web stats
Home » Ramadhan di Puncak Cinta: Iktikaf Malam 27 dan Idul Fitri dalam Balutan Ihram

Ramadhan di Puncak Cinta: Iktikaf Malam 27 dan Idul Fitri dalam Balutan Ihram

by Redaksi
0 comment

Oleh : Muhammad Choirin
Dosen – Univiersitas Muhammadiyah Jakarta
Muballigh – Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Pembimbing Ibadah Haji dan Umrah – Mecca Tour and Travel

Tak semua perjalanan menambah jarak. Ada perjalanan yang justru mendekatkan. Mendekatkan hati pada Sang Pemilik waktu. Itulah yang saya rasakan ketika menghabiskan sepuluh malam terakhir Ramadhan di Masjidil Haram. Di sana, waktu seperti berhenti. Semua kesibukan dunia runtuh di hadapan Ka’bah. Yang ada hanya kerinduan, air mata, dan lantunan doa yang tak putus-putus.

Makkah La Tanamu Abadan; Kota Suci Makkah tidak pernah tidur. Memang demikian adanya. Kaum Muslimin dari penjuru dunia tak pernah memberi kesempatan kota ini untuk tidur. Sebab jika thawaf berenti, maka berhentilah kehidupan. Berakhir dan kiamat terjadi. Pada bulan suci Ramadhan, Makkah menjadi kota yang amat sibuk. Jutaan manusia terus berdatangan dari seluruh penjuru dunia, lewat darat, laut dan juga udara. Pada saat malam sepuluh hari terakhir Ramadan, pemerintah Saudi menutup jalan-jalan menuju kota Makkah, melarang kendaraan dari luar Makkah masuk. Mereka yang ingin masuk ke kota Makkah dengan tujuan apapun termasuk beribadah, harus memarkir kendaraan di luar dan melanjutkan dengan transportasi umum.

Secara garis besar, Masjidil Haram telah mengalami lebih dari 10 kali perluasan besar, dengan 3 perluasan sangat signifikan di era Saudi modern. Masjidil Haram yang dapat menampung 3 juta jamaah itupun penuh sesak. Setiap sudut menjadi tempat ibadah. Tidak hanya di dalam dan pelataran masjid, semua ruas jalan menuju Masjidil Haram, tangga, teras hotel, hingga lobby pun menjadi tempat shalat. Tak peduli siang atau malam, suasana tak pernah lengang. Seolah seluruh umat Islam mengatur waktu mereka hanya untuk satu tujuan: bertemu malam kemuliaan.

Berbuka Puasa di Tengah Lautan Cinta

Meski hotel menyediakan makanan berbuka dan sahur, saya lebih memilih untuk sering berbuka di Masjidil Haram. Pada malam ke-25, saya mencoba masuk ke dalam masjid sebelum Ashar. Tapi semua pintu menuju dalam masjid sudah ditutup. Akhirnya saya naik ke rooftop. Pilihan terakhir bagi jamaah yang ingin merasakan kenikmatan dalam kelezatan iktikaf. Panas memanggang, tapi terasa ringan karena hati ini sedang menunggu waktu mulia: berbuka di tanah haram. Hampir semua jamaah iktikaf mendapat ta’jil. Menu iftar-nya cukup istimewa: kurma, roti, air zamzam, yogurt, kopi arab dan sesekali biskuit. Namun tak jarang, para muhsinin membagi shawarma, sandwich, bahkan nasi mandi. Suatu malam, seorang sahabat mengkisahkan bahwa ia bersama jamaah di sekitarnya mendapatkan amplop berisi 500 riyal dari seorang dermawan yang juga seorang peserta iktikaf. Tak saling mengenal, tapi semua hati seolah terpaut dalam ikatan ukhuwah yang tulus. Di tempat ini, rezeki dan kasih sayang mengalir begitu alami.

Tarawih Dua Gelombang: Tangis yang Menetes Bersama Ayat

Manajemen Masjidil Haram mengatur shalat tarawih dalam dua sesi. Sesi pertama dimulai setelah salat Isya hingga pukul jam10 malam, dengan 10 rakaat, tiap dua rakaat satu salam. Sedangkan sesi kedua dimulai pada pukul 00.30 hingga 02.30 dini hari. Sepuluh rakaat, ditutup dengan tiga rakaat witir: dua rakaat salam dan satu rakaat salam, disertai doa qunut. Imam secara bergantian memimpin salat qiyamul lail. Ada Syeikh Sudais yang penuh karisma, Syeikh Yasir Dusari dengan lantunan yang menyayat hati, Syeikh Mahir Muaiqly dengan suara yang lirih namun tajam, hingga Syeikh Bandar Balila dan Syeikh Juhani. Mereka bergantian sesuai jadwal yang telah ditentukan waktu dan ayat yang dibaca. Setiap malam berbeda. Tapi setiap malam membawa rasa yang sama: tangis yang mengalir, seolah ayat-ayat itu berbicara langsung ke hati.

Malam 27: Ketika Doa Menjadi Lautan Air Mata

Inilah malam puncak yang ditunggu seluruh umat. Masjidil Haram benar-benar penuh. Diperkirakan lebih dari 3 juta orang hadir. Bahkan ada yang menyebut hingga 5 juta. Semua ruas jalan padat. Semua pelataran penuh. Bahkan balkon hotel dijadikan tempat shalat. Salat witir malam itu dipimpin oleh Syeikh Sudais. Doanya panjang, lebih dari 30 menit. Tangisnya tak bisa disembunyikan. Ia mendoakan pemimpin negeri, Khadimul Haramain dan Putra Mahkota Muhammad bin Salman, dan secara khusus menyebut Palestina, Gaza, dan Baitul Maqdis. Tangis pun pecah di seantero masjid. Semua jamaah menunduk, menangis bersama imam. Malam itu, bumi dan langit seolah berpelukan dalam doa.

Ada kisah kecil yang menggoda hati. Dalam mazhab Syafi’i, doa qunut lazimnya dibaca setelah ruku’ pada rakaat terakhir. Sementara dalam mazhab Maliki dan Hanbali, dibacasebelum ruku’. Peristiwa terjadi saat Imam Sudais membaca qunut sebelum ruku’. Sontak pada saat Imam Sudias membaca “Allahuma…”, sebagian jamaah terlihat langsung ruku. Setelah sadar, beberapa saat mereka kembali berdiri mengangkat kedua tangan mengaminkan doa qunut. Setelah qunut selesai, ketika Imam mengucapkan “Allahu Akbar” untuk ruku’, beberapa jamaah kembali melakukan kesalahan. Mereka justru sujud karena menyangka sudah waktunya sujud. Sebagian jamaah yang sadar, membetulkan, “Ruku’… ruku’!”. Yang lain pun bangkit tergesa. Bahkan Ada keharuan dan tawa kecil. Dalam benak saya, kesalahan pertama karena tidak tahu, sementara peristiwa kedua karena ketidaksadaran setelaf ngefly mengaminkan doa qunut selama 30 menit. Di tengah lautan ilmu, kita belajar untuk saling memahami. Bukan menghina dan menyalahkan.

Penentuan 1 Syawal: Di Antara Ru’yah dan Hisab

Dalam menentukan awal bulan, Saudi tetap setia menggunakan metode ru’yah; melihat hilal secara langsung. Pada akhir Ramadan kemaren, meski para astronom memperkirakan hilal mustahil terlihat karena bertepatan dengan gerhana matahari, namun pihak otoritas tetap menugaskan tim ru’yah ke berbagai titik, terutama dua wilayah legendaris: Sudair dan Tumair. Jika hilal terlihat, meski hanya oleh satu saksi yang telah disumpah, maka 1 Syawal ditetapkan. Jika tidak berhasil melihat anak bulan, puasa digenapkan menjadi 30 hari. Prinsip yang mereka pegang jelas; Shumu liru’yatihi wa afthiru liru’yatihi. Beda dengan di negeri kita, terkadang kesaksian ditolak jika tak sesuai dengan standard kewujudan hilal. Di Saudi, astronom hanya pendamping. Penentu utamanya tetap ru’yah. Disinilah penulis melihat metode hisab sebagai manifestasi ru’yah bi al-Ilmi menjadi relevan, sesuai dengan semangat kemajuan tanpa melanggar prinsip keagamaan.

Malam Lebaran: Dalam Sunyi yang Syahdu

Maghrib saat itu, setelah pihak otoritas mengumumkan awal Syawal, Imam Sudais kembali memimpiun sholat. Maghrib kali ini mengandung pesan yang mendalam. Pada rakaat pertama, yang dibaca adalah surat Fushshilat: 30-36, sedangkan rakaat kedua surat al-Ahqaf: 3-14. Melalui kedua rakaat tersebut, Syeikh Sudais ingin menyampaikan tentang istikamah. Ramadan berlalu dan Syawal telah membuka tirainya, namun ibadah haruslah dipertahankan. Malaikat akan hadir memberi jaminan bagi orang yang istikamah. Dengan suara khasnya, Imam Sudais memastikan; An la Takhafu wala Takhzanu…. Bahkan di akhir ayat mereka dijanjikan kabar gembira berupa surga. Pada surah al-Ahqaf memiliki spirit yang sama. Orang yang istikamah tidak akan pernah merasa sedih dan takut. Nasehat yang mendalam. 

Bersama seorang Kyai Senior, dengan mengenakan kain ihram kami kembali ke Masjidil Haram sekitar pukul 01.00 dini hari dengan niat iktikaf, thawaf sunnah, qiyamul lail. Suasana malam itu lebih syahdu. Makkah seperti sedang menahan napas, menanti detik-detik terakhir Ramadhan. Kami shalat malam di pelataran thawaf (mathaf), lalu thawaf sunnah dengan langkah yang berat tapi penuh cinta. Seusai thawaf, kami beriktikaf hingga fajar menyingsing. Di sana, kami menunggu subuh, lalu tetap tinggal hingga shalat Id. Semuanya kami jalani dalam keadaan berihram. Suatu pengalaman spiritual yang tak akan pernah kami lupakan.

Shalat Idul Fitri: Ketika Dunia Menjadi Satu Saf

Waktu Makkah menunjukkan pukul 6.30, shalat Idul Fitri pagi itu dipimpin oleh Imam Sudais. Shalatnya singkat, tapi khutbahnya menyentuh. Beliau menyeru kaum muslimin untuk memperkuat ukhuwah, menjaga solidaritas, meneruskan konsistensi dalam beribadah dan tidak meninggalkan Palestina sendirian. Dunia boleh gaduh, tapi pagi itu, jutaan manusia menyatu dalam satu takbir, satu sujud, satu air mata. Selesai shalat, saya berfoto bersama saudara-saudara seiman dari berbagai negara. Ada yang berkulit putih, ada yang hitam legam. Kami saling merangkul. Tak ada yang lebih tinggi. Tak ada yang lebih mulia. Semua sama di hadapan Allah. Yang membedakan hanya satu: hati yang tunduk dan bersih.

Penulis (berkacamata) berfoto bersama dengan saudara-saudara seiman dari berbagai negara

Syawal; Rindu Keluarga, Reda dipeluk Madinah

Mekkah adalah kota yang berdenyut dengan energi langit—ramai, kokoh, dan penuh desakan rindu. Di sana, langkah-langkah tak pernah sunyi, air mata tumpah di tengah kerumunan thawaf, dan setiap desir angin seolah membawa gema takbir. Ia adalah perwujudan sifat Allah yang Maha Perkasa (al-Jalal), membungkus kita dengan ketundukan dan keteguhan. Sementara Madinah adalah pelukan lembut yang menenteramkan—hening, teduh, dan penuh haru. Di balik sunyinya Raudhah dan keramahan penduduknya, terasa hadir sifat Allah yang Maha Indah (al-Jamal), yang membuat hati ingin menetap selamanya. Dua kota suci ini, dalam kontras yang saling melengkapi, menghadirkan wajah cinta Ilahi yang sempurna—antara gemuruh penghambaan dan bisikan kasih sayang

Menikmati hidangkan khas timur tengah , nasi mandi dengan lauk daging kambing dan hanith

Hati yang Tertinggal di Dua Tanah Suci

Sungguh, sebagian hati saya tertinggal di sana. Di pelataran thawaf yang hangat. Di sela-sela tangisan malam 27. Di antara tumpukan kurma dan yogurt di waktu berbuka. Dalam setiap sujud dan istighfar, saya masih merasa ada di sana. Pada kedamaian Madinah, keteduhan insan Madani. Dan tentunya kesyahduan Raudah Nabi bersama  kehangatan munajat senja kala itu. Ramadhan kali ini bukan hanya ibadah, tapi juga perjalanan ruhani. Ia membawa saya pulang, bukan ke rumah, tapi ke hakikat diri. Bahwa dalam segala keberagaman, kita semua sedang menapaki jalan yang sama: kembali kepada-Nya. Semoga Allah mempertemukan kita kembali, dalam sujud yang panjang, dalam malam-malam yang basah oleh air mata, di rumah-Nya yang abadi.

Penulis paling ujung sebelah kanan, saat berfoto bersama dengan jamaah umroh. Penulis mendapat kepercayaan k membersamai dan membimbing jamaah umrah private Mecca Tour and Travel

Tulisan ini sudah diterbitkan oleh Majalah MATAN Edisi 226

You may also like

Leave a Comment

MAJELIS TABLIGH

PIMPINAN PUSAT MUHAMMADIYAH

MAJELIS TABLIGH OFFICIALS

Newsletter

Subscribe my Newsletter for new blog posts, tips & new photos. Let's stay updated!

@2024 – Designed and Developed by Asykuri ibn Chamim

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?
-
00:00
00:00
Update Required Flash plugin
-
00:00
00:00