak yang menggugat hal itu karena melihat realitas sosial. Padahal, realitas bukan idealitas. Maka, realitaslah yang seharusnya disesuaikan dengan idealitas wahyu — bukan sebaliknya.

Misalnya, banyak perempuan menjadi tulang punggung keluarga, sementara laki-laki menganggur. Tapi apakah kita harus mengikuti kondisi itu? Tidak. Justru kita harus mengingatkan laki-laki akan kewajibannya menafkahi.


Yakinlah bahwa dalam syariat Allah ﷻ terkandung keadilan — termasuk dalam hukum qiṣāṣ (قِصَاص).

Allah ﷻ berfirman:

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ


“Dan dalam (hukum) qiṣāṣ itu ada kehidupan bagi kalian, wahai orang-orang yang berakal.”
(QS. Al-Baqarah: 179)

Qiṣāṣ bukan kekejaman, tapi bentuk keadilan dan perlindungan atas nyawa manusia. Dalam sistem hukum, hukuman yang paling efektif adalah yang menimbulkan efek jera.

Namun, pelaksanaan qiṣāṣ tidak dilakukan secara serampangan. Islam mengenal klasifikasi pembunuhan:

  1. Qatl ‘amd (قتل عمد) — pembunuhan yang disengaja,
  2. Shibh al-‘amd (شبه العمد) — pembunuhan semi-sengaja,
  3. Qatl khaṭa’ (قتل خطأ) — pembunuhan karena tidak sengaja.

Hukumnya berbeda-beda. Dan keputusan pelaksanaan qiṣāṣ sangat bergantung pada ahl al-waratsah (ahli waris).

Sebaliknya, lihatlah bagaimana hari ini pelanggaran kemanusiaan terjadi secara masif, seperti yang dilakukan penjajah Zionis. Dunia bungkam, dan nyawa manusia begitu murah. Padahal Allah ﷻ berfirman:

مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا ۖ وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا


“Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dan barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan seluruh manusia.” (QS. Al-Mā’idah: 32)

Inilah keagungan syariat Islam. Al-Qur’an adalah petunjuk penuh kebenaran dan keadilan. Maka, keyakinan kita terhadapnya harus dibuktikan dengan sikap, perilaku, dan sistem hidup yang bersandar pada Al-Qur’an al-Karīm.

Dalam perkara qiṣāṣ (القصاص), pilihan hukum sangat tergantung pada keputusan ahl al-warāṡah (ahli waris). Terdapat tiga opsi yang disediakan syariat:

  1. Memaafkan sepenuhnya.
    Ini adalah opsi yang paling dianjurkan dalam Al-Qur’an. Allah ﷻ berfirman:

وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى


“Dan jika kamu memaafkan, itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah: 237)

Maka, ketika seorang ahli waris memaafkan pelaku pembunuhan terhadap keluarganya, sesungguhnya ia telah menunjukkan ketakwaan yang tinggi. Bahkan, memaafkan bisa menjadi penyelamat nyawa manusia, meskipun orang tersebut adalah pembunuh keluarganya sendiri. Ini adalah bentuk keutamaan yang besar dalam Islam.

  1. Menuntut diyat (kompensasi).
    Ahli waris berhak menuntut diyat (الديّة), yaitu tebusan berupa harta yang disepakati. Setelah diyat dibayar, pelaku tidak lagi dikenai hukum qiṣāṣ.
  2. Menjalankan hukum qiṣāṣ.

Opsi ketiga adalah melaksanakan hukuman mati terhadap pelaku. Namun, ini bukan keputusan sepihak; harus melalui proses hukum dan pertimbangan mendalam, serta bukan dilakukan dengan sembarangan.

Jika kita telusuri hukum-hukum dalam Al-Qur’an, meskipun sering dinarasikan sebagai “kejam”, “tidak adil”, atau “tidak relevan dengan zaman modern”, pada hakikatnya justru hukum-hukum ini adalah jawaban atas berbagai permasalahan sosial dan kriminalitas di era kontemporer.

Allah ﷻ berfirman:

يَسْتَعْجِلُ بِهَا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِهَا وَالَّذِينَ آمَنُوا مُشْفِقُونَ مِنْهَا وَيَعْلَمُونَ أَنَّهَا الْحَقُّ

“Orang-orang yang tidak beriman kepadanya meminta agar hari itu segera datang. Sedangkan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka mengetahui bahwa hari kiamat itu benar-benar akan terjadi.” (QS. Ash-Shūrā: 18)

Ini adalah sebuah ironi. Orang-orang kafir justru “berharap” hari kiamat segera datang — bukan karena mereka benar-benar ingin, tetapi karena kesombongan dan pengingkaran mereka. Seolah-olah mereka berkata, “Kalau memang kiamat itu benar, kenapa tidak datang sekarang saja?” Ini bentuk takabbur.

Sebaliknya, orang-orang beriman justru merasa musyfiqūn minhā (مشفقون منها) — takut dan khawatir terhadap hari itu, karena mereka yakin akan kebenarannya.

Padahal, secara logika, seharusnya orang kafirlah yang lebih takut, karena hari kiamat adalah awal dari siksa yang kekal bagi mereka. Sementara, orang-orang beriman akan diwafatkan terlebih dahulu sebelum hari kiamat datang, sebagaimana dalam hadits:

لَا تَقُومُ السَّاعَةُ إِلَّا عَلَى شِرَارِ النَّاسِ


“Kiamat tidak akan terjadi kecuali atas orang-orang paling buruk.” (HR. Muslim)

Artinya, Allah akan mewafatkan seluruh orang beriman terlebih dahulu. Yang menyaksikan kiamat adalah mereka yang paling durhaka.

Namun, ketakutan orang-orang beriman itu muncul karena iman mereka kepada kebenaran hari kiamat, termasuk semua fase yang mengerikan: azab kubur, fitnah Munkar dan Nakir, padang mahsyar, hisab, mizān, dan ṣirāṭ.

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ مُّسْفِرَةٌ ۝ ضَاحِكَةٌ مُّسْتَبْشِرَةٌ ۝ وَوُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ عَلَيْهَا غَبَرَةٌ ۝ تَرْهَقُهَا قَتَرَةٌ


“Pada hari itu banyak wajah yang berseri-seri, tertawa dan gembira. Dan wajah-wajah lain pada hari itu penuh debu, diliputi kegelapan.”
(QS. ‘Abasa: 38–41)

Di antara mereka ada yang dibangkitkan dengan wajah bersinar, ada pula yang hitam legam. Ada yang berjalan, ada yang berkendara, dan ada pula yang yujarrūna ‘alā wujūhihim (يُجَرُّونَ عَلَى وُجُوهِهِم) — diseret di atas wajah mereka.

Bayangkan, diseret dengan wajah menempel tanah — sebuah siksa yang sangat menyakitkan. Dan itu baru awal dari hisab panjang, ketika matahari didekatkan satu hasta dari kepala manusia.

Maka wajar jika orang-orang beriman merasa takut. Mereka berharap syafā‘at dari Nabi ﷺ, mereka khawatir akan keselamatan mereka di akhirat.

Rasa takut inilah yang disebut sebagai ‘amalul-qulūb (عَمَلُ الْقُلُوبِ) — amalan hati, yang nilainya sangat besar di sisi Allah ﷻ. Ia adalah tanda keimanan.

dalam Al-Qur’an dijelaskan tentang sikap orang-orang beriman terhadap datangnya hari kiamat. Allah Taʿālā berfirman:

وَالَّذِينَ آمَنُوا۟ مُشْفِقُونَ مِنْهَا وَيَعْلَمُونَ أَنَّهَا ٱلْحَقُّ ۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِى ٱلسَّاعَةِ لَفِى ضَلَـٰلٍۢ بَعِيدٍۢ

“Dan orang-orang yang beriman merasa takut terhadap (kejadian) hari itu dan mereka yakin bahwa sesungguhnya kiamat itu adalah benar. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang hari kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Asy-Syūra: 18)

Orang-orang beriman memiliki rasa takut (musyfikūna minhā) terhadap dahsyatnya hari kiamat, terhadap huru-hara yang digambarkan sangat mengerikan dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi ﷺ. Kalau seseorang tidak tertarik dengan janji surga, dan tidak takut dengan ancaman neraka, maka itu pertanda berbahaya bagi imannya—bisa jadi keimanannya telah hilang atau rusak.

Rasa takut yang timbul karena iman ini termasuk ‘amalul-qulūb (amalan hati) yang sangat mulia. Allah Taʿālā juga menyebutkan dalam firman-Nya:

وَٱلَّذِينَ يُؤْتُونَ مَآ ءَاتَوا۟ وَّقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَىٰ رَبِّهِمْ رَٰجِعُونَ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan, dengan hati penuh rasa takut karena mereka tahu bahwa mereka akan kembali kepada Rabb mereka.” (QS. Al-Mu’minūn: 60)

Mereka tetap merasa khawatir, “Apakah aku bisa meninggal dalam keadaan iman? Apakah amalku ini diterima oleh Allah? Apakah sudah sesuai dengan sunnah Nabi ﷺ, atau ada riya’, sum‘ah, atau ‘ujub di dalamnya?”

Ada rasa takut—padahal telah banyak beramal. Inilah karakter orang beriman sejati: takut amalan menjadi ḥabā’an manṡūrā (debu yang beterbangan) karena tidak ikhlas atau tidak sesuai petunjuk.

Lalu mengapa Al-Qur’an mengaitkan penyebutan al-kitāb dan al-mīzān dengan hari kiamat?

فَذَكِّرْ بِٱلْقُرْءَانِ مَن يَخَافُ وَعِيدِ

Sebab, hari kiamat adalah yaumul-jazā’ wal-ḥisāb—hari pembalasan dan perhitungan. Maka seakan-akan Al-Qur’an ingin menegaskan: berlaku adillah sebelum engkau bertemu hari di mana segala amalmu akan dihisab!

Dalam tafsir “Al-Qur’an Tadabbur wa ‘Amal”, ini menjadi pelajaran penting: keadilan dan kebenaran dalam hidup tidak bisa dilepaskan dari kesadaran akan kehidupan setelah mati.

Allah juga berfirman:

يَسْتَعْجِلُ بِهَا ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِهَا ۖ وَٱلَّذِينَ آمَنُوا۟ مُشْفِقُونَ مِنْهَا وَيَعْلَمُونَ أَنَّهَا ٱلْحَقُّ ۗ أَلَآ إِنَّ ٱلَّذِينَ يُمَارُونَ فِى ٱلسَّاعَةِ لَفِى ضَلَـٰلٍۢ بَعِيدٍۢ

“Orang-orang yang tidak beriman kepadanya meminta agar hari itu segera datang, sedangkan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mengetahui bahwa itu adalah kebenaran. Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang kiamat itu benar-benar dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Asy-Syūra: 18)

Lucunya, justru orang kafir yang menantang datangnya kiamat. Mereka tidak betul-betul ingin kiamat datang, tapi itulah bentuk kesombongan dan pengingkaran. Sedangkan orang-orang beriman, mereka justru takut. Takut akan kedahsyatannya. Takut akan penghisaban yang berat. Takut tidak lolos dari padang Mahsyar, dari sirāṭ, dari ḥisāb, dan seterusnya.

Disebutkan dalam hadis sahih, ada manusia yang dibangkitkan:

  • Wajahnya hitam legam
  • Pucat pasi
  • Diseret dengan wajahnya menghadap tanah: يُجَرُّونَ عَلَىٰ وُجُوهِهِمْ (diseret di atas wajah mereka)
  • Dan ada pula yang dibangkitkan dengan wajah berseri-seri

Sebagian digiring dalam keadaan mulia: naik kendaraan. Sebagian digiring dalam keadaan hina: berjalan tanpa alas kaki, telanjang, tidak disunat, dalam ketakutan luar biasa.

Ini semua menimbulkan musyfikūna minhā, rasa takut dan harap. Rasa itu bagian dari iman. Dan itulah yang mendorong kita memperbaiki amal.


Para nabi dan orang-orang saleh memiliki zikru ad-dār, ingatan kuat tentang akhirat. Allah Taʿālā menyebut para hamba-Nya yang kuat, yaitu:

أُو۟لِى ٱلْأَيْدِى وَٱلْأَبْصَـٰرِ

Orang-orang yang memiliki kekuatan (dalam amal dan ilmu). Apa rahasia kekuatan mereka? Karena zikru ad-dār mereka kuat: bayangan tentang surga, neraka, ṣirāṭ, ḥauḍ, mīzān, barzakh, dan mahsyar melekat dalam benak mereka.

Mereka tidak silau oleh dunia. Dunia ini remeh dibandingkan bayangan tentang akhirat. Maka ketika ada orang flexing, pamer harta, mereka tidak terpengaruh. Mereka tidak “gumun” (terkagum), karena dalam hatinya: surga lebih dahsyat dari semua yang dipamerkan itu.

Sebaliknya, orang yang zikru ad-dār-nya lemah, akan silau dan terjerumus. Bahkan demi dunia, mereka rela:

  • Berutang
  • Korupsi
  • Menzalimi
  • Makan harta haram

Begitu pula orang miskin. Jika zikru ad-dār-nya kuat, semiskin apa pun hidupnya, dia tetap mulia. Dia yakin: kemiskinan ini hanya sebentar. Maka dia jaga kehormatan (ʿiffah), tidak meminta-minta, apalagi mencuri. Dia yakin: jika istiqamah dengan iman dan syariat, pasti happy ending.

Allah Taʿālā berfirman:

وَلَلْـَٔاخِرَةُ خَيْرٌۭ وَأَبْقَىٰ

“Dan sungguh, akhirat itu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Al-A‘lā: 17)

Maka, wahai saudara-saudaraku sekalian, jangan bosan berbicara tentang akhirat. Bahas terus tentang surga dan neraka, tentang hari kebangkitan, tentang mahsyar, tentang hisab, tentang barzakh. Ingatkan diri kita, keluarga kita, anak-anak kita, murid-murid kita—karena mereka sebenarnya tahu mana yang baik dan buruk, hanya saja sering lemah komitmen karena zikru ad-dār-nya lemah.

Jika zikru ad-dār mereka kuat, insyaAllah tak akan ada korupsi, tak akan ada kezaliman, karena semua akan sadar bahwa semua perbuatan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah.

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00